Siang ini aku hampir mati, dalam arti sebenarnya. Bukan karena merindukanmu, bukan juga karena berusaha mengusir namamu dalam doaku setiap rindu itu datang. Aku hampir mati, karena satu ironi yang sampai sekarang aku benci menanggungnya. Anak nelayan yang tidak bisa berenang. Mungkin salahku, mendahulukan keinginan duniawi daripada menjalankan ibadah wajib.
Siang ini aku berada di rumah untuk banyak hal. Dari semuanya, hal yang paling aku sukai adalah hmm apa ya, gak ada sih. Semuanya menarik. Kenyataan kalau aku berada di rumah dan bertemu semua penghuninya, itu adalah weekend terbaik yang pernah ada. Semua orang juga berpikir hal yang sama sepertiku. Kenyataan kalau akan ada bincang” tipis antara aku, Sofyan, Silvi, Hilmi, Ook dan Lauhim kedua kalinya juga membuatku antusias menjalani hari sampai petang menjemput. Hal lainnya adalah, spekulasi kalau aku akan ‘pandinan’, pergi ke pantai, laut untuk bermain, seolah berenang atau hal lainnya. Ternyata, hal lainnya adalah pilihan yang Tuhan berikan padaku.
Siang ini seorang teman Bapak datang ke rumah, bilang kalau Bapak butuh bantuan untuk menyelesaikan ‘dandanan’ kapalnya. Sudah dua hari Bapak gak melaut, karena ada masalah di mesin dan alas di bagian buritan kapal. Setelah semua selesai diperbaiki dibantu satu tukang, tibalah Bapak sendirian harus melakukan semacam finishing touch untuk kapal ini. Saat permintaan bantuan itu datang di daun telinga pintu rumah, tanpa basa basi aku dan Zainal ganti celana pendek dan melepaskan kaos. Mengucap salam pada Ibu, dan langsung menuju pantai yang hanya berjarak 50 meter dari belakang rumah. Aku pergi, tepat saat adzan Dzuhur berkumandang. Keraguan langkah kakiku untuk kembali ke rumah atau meneruskan perjalanan ke pantai semakin besar saat aku sudah melihat kapal Bapak dari kejauhan. Aku sempat kembali ke rumah, tepat di depan rumah, tapi yang aku lakukan hanya menyapa Zein yang baru selesai mandi dan jalan lagi ke pantai.
Siang itu, air laut lagi pasang. Aku tak menyangka bakal setinggi ini. Aku benar” tenggelam, tinggi air laut di atas kepalaku. Untung ada tali perahu yang satu ujungnya mengikat kapal dan bebatuan di pantai di ujung satunya. Lumayan bergelantungan buat mencapai kapal Bapak.
‘Pak’, aku menjulurkan tangan kananku yang disambut uluran tangan kanan Bapak dan aku menciumnya.
‘Itu kenapa kakimu..?’, Bapak menunjuk darah yang muncul di pergelangan kaki kananku.
‘Oh, kapan ini ya..? Kok gak kerasa..?’,
‘Kena tiram paling. Tadi renang deket tali..?’, tanya Bapak santai.
‘Iya sih Pak. Aw’, sakitnya mulai kerasa sekarang. Darahnya keluar lumayan banyak dan segera aku pindahkan kaki ke air laut untuk aku basah. Sementara itu, Zainal sudah bolak balik naik dan turun kapal buat bersih” kapal dan berenang.
‘Ini air di dalam keluarkan pakai pompa itu, kalau udah tinggal dikit, dikeluarin manual pakai gayung kayu itu’, Bapak memberi instruksi padaku dan Zainal.
Kami berdua mengeluarkan air yang ada di lambunng kapal seperti yang diinstruksikan. Bagiku siang itu, apalagi yang bisa membuat bahagia selain situasi ini..? Jika ada, situasi itu adalah Nurul dan Zein juga di sini. Sepintas, aku memikirkan Nurul. Dia akan menjalani UN SMP 9 Mei nanti dan aku belum menelponnya memberi semangat. Walaupun entah itu berfungsi atau tidak. Sepintas juga aku berencana meminta Ibu nelpon pesantrennya, karena orang tua santri lebih punya kuasa atas pembicaraan lewat sambungan telpon dengan santri.
‘Kak, bisa renang..?’, tanya Zainal padaku seketika.
