Tahun 2008 telah lewat. Kurang lebih, sudah tiga bulan kita berada di tahun 2009. Tahun dengan agresifitas masyarakat akan politik. Tahun dengan animo politisi yang sangat gencar. Di tahun ini juga Negara kita melakukan Pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung. Pemilu demokratis ini yang kedua kalinya terjadi di bumi Indonesia yang saat ini menjadi agenda utama media-media baik cetak maupun elektronik. Beberapa stasiun televisi berlomba-lomba menghadirkan informasi sebanyak dan seaktual mungkin. Mulai dari acara talk show, debat kandidat, dialog, atau polling sms.
Fenomena ini merupakan gambaran dari peran penting media dalam suatu pemilihan umum (election) seperti dikemukakan oleh Oskamp & Schultz (1998), yakni memusatkan perhatian pada kampanye, menyediakan informasi akan kandidat dan isu seputar pemilu.
Media yang dalam hal ini adalah televisi sudah sangat gencar mengiklankan partai-partai politik ke masyarakat luas. Dimulai oleh gebrakan Prabowo S. dengan partai Gerindra, dilanjutkan dengan partai sang Presiden Demokrat, kemudian iklan politik paling kontroversial atas nama PKS dan sekarang makin banyak partai yang mengeluarkan tajinya dengan kampanye di televisi.
Banyak anggapan dari kalangan politisi bahwa media massa adalah jalan yang paling efektif untuk dan dalam menyampaikan kampanye. Lebih dikhususkan lagi adalah media elektronik Televisi. Dalam suatu kesempatan, Sekretaris Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP) Ganjar Pranowo mengungkapkan bahwa media massa bisa mengangkat dan menjatuhkan dan dapat diakatakan bahwa media massa seperti melakukan silent revolution. Menurutnya lagi terkait dengan iklan parpol di televisi ada parpol baru yang tiba-tiba sangat besar hasil surveynya karena mengkapitalisasi media. Mungkin argumen itu ditujukan pada partai Gerindra yang begitu gencar berkampanye melalui televisi sejak awal.
Kaitannya dengan teori politik yang penulis anut dikatakan dalam teorinya, William Robson menyebutkan bahwa politik adalah segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Jelas ini adalah salah satu tujuan dari partai politik yang dalam hal ini lebih tertuju pada perebutan kekuasaan.
Mari kemudian kita bahas lebih lanjut tentang peranannya dalam perkembangan politik yang saat ini tengah disibukkan dengan Pemilu 2009. Disini penulis akan menjelaskan tentang relevansi media serta teorinya dalam komunikasi massa: jarum hipodermik.
Akhir-akhir ini kita banyak melihat spanduk-spanduk dengan slogan-slogan yang sarat kepentingan. Baliho besar dengan gambar seorang tokoh politik tersebar dimana-mana. Berserakan dan cenderung berantakan. Hal ini tidak ada kaitannya dengan produk sabun atau kecap yang memakai jasa mereka. Tidak ada hubungannya juga dengan perempat final Liga Champions Eropa yang telah usai dan hanya memberikan mimpi buruk bagi tim-tim Italia. Tapi fenomena ini merupakan suatu persuasi para politisi menghadapi Pemilu 2009.
Ya, bahkan kini kita telah banyak menjumpainya di media elektronik yang paling banyak kita konsumsi, televisi. Pada jam-jam tertentu, iklan semacam itu bermunculan silih berganti. Ini tidak hanya dilakukan oleh politikus yang akan bertarung dalam pemilu. Yang belum mencalonkan pun memasang iklan. Bahkan, mungkin paling banyak.
Di dalam iklan televisi, mereka muncul dengan wajah yang ramah dan kata-kata manis. Mereka mengenakan pakaian rapi lengkap dengan peci. Tampaknya mereka ingin dipersepsi sebagai orang yang bijak, religius, dan berakhlak mulia. Mereka umumnya juga menegaskan diri sebagai tokoh patriotis, ahli menangani masalah, dan yang paling penting, peduli kepada rakyat miskin. Kepedulian itu, misalnya, mereka perlihatkan dengan mengajak rakyat ikut memberantas kemiskinan. Bahkan adapula yang mencontohkan untuk mendukung program pembelian produk Indonesia dengan membelinya di pasar tradisional.
Iklan semacam ini hanya akan membuat masyarakat mensejajarkannya dengan iklan produk biasa. Dengan bahasa lain, iklan politik itu sejajar dengan iklan kecap yang selalu mengklaim nomor satu. Iklan politik dan iklan kecap sama-sama sedang memasarkan produk agar dikenal dan kemudian dijadikan pilihan. Sebagian pengamat tidak yakin iklan politik seperti yang banyak beredar itu akan memengaruhi pilihan masyarakat dalam pemilu. Namun, dari sudut politikus, iklan semacam ini penting untuk memperkenalkan diri kepada masyarakat lengkap dengan citra yang dibentuknya. Karena itu, mereka tidak ragu mengeluarkan uang berjumlah besar.
Kita sudah banyak mendengar dan cukup sering menjumpai slogan “Ombak Besar pun Dia Berani” atau “Hidup adalah Perbuatan” di mana-mana. Dan hal ini akan kita jumpai sampai bulan mendatang tepatnya 5 April 2009, sampai masa kampanye habis.
Dalam komunikasi politik, media dan aktor politik adalah suatu hubungan yang mutualisme. Dimana dalam hal ini kedua belah pihak sama-sama menerima keuntungan. Di masa pemilu ini, media diuntungkan dengan adanya pemasangan iklan politik yang tentunya mempunyai tarif yang tidak sedikit. Apalagi dengan munculnya iklan politik yang mempunyai waktu durasi penayangan yang cukup lama dan ditayangkan pada jam prime time yang tentunya memiliki tarif yang sangat istimewa.
Oleh karenanya, untuk mendanai proyek pencitraan pada iklan televisi, seorang politikus bisa mengeluarkan uang miliaran rupiah. Makin kurang terkenal di mata publik, makin besar uang yang harus dikeluarkan.
Secara bahasa komunikasi massa adalah proses dimana organisasi media membuat dan menyebarkan pesan kepada khalayak banyak (publik).
Jika kaitannya dengan politik pada Pemilu 2009 ini, ada satu definisi yang sangat tepat tentang komunkasi massa: Komunikasi massa adalah suatu proses dimana komunikator-komunikator menggunakan media untuk menyebarkan pesan-pesan secara luas, dan secara terus menerus menciptakan makna-makna yang diharapkan dapat mempengaruhi khalayak yang besar dan berbeda-beda dengan melalui berbagai cara (DeFleur dan Denis, 1985).
Pentingnya peran media sebagai sarana komunikasi politik yang efektif kini kian terlihat. Kita sebagai khalayak tentu menjadi mengerti dengan sendirinya bahwa dunia politik saat ini sangat membutuhkan dukungan dari media. Karena dengan adanya media, dapat mempermudah para aktor politik untuk menyampaikan pesan pada khalayak yang lebih luas dan dengan cara yang lebih mudah dari pada harus mendatangi langsung ke daerah-daerah. Selain itu, kampanye lewat media dianggap penting karena masyarakat kita saat ini lebih sering atau aktif untuk mengkonsumsi media, sehingga opini dalam masyarakat dapat dengan mudah untuk dibentuk dan dipengaruhi. Hal ini sesuai dengan Hypodermic Needle Theory yang artinya, pesan yang disampaikan oleh media akan langsung mengenai sasarannya yakni para khalayak. Sehingga kita tidak dapat menghindar dari terpaan doktrin yang dilakukan oleh media. Teori ini menganggap bahwa kita sebagai khalayak dapat dengan mudah dipengaruhi dan dibentuk sesuai dengan apa yang diingkan oleh media tersebut (Nurudin,2007 : 165).
Dalam teori komunikasi massa jarum hipodermik, pesan dalam sebuah iklan yang dikirim atau ditonton oleh pemirsa akan langsung mengenai sasaran seperti sebuah peluru yang ditembakan kepada seseorang, bila telah mengenai sasarannya maka akan langsung mendapatkan efeknya, oleh karena itu iklan melalui televisi akan sangat efektif, keinginan para pengiklan akan langsung mengenai sasaran. Bila pun terdapat warga masyarakat yang cukup kritis, tetapi bisa dipastikan hanya segelintir orang dan itu pun tidak termasuk pengguna produk yang diiklankan.
Bila iklan ditempatkan dalam konteks globalisasi, akan muncul apa yang dinamakan budaya komunikasi global. Dengan demikian, posisi iklan dalam media televisi pun merupakan salah satu media dalam komunikasi global yang menembus sekat kultural dan batas negara. Dengan demikian akan menghilangkan unsur komunikasi dari suatu bangsa yang tradisional. Bila hal ini tidak kita antisipasi secara kritis, maka “cultural imperialisme” yang melekat pada kehadiran arus informasi dunia yang timpang, akan cepat menyebar, sesuai dengan karakteristiknya yang tak terbatas. Dalam hal ini, iklan dan televisi ibarat dua sisi mata uang yang selalu bersamaan masuk pada ruang privasi warga negara, menawarkan beraneka bentuk hiburan dan gaya hidup iklan yang begitu seolah menyenangkan. Sehingga tak diragukan lagi bahwa iklan yang ditayangkan melalui media televisi akan lebih efektif bila dibandingkan dengan iklan pada media lainnya.
Tahun 2009 menjadi sangat menentukan bagi kita, kehidupan sosialnya, negara dan pemerintahannya. Ini tidak lain karena di tahun ini kita akan mengadakan perhelatan yang sangat prestisius. Bukan karena agenda konser tour beberapa band luar negeri. Bukan juga karena akan ada banyak pendatang yang ingin menikmati keindahan Nusantara. Tetapi Pemilu 2009. Suatu perhelatan paling penting bagi Indonesia dan bangsa. Dan disini terlihat jelas pemanfaatan media yang dalam hal ini adalah televisi oleh para politisi itu.
Peran media televisi dalam komunikasi politik tentu sangat banyak. Dan dalam tulisan ini dikaji empat peran penting televisi dalam melakukan komunikasi politik. Seperti, televisi sebagai alat komunikasi politik, televisi menjadi sarana untuk melakukan persuasi, memberikan informasi politik pada khalayak, memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk dapat menilai apa yang disampaikan dari televisi.
Televisi sebagai komunikasi politik. Dimana para aktor politik membeli dan menggunakan tempat atau spot pada waktu tertentu untuk menyampaikan pesan pada khalayak luas. Tujuannya dari iklan politik itu sendiri adalah sebagai sarana untuk menyampaikan pesan dari aktor politik tersebut kepada khalayak dan untuk mendapatkan simpati tentunya.
Kedua adalah televisi dalam hal ini melakukan komunikasi secara persuasi dengan tujuan agar apa yang disampaikan dapat mempengaruhi khalayak. Televisi memiliki peran penting akan keberhasilan dari aktor politik yang melakukan kampanye.
Disini penulis memperkenalkan teori William Robson yang menyatakan bahwa politik adalah segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Serta teori Jarum Hipodermik dalam Komunikasi Massa yang menyebutkan bahwa pesan dalam sebuah iklan yang dikirim atau ditonton oleh pemirsa akan langsung mengenai sasaran seperti sebuah peluru yang ditembakan kepada seseorang, bila telah mengenai sasarannya maka akan langsung mendapatkan efeknya.
Tiada gading yang tak retak, demikian juga dengan tulisan ini. Masukan serta kritik yang membangun diharapkan penulis untuk membuat tulisan ini lebih mendekati sempurna.
Fenomena ini merupakan gambaran dari peran penting media dalam suatu pemilihan umum (election) seperti dikemukakan oleh Oskamp & Schultz (1998), yakni memusatkan perhatian pada kampanye, menyediakan informasi akan kandidat dan isu seputar pemilu.
Media yang dalam hal ini adalah televisi sudah sangat gencar mengiklankan partai-partai politik ke masyarakat luas. Dimulai oleh gebrakan Prabowo S. dengan partai Gerindra, dilanjutkan dengan partai sang Presiden Demokrat, kemudian iklan politik paling kontroversial atas nama PKS dan sekarang makin banyak partai yang mengeluarkan tajinya dengan kampanye di televisi.
Banyak anggapan dari kalangan politisi bahwa media massa adalah jalan yang paling efektif untuk dan dalam menyampaikan kampanye. Lebih dikhususkan lagi adalah media elektronik Televisi. Dalam suatu kesempatan, Sekretaris Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP) Ganjar Pranowo mengungkapkan bahwa media massa bisa mengangkat dan menjatuhkan dan dapat diakatakan bahwa media massa seperti melakukan silent revolution. Menurutnya lagi terkait dengan iklan parpol di televisi ada parpol baru yang tiba-tiba sangat besar hasil surveynya karena mengkapitalisasi media. Mungkin argumen itu ditujukan pada partai Gerindra yang begitu gencar berkampanye melalui televisi sejak awal.
Kaitannya dengan teori politik yang penulis anut dikatakan dalam teorinya, William Robson menyebutkan bahwa politik adalah segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Jelas ini adalah salah satu tujuan dari partai politik yang dalam hal ini lebih tertuju pada perebutan kekuasaan.
Mari kemudian kita bahas lebih lanjut tentang peranannya dalam perkembangan politik yang saat ini tengah disibukkan dengan Pemilu 2009. Disini penulis akan menjelaskan tentang relevansi media serta teorinya dalam komunikasi massa: jarum hipodermik.
Akhir-akhir ini kita banyak melihat spanduk-spanduk dengan slogan-slogan yang sarat kepentingan. Baliho besar dengan gambar seorang tokoh politik tersebar dimana-mana. Berserakan dan cenderung berantakan. Hal ini tidak ada kaitannya dengan produk sabun atau kecap yang memakai jasa mereka. Tidak ada hubungannya juga dengan perempat final Liga Champions Eropa yang telah usai dan hanya memberikan mimpi buruk bagi tim-tim Italia. Tapi fenomena ini merupakan suatu persuasi para politisi menghadapi Pemilu 2009.
Ya, bahkan kini kita telah banyak menjumpainya di media elektronik yang paling banyak kita konsumsi, televisi. Pada jam-jam tertentu, iklan semacam itu bermunculan silih berganti. Ini tidak hanya dilakukan oleh politikus yang akan bertarung dalam pemilu. Yang belum mencalonkan pun memasang iklan. Bahkan, mungkin paling banyak.
Di dalam iklan televisi, mereka muncul dengan wajah yang ramah dan kata-kata manis. Mereka mengenakan pakaian rapi lengkap dengan peci. Tampaknya mereka ingin dipersepsi sebagai orang yang bijak, religius, dan berakhlak mulia. Mereka umumnya juga menegaskan diri sebagai tokoh patriotis, ahli menangani masalah, dan yang paling penting, peduli kepada rakyat miskin. Kepedulian itu, misalnya, mereka perlihatkan dengan mengajak rakyat ikut memberantas kemiskinan. Bahkan adapula yang mencontohkan untuk mendukung program pembelian produk Indonesia dengan membelinya di pasar tradisional.
Iklan semacam ini hanya akan membuat masyarakat mensejajarkannya dengan iklan produk biasa. Dengan bahasa lain, iklan politik itu sejajar dengan iklan kecap yang selalu mengklaim nomor satu. Iklan politik dan iklan kecap sama-sama sedang memasarkan produk agar dikenal dan kemudian dijadikan pilihan. Sebagian pengamat tidak yakin iklan politik seperti yang banyak beredar itu akan memengaruhi pilihan masyarakat dalam pemilu. Namun, dari sudut politikus, iklan semacam ini penting untuk memperkenalkan diri kepada masyarakat lengkap dengan citra yang dibentuknya. Karena itu, mereka tidak ragu mengeluarkan uang berjumlah besar.
Kita sudah banyak mendengar dan cukup sering menjumpai slogan “Ombak Besar pun Dia Berani” atau “Hidup adalah Perbuatan” di mana-mana. Dan hal ini akan kita jumpai sampai bulan mendatang tepatnya 5 April 2009, sampai masa kampanye habis.
Dalam komunikasi politik, media dan aktor politik adalah suatu hubungan yang mutualisme. Dimana dalam hal ini kedua belah pihak sama-sama menerima keuntungan. Di masa pemilu ini, media diuntungkan dengan adanya pemasangan iklan politik yang tentunya mempunyai tarif yang tidak sedikit. Apalagi dengan munculnya iklan politik yang mempunyai waktu durasi penayangan yang cukup lama dan ditayangkan pada jam prime time yang tentunya memiliki tarif yang sangat istimewa.
Oleh karenanya, untuk mendanai proyek pencitraan pada iklan televisi, seorang politikus bisa mengeluarkan uang miliaran rupiah. Makin kurang terkenal di mata publik, makin besar uang yang harus dikeluarkan.
Secara bahasa komunikasi massa adalah proses dimana organisasi media membuat dan menyebarkan pesan kepada khalayak banyak (publik).
Jika kaitannya dengan politik pada Pemilu 2009 ini, ada satu definisi yang sangat tepat tentang komunkasi massa: Komunikasi massa adalah suatu proses dimana komunikator-komunikator menggunakan media untuk menyebarkan pesan-pesan secara luas, dan secara terus menerus menciptakan makna-makna yang diharapkan dapat mempengaruhi khalayak yang besar dan berbeda-beda dengan melalui berbagai cara (DeFleur dan Denis, 1985).
Pentingnya peran media sebagai sarana komunikasi politik yang efektif kini kian terlihat. Kita sebagai khalayak tentu menjadi mengerti dengan sendirinya bahwa dunia politik saat ini sangat membutuhkan dukungan dari media. Karena dengan adanya media, dapat mempermudah para aktor politik untuk menyampaikan pesan pada khalayak yang lebih luas dan dengan cara yang lebih mudah dari pada harus mendatangi langsung ke daerah-daerah. Selain itu, kampanye lewat media dianggap penting karena masyarakat kita saat ini lebih sering atau aktif untuk mengkonsumsi media, sehingga opini dalam masyarakat dapat dengan mudah untuk dibentuk dan dipengaruhi. Hal ini sesuai dengan Hypodermic Needle Theory yang artinya, pesan yang disampaikan oleh media akan langsung mengenai sasarannya yakni para khalayak. Sehingga kita tidak dapat menghindar dari terpaan doktrin yang dilakukan oleh media. Teori ini menganggap bahwa kita sebagai khalayak dapat dengan mudah dipengaruhi dan dibentuk sesuai dengan apa yang diingkan oleh media tersebut (Nurudin,2007 : 165).
Dalam teori komunikasi massa jarum hipodermik, pesan dalam sebuah iklan yang dikirim atau ditonton oleh pemirsa akan langsung mengenai sasaran seperti sebuah peluru yang ditembakan kepada seseorang, bila telah mengenai sasarannya maka akan langsung mendapatkan efeknya, oleh karena itu iklan melalui televisi akan sangat efektif, keinginan para pengiklan akan langsung mengenai sasaran. Bila pun terdapat warga masyarakat yang cukup kritis, tetapi bisa dipastikan hanya segelintir orang dan itu pun tidak termasuk pengguna produk yang diiklankan.
Bila iklan ditempatkan dalam konteks globalisasi, akan muncul apa yang dinamakan budaya komunikasi global. Dengan demikian, posisi iklan dalam media televisi pun merupakan salah satu media dalam komunikasi global yang menembus sekat kultural dan batas negara. Dengan demikian akan menghilangkan unsur komunikasi dari suatu bangsa yang tradisional. Bila hal ini tidak kita antisipasi secara kritis, maka “cultural imperialisme” yang melekat pada kehadiran arus informasi dunia yang timpang, akan cepat menyebar, sesuai dengan karakteristiknya yang tak terbatas. Dalam hal ini, iklan dan televisi ibarat dua sisi mata uang yang selalu bersamaan masuk pada ruang privasi warga negara, menawarkan beraneka bentuk hiburan dan gaya hidup iklan yang begitu seolah menyenangkan. Sehingga tak diragukan lagi bahwa iklan yang ditayangkan melalui media televisi akan lebih efektif bila dibandingkan dengan iklan pada media lainnya.
Tahun 2009 menjadi sangat menentukan bagi kita, kehidupan sosialnya, negara dan pemerintahannya. Ini tidak lain karena di tahun ini kita akan mengadakan perhelatan yang sangat prestisius. Bukan karena agenda konser tour beberapa band luar negeri. Bukan juga karena akan ada banyak pendatang yang ingin menikmati keindahan Nusantara. Tetapi Pemilu 2009. Suatu perhelatan paling penting bagi Indonesia dan bangsa. Dan disini terlihat jelas pemanfaatan media yang dalam hal ini adalah televisi oleh para politisi itu.
Peran media televisi dalam komunikasi politik tentu sangat banyak. Dan dalam tulisan ini dikaji empat peran penting televisi dalam melakukan komunikasi politik. Seperti, televisi sebagai alat komunikasi politik, televisi menjadi sarana untuk melakukan persuasi, memberikan informasi politik pada khalayak, memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk dapat menilai apa yang disampaikan dari televisi.
Televisi sebagai komunikasi politik. Dimana para aktor politik membeli dan menggunakan tempat atau spot pada waktu tertentu untuk menyampaikan pesan pada khalayak luas. Tujuannya dari iklan politik itu sendiri adalah sebagai sarana untuk menyampaikan pesan dari aktor politik tersebut kepada khalayak dan untuk mendapatkan simpati tentunya.
Kedua adalah televisi dalam hal ini melakukan komunikasi secara persuasi dengan tujuan agar apa yang disampaikan dapat mempengaruhi khalayak. Televisi memiliki peran penting akan keberhasilan dari aktor politik yang melakukan kampanye.
Disini penulis memperkenalkan teori William Robson yang menyatakan bahwa politik adalah segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Serta teori Jarum Hipodermik dalam Komunikasi Massa yang menyebutkan bahwa pesan dalam sebuah iklan yang dikirim atau ditonton oleh pemirsa akan langsung mengenai sasaran seperti sebuah peluru yang ditembakan kepada seseorang, bila telah mengenai sasarannya maka akan langsung mendapatkan efeknya.
Tiada gading yang tak retak, demikian juga dengan tulisan ini. Masukan serta kritik yang membangun diharapkan penulis untuk membuat tulisan ini lebih mendekati sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
Partando, Pius A dan M. Dahlan Al-Barry. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya : Arkola, 1994.
Samantho, Ahmad Y. Jurnalistik Islami : Panduan Praktis Bagi Para Aktivis Muslim. Jakarta : Harakah, 2002.
Wahyuni, Hermin Indah. Televisi dan Intervensi Negara : Konteks Politik Kebijakan Publik Industri Penyiaran Televisi Yogyakarta: Media Pressindo, 2000.
http://www.wikipedia.com/html. akses tanggal 29 Desember 2009
http://artgie’s weblog.com/html. Last update: November 17 2008, akses tanggal 2 Januari 2008
0 komentar:
Posting Komentar