Surat Berantakan Untukmu..

dingin tak pernah berakhir di kota itu. meski musim panas tiba, atau saat Kau diam meninggalkan kata-kata. aku mulai mengingat satu per satu sentuhan yang pernah kita buat. atau rayuan-rayuanmu dalam surat. dan semua pesan-pesan yang membuat hati kita hangat. aku mulai mengingatnya. satu per satu. tapi visualnya tak utuh. mungkin karena aku tak melakukannya dengan sungguh. atau memang cinta kita yang tak pernah teduh?

aku tak ingin lagi mencari alasan-alasan untuk bertemu denganmu. harusnya Kau juga begitu. menemui takdirmu yang sudah tertulis dan setengah Kau jalani. kita bukan lagi sepasang burung camar yang ke sana kemari terbang beradu pandang. bagiku, mengingatmu dalam kenang adalah kehormatan. harusnya Kau juga begitu. ingatlah seadanya. jangan semuanya. karena Kau tidak akan tau apa yang terjadi setelahnya.

aku tak ingin ada cumbuan dalam tulisan pendek ini. menggodamu dan memaksa kita kembali pada romansa dingin di kota itu. aku yakin Kau juga begitu. aku sempat mencintaimu, yang membuatku menghormatimu sampai saat ini, sampai mungkin Kau baca paragraf ini.

aku sengaja menulisnya sambil menyesaki telinga dengan lagu-lagu One OK Rock yang tak kumengerti liriknya. agar tak ada rayuan yang terselip. aku menulisnya pagi hari saat kopi sisa semalam sudah habis. agar tak ada umbuk yang mengintai. aku menulisnya saat moodku tak beraturan. ada rindu, jelas. ingatan-ingatan yang aku bangkitkan membuatku begitu. tapi rindu itu tak kubiarkan membesar. hanya sebagai pengingat bahwa aku pernah menjalin kasih denganmu yang aku tujukan surat ini.

anggap saja ini bukan surat. karena digital, aku upload, dan bisa dibaca oleh banyak mata. bukan surat seperti yang kita sepakati dulu. surat berisi tulisan tangan di atas kertas. ditulis dengan hati yang berbunga atau terluka. anggap ini bukan surat, tapi aku tujukan padamu. setelah malam itu kita bertemu. malam yang harusnya menjadi malam biasa. malam yang bisa terjadi di malam-malam lain. bertemu seseorang yang bukan siapa-siapa.

sepertinya aku tak bisa menggenapinya menjadi tujuh paragraf. karena aku sengaja menulisnya saat berada di meja redaksi yang sibuk. yang membuatku cepat-cepat menulis ini. agar tak terbawa suasana. agar tak ada rasa yang tersisip. agar rasa yang sudah kering tidak kembali basah. agar segera aku akhiri dengan berantakan. agar aku sudahi dalam satu kalimat ini.

0 komentar:

Posting Komentar