‘Enggak. Kamu..?’,
‘Bisa dikit’, jawab Zainal dengan langsung menceburkan diri ke laut turun dari kapal.
‘OKe, saya nyebur ntar tangkep ya. Tolongin’, pintaku.
‘OKee’, jawaban Zainal aku sambut dengan loncatanku ke laut. Sial, aku tidak bisa merasakan tanah di bawah kakiku. Aku tenggelam. Jarak antara tanah dan kakiku mengapung terlalu jauh, jauh. Saat sampai di tanah, aku kembali naik ke atas dengan susah payah. Dari sudut pandang yang sangat singkat itu, aku melihat Zainal mengarah ke posisiku tenggelam dan menarikku. Tanganku dia tempatkan ke bahunya dan memegangnya. Tapi aku melihat Zainal tidak bisa menguasai gerakan tangannya. Gilak, dengan posisi ini malah Zainal yang akan tenggelam dan mati. Akhirnya aku melepaskan tanganku dari bahunya dan menenggelamkan diri kembali. Aku berusaha menyentuh tanah di bawah dan kembali mendorong ke atas. Seketika itu, aku berteriak dengan keras.
‘Pak, tolong Zainal. Pak’, teriakku sekeras mungkin. Tapi sepertinya tak cukup kuat. Sekilas aku melihat Bapak tersenyum sebelum meloncat dari kapal. Sementara aku sudah tidak lagi melihat Zainal. Dua detik kemudian, ada tangan yang menarik tanganku ke atas. Ternyata itu tangan Bapak. Aku kaget. Sial, kenapa aku duluan yang ditolong. Bapak membawaku menyentuh bagian kapal yang bisa dinaiki.
‘Pak, Zainal Pak. Di mana dia..?’, detik itu juga aku merasa bersalah. Mataku celingukan mencari Zainal saat tanganku sudah menyentuk kapal dan menaikinya sebagian dengan sisa tenagaku. Dalam kondisi panik itu, aku bertanya pada Bapak dengan mulut penuh air laut, asin. ‘Pak, mana Zainal..?’,
‘Itu di sana..? Sebaiknya Kamu naik dan duduk dulu’, suara Bapak benar” tenang. Bapak menyelingi perkataannya itu dengan senyum. Padahal aku di sini sudah takut terjadi apa” pada Zainal.
‘Saya di sini Kak’, suara Zainal datang dari arah kanan tempatku bergelantungan. Dia juga sama bergelantungan, tapi dengan kaki masih di laut. Sementara Bapak melihat sekeliling, menghitung berapa kapal yang ada penghuninya dan melihat kejadian ini. Bapak menghampiri saya dan ketawa.
‘Empat orang melihat ini. Sepertinya, sore sampai malam nanti kita akan kedatangan banyak tamu. Sekitar 30 sampai 1 menit berhenti depan rumah bertanya keadaanmu’,
‘Hah..?’, aku gak paham apa yang dikatakan Bapak.
‘Coba duduk’, Bapak memintaku. Aku melakukannya. ‘Atur nafasmu. Kamu yang tenggelam, Zainal masih bisa menyelamatkan diri tadi. Harusnya Kamu tidak melepaskan tanganmu dari bahu Zainal’, Bapak tidak berhenti tersenyum saat berkata ini padaku.
‘Tapi Zainal bisa mati kalau tidak aku lepaskan tanganku dari bahunya. Aku memberi beban terlalu banyak pada bahunya’,
‘Tidak, Kamu panik. Zainal jadi korban kepanikanmu. Akhirnya dia juga berpikir kalau Kamu harus diselematkan terlebih dahulu dan kehilangan keseimbangan menggerakkan kakinya’,
‘Bapak kenapa ketawa..?’,
‘Bapak tau Kamu memikirkan hidup Zainal saat itu’,
‘’Iya, Pak’,
‘Sekarang kita berdua tau kelemahan yang sangat ingin Kamu tutupi. Setidaknya itu menjadikanmu tau mana batasan yang harus Kamu simpan untuk dihindari dan batasan yang harus Kamu robohkan’,
Siang itu Bapak seperti ingin kembali mengingat bahwa selalu ada pelajaran penting dari jeda pendek yang memisahkan mati dan hidup. Aku dan Zainal kembali naik kapal dan menyelesaikan kerjaan ini dan pulang sekitar sejam kemudian.
30 April 2016
Jeda Antara Mati dan Hidup..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar