Siang itu matahari serasa membakar kulit. Sangat tidak bersahabat. Aku liat jam di Hpku sudah menunjukkan angka 11.56 dan cuaca panas ini terus memberikan suatu peringatan bahwa bukan ide bagus berangkat ke Malang ditemani terik sinarnya yang menyengat. Ya, hari Sabtu siang kemarin aku melakukan perjalanan ke Malang setelah sebelumnya dua hari berada di Madura untuk turut berpartisipasi terhadap Pemilu Keparat 2009 ini.
Aku dan temenku saat itu tau akan keadaan ini, tapi rencana dan janji tidak dapat diubah semau kita. Kami punya rencana dan janji pada dua orang kawan yang tidak mungkin untuk kami ingkari. Tapi aku tidak akan membicarakan tentang perjanjian ini. Aku hanya ingin menggambarkan pada para pembaca tentang perjalanan melelahkan kami berdua kemarin. Fiuhh..aku rasa bisa kita mulai kan..?
Seperti yang kuceritakan diatas, siang itu sangat panas. Dedaunan dan pohon” yang berdiri disamping jalan tau itu. Berdua kami mengenakan jaket yang terbuat dari kain yang ringan. Temanku yang memakai jaket warna abu” terus mencoba berkonsentrasi mengemudikan motornya untuk kemudian lebih mengabaikan panasnya cuaca siang itu. Aku sendiri dengan jaket coklat berharap keluhan itu tidak aku ucapkan lagi dengan mengenakan topi.
Sekitar dua kilometer perjalanan aku membuat sebuah kecerobohan. Hah..? Topi yang aku kenakan terbang di terpa angin. Untung saat itu tidak ada mobil yang meremukkan topi itu. Huff..dan ini membuat aku dimarahi temanku. Rasanya dengan usahanya untuk konsentrasi itu, kesalahan sekecil apapun tidak bisa dimaafkan. Oke, aku mengerti. Perjalanan berlangsung kembali.
Sebelumnya aku ceritakan bahwa perjalanan ini dari Sepulu, sebuah desa sekaligus kecamatan tempat tinggal kami di Bangkalan Madura menuju kota yang saat ini menjadi domisili kami, Malang. Untuk itu kami harus melewati pelabuhan penyebrangan selat Madura, Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan untuk sampai di kota yang katanya dikenal dengan Kota Pendidikan, Malang.
Cerita dilanjutkan sesampainya kami di pelabuhan Kamal. Pelabuhan untuk menyebrangi selat Madura. Seharusnya tidak ada masalah dengan pelabuhan ini. Tapi kemudian keluhan datang akan penumpang yang bejubel dan sekali lagi, cuaca yang panas.
Kami dengan ribuan penumpang lainnya harus berbagi antrian untuk banyak hal. Beli karcis, masuk kapal dan menempatkan kendaraan di atas kapal.
Tepat setelah kami mendapatkan tempat di belakang kapal (aku lupa apa sebutan untuk belakang kapal..!?), kami memutuskan naik ke lantai dua dari kapal ini. Dan aku lupa satu lagi kenyataan bahwa kami juga harus berbagi tempat duduk di kapal feri ini (sebutan untuk kapal penyebrangan..).
Sesampainya di Surabaya, kami sempat mendatangi dua tempat yang semestinya tidak ada dalam rencana perjalanan kami, yaitu GAMA MOTOR, toko onderdil resmi Vespa yang ada di jalan Indrapura untuk membeli beberapa barang terkait dengan keanggotaan temenku sebagai KOMPAS (KOMunitas vesPA Sepulu), dan tempat kost kakakku di daerah Stikes Yarsis tempat Ia kuliah untuk mengembalikan digi.cam dan menyampaikan beberapa pesan dari keluarga.
Setelah sedikit nyantai sejenak dan menyegarkan badan dan wajah, sekitar jam empat sore kami meneruskan perjalanan (yang sedikit) sial ini menuju kota berikutnya, Sidoarjo.
Kesialan yang berbuah keresahan ini diawali saat kami merasa ada yang aneh pada sepeda motor yang kami tunggangi sesampainya di Sidoarjo. Temenku bilang knalpotnya bocor dan harus segera dibengkelin untuk menghindari copotnya onderdil satu-satu.
Sejauh kurang lebih tiga kilometer kami melirik kanan kiri guna mencari bengkel yang dapat meredakan keresahan kami sampai akhirnya kami menemukan sebuah bengkel di kiri jalan. Sekali lagi, “Cuacanya panas nich..!”
Tak berhenti disitu saja, keresahan sekali lagi muncul ditandai dengan bunyi”an aneh dari roda depan kami. Setelah beberapa kali kami menghentikan motornya untuk diperiksa, akhirnya kami memutuskan untuk mengabaikannya (walau sebenarnya takut juga sich..!?) dan menuju kota berikutnya, Pasuruan.
Tidak banyak hal yang bisa diceritakan di Pasuruan. Antrian seperti biasanya di sepanjang jalan Raya Gempol ditambah udara panas yang menemani dan sesekali ikut menghantam bersama dengan debu jalanan menjadi cerita yang sudah biasa AKPER (AnaK PERjalanan) alami. Indahnya pemandangan dan banyaknya pabrik air mineral dalam kemasan menjadi hiasan mata orang-orang yang lewat di sepanjang jalan termasuk kami. Terbenamnya matahari dan berkumandangnya Adzan Maghrib ikut menandai tibanya kami di Malang.
Lawang, sesuai dengan artinya yang berarti ‘pintu’ adalah gerbang masuk ke kota Malang. Dengan semangat motor kami melalui berpendarnya cahaya matahri pada ilalang-ilalang di kanan-kiri jalan raya yang kami lewati. Nyaris tak ada yang bisa kami keluhkan setibanya disini. Udara yang tak lagi panas dengan sejuknya menyentuh pori-pori kulit dan menyeka peluh yang kami rasakan. Mungkin terdengar berlebihan. Tapi setidaknya kami tak lagi mengeluhkan panas dan debu berterbangan yang kami takuti menghilangkan manisnya wajah kami. He hee..
Singosari menjadi kecamatan kedua yang kami lewati. Disini temenku semakin kencang mengemudikan motornya. Namun, disini pula bencana terjadi. Ditengah perjalanan yang sangat menyenangkan dengan menikmati alam, tiba-tiba..”Breett..”, aku tidak tau pasti suaranya, tapi mungkin bisa sedikit mengimajikan suara motor mogok.
“Kenapa ne Him..?”, sembari kaget aku bertanya.
“Sepertinya bensinnya abis Mim..”.
“Hah..? Disini..? Sekarang..? Ya baguslah..”.
“Hmm..”. Ya, motor kami mogok. Bensinnya habis. Dan kami terpaksa harus melakukan kegiatan yang paling dihindari orang yang sedang berkendara: ‘Ayo dorong..!’
Tidak ada cara lain selain mendorong motor ini sampai menemukan tempat untuk membeli bensin. Kami pun dengan semangat yang sedikit mengendor mendorong motor sejauh mungkin. Tak kami hiraukan semua pandangan yang mengarah pada kami. Walaupun sebenarnya ada rasa malu yang terlalu berat untuk akmi singkirkan.
Setelah sekitar dua ratus meter mendorong, kami berhadapan dengan jalan menurun yang menguntungkan. Tentunya membri respon positif. Tanpa basa-basi kami kembali menunggangi motor dan “Ngeengg..”, motor kami melaju. Sepertinya motor kami juga senang meluncur tanpa harus menghidupkan mesin.
Namun, rasa senang itu segera menjadi beban bagi kami.
“Waduh..tanjakan nich Mim..”, temanku memberi peringatan beban yang harus kami tanggung sebentar lagi. Kami pun mencoba memberikan respon sepositif tadi. Dan huhf..kami pun mendorongnya sekuat tenaga hingga ke atas. Tapi sial tenaga kami sudah habis untuk acara semangat dorong-mendorong tadi di bawah sampai ke atas sini.
Untuk meringankan beban ini, kami pun ngobrol gaya jadul yang sudah lama kami tidak perankan. Sebelumnya perlu diketahui kami adalah satu angkatan dari TK dulu dan masih bertahan sampai saat ini.
“Kamu masih ingat liburan TK Cawu I kita di Malang..? Sudah lama banget ya..? Dan sekarang kita bolak-balik ke Malang untuk masing-masing urusan kita..! Dan bahkan pelabuhan untuk sebuah cita-cita..!”, temenku membuka obrolan ini dengan mengenang masa imut kita dulu.
“Ya, kadang aku juga merasa masa-masa seperti itu tidak ingin berlalu dan terus kita rasakan. Tapi itu hanya pikiran bodoh. Banyak yang akan kita lakukan di depan dan tidak akan berpengaruh pada masa itu..”.
“Jujur kadang aku iri pada kalian. Kalian sudah berhasil menjadi orang setengah jadi yang siap untuk dipakai. Aku yang amburadul seperti ini bahkan tidak tau apa yang terjadi esok. Apa kamu yakin bisa bertahan dengan kehidupan kita yang seperti ini menghadapi dunia yang semakin keparat ini Mim..”.
“Kehidupan seperti apa yang kamu maksud..?”.
“Kehidupan sosial kita yang pas-pasan ini. Kehidupan dengan gaya hampa dan tidak jelas ini..”.
“Kalo boleh aku bilang kehidupan ini yang aku merasa enjoy didalamnya. Kehidupan ini bukanlah suatu hal yang harus membuat kita malu kan..? miskin harta bukan berarti kita juga harus miskin hati dan cinta..! Bukan untuk dibebankan. Walaupun aku juga masih belum bisa bersyukur dengan kehidupanku yang sekarang..”.
“Ya, kamu pernah bilang kalo kaum yang pertama masuk surga adalah orang-orang miskin iya kan..? Kamu juga bilang kalo miskin juga bisa juga sebuah pilihan kan..?”.
“Ya aku ingat itu. Kenapa..?”.
“Aku hanya ingin bertaruh untuk itu. Aku sadar punya kekayaan hati pun bukan sebuah jaminan. Ada hal” lain untuk kita bisa sejahtera di akhirat ntar. Tapi setidaknya kita optimis dengan segala kekurangan yang kita miliki..”.
“Yup, bahkan untuk beribadah pun bisa jadi sebuah pilihan. Apakah kita akan mengingkari tujuan hidup kita atau sebaliknya..? Sama halnya dengan usia lanjut dan kedewasaan. Kamu kan yang sampaikan itu padaku..?”.
“Ya, aku liat tag line iklan (A-Mild) itu benar. Dan entah kenapa aku merasakan keduanya saat ini..?”.
“Dah ngerasa tua kali..! By the way, di depan kayaknya jual bensin tuch..!”, ucapku menunjuk bengkel didepan memberi isyarat selamatlah kita dari acara dorong-mendorong.
“Akhirnya..!”. Sebuah kata ujung dari kepasrahan itu mengakhiri komunikasi linear model New Comb (yang memberikan pesepsi yang sama dan selaras terhadap sebuah objek) kami.
Kami pun beli satu liter bensin untuk terus melaju sampai Tlogo Mas. Seperti kafilah yang menemukan air di tengah padang pasir, kami meloncat tanpa sadar dan langsung meluncur hingga akhirnya sampai di kost.
Sesampainya di kamar, mandi, shalat dan makan adalah kegiatan kami sebelum akhirnya merebahkan diri di atas kasur.
Perjalanan yang sedikit menguras tenaga untuk diceritakan. Tanpa banyak memikirkan hikmah apa yang terkandung di dalamnya, aku memberanikan menceritakan perjalanan ini setelah dipaksa beberapa kawan untuk menceritakan kisah konyol dengan kegiatan bodoh dorong-mendorong itu.
Selamat menikmati Bingkisan Cerita ini..
Aku dan temenku saat itu tau akan keadaan ini, tapi rencana dan janji tidak dapat diubah semau kita. Kami punya rencana dan janji pada dua orang kawan yang tidak mungkin untuk kami ingkari. Tapi aku tidak akan membicarakan tentang perjanjian ini. Aku hanya ingin menggambarkan pada para pembaca tentang perjalanan melelahkan kami berdua kemarin. Fiuhh..aku rasa bisa kita mulai kan..?
Seperti yang kuceritakan diatas, siang itu sangat panas. Dedaunan dan pohon” yang berdiri disamping jalan tau itu. Berdua kami mengenakan jaket yang terbuat dari kain yang ringan. Temanku yang memakai jaket warna abu” terus mencoba berkonsentrasi mengemudikan motornya untuk kemudian lebih mengabaikan panasnya cuaca siang itu. Aku sendiri dengan jaket coklat berharap keluhan itu tidak aku ucapkan lagi dengan mengenakan topi.
Sekitar dua kilometer perjalanan aku membuat sebuah kecerobohan. Hah..? Topi yang aku kenakan terbang di terpa angin. Untung saat itu tidak ada mobil yang meremukkan topi itu. Huff..dan ini membuat aku dimarahi temanku. Rasanya dengan usahanya untuk konsentrasi itu, kesalahan sekecil apapun tidak bisa dimaafkan. Oke, aku mengerti. Perjalanan berlangsung kembali.
Sebelumnya aku ceritakan bahwa perjalanan ini dari Sepulu, sebuah desa sekaligus kecamatan tempat tinggal kami di Bangkalan Madura menuju kota yang saat ini menjadi domisili kami, Malang. Untuk itu kami harus melewati pelabuhan penyebrangan selat Madura, Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan untuk sampai di kota yang katanya dikenal dengan Kota Pendidikan, Malang.
Cerita dilanjutkan sesampainya kami di pelabuhan Kamal. Pelabuhan untuk menyebrangi selat Madura. Seharusnya tidak ada masalah dengan pelabuhan ini. Tapi kemudian keluhan datang akan penumpang yang bejubel dan sekali lagi, cuaca yang panas.
Kami dengan ribuan penumpang lainnya harus berbagi antrian untuk banyak hal. Beli karcis, masuk kapal dan menempatkan kendaraan di atas kapal.
Tepat setelah kami mendapatkan tempat di belakang kapal (aku lupa apa sebutan untuk belakang kapal..!?), kami memutuskan naik ke lantai dua dari kapal ini. Dan aku lupa satu lagi kenyataan bahwa kami juga harus berbagi tempat duduk di kapal feri ini (sebutan untuk kapal penyebrangan..).
Sesampainya di Surabaya, kami sempat mendatangi dua tempat yang semestinya tidak ada dalam rencana perjalanan kami, yaitu GAMA MOTOR, toko onderdil resmi Vespa yang ada di jalan Indrapura untuk membeli beberapa barang terkait dengan keanggotaan temenku sebagai KOMPAS (KOMunitas vesPA Sepulu), dan tempat kost kakakku di daerah Stikes Yarsis tempat Ia kuliah untuk mengembalikan digi.cam dan menyampaikan beberapa pesan dari keluarga.
Setelah sedikit nyantai sejenak dan menyegarkan badan dan wajah, sekitar jam empat sore kami meneruskan perjalanan (yang sedikit) sial ini menuju kota berikutnya, Sidoarjo.
Kesialan yang berbuah keresahan ini diawali saat kami merasa ada yang aneh pada sepeda motor yang kami tunggangi sesampainya di Sidoarjo. Temenku bilang knalpotnya bocor dan harus segera dibengkelin untuk menghindari copotnya onderdil satu-satu.
Sejauh kurang lebih tiga kilometer kami melirik kanan kiri guna mencari bengkel yang dapat meredakan keresahan kami sampai akhirnya kami menemukan sebuah bengkel di kiri jalan. Sekali lagi, “Cuacanya panas nich..!”
Tak berhenti disitu saja, keresahan sekali lagi muncul ditandai dengan bunyi”an aneh dari roda depan kami. Setelah beberapa kali kami menghentikan motornya untuk diperiksa, akhirnya kami memutuskan untuk mengabaikannya (walau sebenarnya takut juga sich..!?) dan menuju kota berikutnya, Pasuruan.
Tidak banyak hal yang bisa diceritakan di Pasuruan. Antrian seperti biasanya di sepanjang jalan Raya Gempol ditambah udara panas yang menemani dan sesekali ikut menghantam bersama dengan debu jalanan menjadi cerita yang sudah biasa AKPER (AnaK PERjalanan) alami. Indahnya pemandangan dan banyaknya pabrik air mineral dalam kemasan menjadi hiasan mata orang-orang yang lewat di sepanjang jalan termasuk kami. Terbenamnya matahari dan berkumandangnya Adzan Maghrib ikut menandai tibanya kami di Malang.
Lawang, sesuai dengan artinya yang berarti ‘pintu’ adalah gerbang masuk ke kota Malang. Dengan semangat motor kami melalui berpendarnya cahaya matahri pada ilalang-ilalang di kanan-kiri jalan raya yang kami lewati. Nyaris tak ada yang bisa kami keluhkan setibanya disini. Udara yang tak lagi panas dengan sejuknya menyentuh pori-pori kulit dan menyeka peluh yang kami rasakan. Mungkin terdengar berlebihan. Tapi setidaknya kami tak lagi mengeluhkan panas dan debu berterbangan yang kami takuti menghilangkan manisnya wajah kami. He hee..
Singosari menjadi kecamatan kedua yang kami lewati. Disini temenku semakin kencang mengemudikan motornya. Namun, disini pula bencana terjadi. Ditengah perjalanan yang sangat menyenangkan dengan menikmati alam, tiba-tiba..”Breett..”, aku tidak tau pasti suaranya, tapi mungkin bisa sedikit mengimajikan suara motor mogok.
“Kenapa ne Him..?”, sembari kaget aku bertanya.
“Sepertinya bensinnya abis Mim..”.
“Hah..? Disini..? Sekarang..? Ya baguslah..”.
“Hmm..”. Ya, motor kami mogok. Bensinnya habis. Dan kami terpaksa harus melakukan kegiatan yang paling dihindari orang yang sedang berkendara: ‘Ayo dorong..!’
Tidak ada cara lain selain mendorong motor ini sampai menemukan tempat untuk membeli bensin. Kami pun dengan semangat yang sedikit mengendor mendorong motor sejauh mungkin. Tak kami hiraukan semua pandangan yang mengarah pada kami. Walaupun sebenarnya ada rasa malu yang terlalu berat untuk akmi singkirkan.
Setelah sekitar dua ratus meter mendorong, kami berhadapan dengan jalan menurun yang menguntungkan. Tentunya membri respon positif. Tanpa basa-basi kami kembali menunggangi motor dan “Ngeengg..”, motor kami melaju. Sepertinya motor kami juga senang meluncur tanpa harus menghidupkan mesin.
Namun, rasa senang itu segera menjadi beban bagi kami.
“Waduh..tanjakan nich Mim..”, temanku memberi peringatan beban yang harus kami tanggung sebentar lagi. Kami pun mencoba memberikan respon sepositif tadi. Dan huhf..kami pun mendorongnya sekuat tenaga hingga ke atas. Tapi sial tenaga kami sudah habis untuk acara semangat dorong-mendorong tadi di bawah sampai ke atas sini.
Untuk meringankan beban ini, kami pun ngobrol gaya jadul yang sudah lama kami tidak perankan. Sebelumnya perlu diketahui kami adalah satu angkatan dari TK dulu dan masih bertahan sampai saat ini.
“Kamu masih ingat liburan TK Cawu I kita di Malang..? Sudah lama banget ya..? Dan sekarang kita bolak-balik ke Malang untuk masing-masing urusan kita..! Dan bahkan pelabuhan untuk sebuah cita-cita..!”, temenku membuka obrolan ini dengan mengenang masa imut kita dulu.
“Ya, kadang aku juga merasa masa-masa seperti itu tidak ingin berlalu dan terus kita rasakan. Tapi itu hanya pikiran bodoh. Banyak yang akan kita lakukan di depan dan tidak akan berpengaruh pada masa itu..”.
“Jujur kadang aku iri pada kalian. Kalian sudah berhasil menjadi orang setengah jadi yang siap untuk dipakai. Aku yang amburadul seperti ini bahkan tidak tau apa yang terjadi esok. Apa kamu yakin bisa bertahan dengan kehidupan kita yang seperti ini menghadapi dunia yang semakin keparat ini Mim..”.
“Kehidupan seperti apa yang kamu maksud..?”.
“Kehidupan sosial kita yang pas-pasan ini. Kehidupan dengan gaya hampa dan tidak jelas ini..”.
“Kalo boleh aku bilang kehidupan ini yang aku merasa enjoy didalamnya. Kehidupan ini bukanlah suatu hal yang harus membuat kita malu kan..? miskin harta bukan berarti kita juga harus miskin hati dan cinta..! Bukan untuk dibebankan. Walaupun aku juga masih belum bisa bersyukur dengan kehidupanku yang sekarang..”.
“Ya, kamu pernah bilang kalo kaum yang pertama masuk surga adalah orang-orang miskin iya kan..? Kamu juga bilang kalo miskin juga bisa juga sebuah pilihan kan..?”.
“Ya aku ingat itu. Kenapa..?”.
“Aku hanya ingin bertaruh untuk itu. Aku sadar punya kekayaan hati pun bukan sebuah jaminan. Ada hal” lain untuk kita bisa sejahtera di akhirat ntar. Tapi setidaknya kita optimis dengan segala kekurangan yang kita miliki..”.
“Yup, bahkan untuk beribadah pun bisa jadi sebuah pilihan. Apakah kita akan mengingkari tujuan hidup kita atau sebaliknya..? Sama halnya dengan usia lanjut dan kedewasaan. Kamu kan yang sampaikan itu padaku..?”.
“Ya, aku liat tag line iklan (A-Mild) itu benar. Dan entah kenapa aku merasakan keduanya saat ini..?”.
“Dah ngerasa tua kali..! By the way, di depan kayaknya jual bensin tuch..!”, ucapku menunjuk bengkel didepan memberi isyarat selamatlah kita dari acara dorong-mendorong.
“Akhirnya..!”. Sebuah kata ujung dari kepasrahan itu mengakhiri komunikasi linear model New Comb (yang memberikan pesepsi yang sama dan selaras terhadap sebuah objek) kami.
Kami pun beli satu liter bensin untuk terus melaju sampai Tlogo Mas. Seperti kafilah yang menemukan air di tengah padang pasir, kami meloncat tanpa sadar dan langsung meluncur hingga akhirnya sampai di kost.
Sesampainya di kamar, mandi, shalat dan makan adalah kegiatan kami sebelum akhirnya merebahkan diri di atas kasur.
Perjalanan yang sedikit menguras tenaga untuk diceritakan. Tanpa banyak memikirkan hikmah apa yang terkandung di dalamnya, aku memberanikan menceritakan perjalanan ini setelah dipaksa beberapa kawan untuk menceritakan kisah konyol dengan kegiatan bodoh dorong-mendorong itu.
Selamat menikmati Bingkisan Cerita ini..
1 komentar:
wah seru juga tuh perjalanannya.. Bercerita tentang hidup memang akan membuat kita tersadar aka keadaan kita yang sesungguhnya. Mf Kid q g' bisa ngasi komen banyak, tulisanmu ne menurutq dah inspiratif bgt untk disuguhkan pd halayak...
Di luar komentar soal tulisanmu,
makasih ya Kid kmu dan sudi menobatkan Q sbg tmnmu. Sjak q d Malang q memang mencari orang yang sepham denganq mengenai hoby SMAq yang sekarang dah mulai merdup karena jauh dari komunitasq sewaktu SMA dlu yang myoritas pnulis.
klo bleh q berkomentar sedikit lgi,
menurutq tulisanmu dah koherensif, akan tetapi Kid masih belum begitu tau banyak tentang kta dasr dari sebuah kata dan fungsi dari tanda baca sama kaya' q hehehe (sebenarnya Kid tau itukan? tp blum menuangkannya).
OK KID.. LET'S GO
Posting Komentar