Tawa Itu..

Akhirnya sampai di sini kita, di tempat duduk yang dipisahkan meja. Berhadapan, sesekali bertukar tawa. Dari sini, aku hanya lihat sorot matamu yang tajam dan caramu bicara. Mungkin ini sebab kerisauanku beberapa hari belakangan, rindu yang tidak jelas hanya ingin melihatmu secara fisik, lebih dekat, tanpa banyak bilang.
Siang sangat panas, itu juga yang jadi alasanmu menutup kepala, atau mungkin ada alasan lain. Sedangkan aku, selalu membiarkan topi Ride Rocket To Mars-ku menetap di ujung rambut serampangan. Beberapa kali aku mencuri pandang, tepat di depanku, ada Kamu yang memainkan gadget. Lalu lihat ke bawah, ada meja coklat yang memisahkan kita. Di atasnya, ada ayam bakar yang soal rasanya, kita tidak sependapat. Selanjutnya, seperti biasa, mataku mengacuhkannya, berkeliaran pada benda” di sekeliling. Hmmm. ternyata aku masih begini, takut pada kaummu.
Aku bukan canggung, aku hanya menunggu menit yang tepat untuk bicara. Berharap Kau kembali tertawa dan memastikan aku melihatnya. Bibirmu yang merah perlahan terbuka dan kembali mengatup bergantian. Proses yang disebut tertawa itu terjadi berkali”, kadang diselingi wajah sinismu karena beberapa kalimat yang aku sampaikan. Benar kata orang, bahagia itu banyak macamnya. Melihatmu seperti ini misalnya.
Sekilas, aku hanya cemburu, mungkin tawa ini tak hanya aku yang membuatnya. Mungkin ada canda lain dari raga lain yang membuatmu bicara lebih banyak dan menyunggingkan senyum lebih sering. Tapi, itu lebih baik daripada aku kehilangannya. Saat itu, ketakutanku bukan kehilanganmu, tapi melihatmu kehilangan tawamu. Sore, Perempuan..
Selengkapnya...

Petaka Rindu..

Kiranya, apa yang sebenarnya membuat manusia merindu..?
Pagi ini, di tengah kamar, duduk di kursi dengan laptop yang terbuka di atas meja, kalimat ini benar” mengusik semua organ dalam tubuh mungil ini. Aku tak hanya mengingat satu” jawaban semua orang tentang pertanyaan tersebut. Tapi aku juga mencari tau tentang semua kegelisahanku akhir” ini. Padahal, aku sudah memutuskan untuk membuang emosi semacam ini. Aku ingin mengalihkannya pada hal lain yang mungkin, menurut banyak orang, lebih utama. Tapi sekali lagi, aku terjebak untuk menduakan pengaruh dalam hidup.
Apa benar kata orang, bahwa manusia bodoh..? Selalu terlambat tau saat semuanya usai. Menyadari semuanya setelah satu momen berakhir..? Apa aku senaif itu..? Membentangkan jarak, kemudian tersadar saat semua menjauh..? Lalu menyesal di tengah keramaian kicau burung saat pagi datang..? Tidak, sebenarnya aku tidak sebodoh itu. Tidak. Aku hanya terlalu jumawa untuk menyimpan semuanya sendiri. Berharap emosi itu hilang dan meninggalkan ampas agar tak ada yang tau, termasuk sebuah nama yang sengaja, mungkin tidak sengaja, masuk terlalu jauh dalam hidupku.
Apa hanya karena jarak..? Atau karena percakapan yang sudah tak lagi hangat..? Hahahaa, mulutku tak henti bertanya. Sedangkan hati mulai khawatir, berada dalam ketakutan kalau hal itu akan benar adanya. Atau, karena aku tak lagi mendengar suara riang yang kadang hadir tanpa diminta..? Atau apa..? Atau aku harus menengadahkan kepala sendirian..? Berpura tenang dengan menarik nafas dalam” dan membuangnya saat sudah sampai di rongga dada..? Entahlah, aku hanya menebak, menerka apa jawaban sesungguhnya.
Atau, tidak hanya aku yang begini..? Diam”, Kau juga menyimpan rindu dan memilih untuk diketahui oleh dirimu, sendiri..? Jangan, aku berharap tidak. Karena rasanya sangat menyedihkan, merindu dan tak diungkap. Rasanya tak enak. Sesekali hanya sakit yang Kau rasa. Kemudian, dengan amarah yang Kau punya, seolah Kau ingin menyudahi pagi dengan menutup tirai jendela. Mungkin Kau bisa menutupi terang, tapi tidak dengan suara itu. Suara burung yang aku bilang tadi, kokok ayam dan lalu lalang kendaraan yang tak bisa Kau hentikan.
Jika seperti ini pilihannya, aku ingin bertanya, pertanyaan selanjutnya. Sampai kapan akan seperti ini..? Merasakan resah yang mengoyak dada. Berdetum keras dan tak mau pelan. Padahal, aku masih ingin menyelesaikan banyak tulisan hari ini. Aku juga ingin menyiapkan diri jika nanti teman datang mengajakku keluar kamar. Sampai kapan..? Sampai semua jawaban aku ingat satu”..? Atau sampai aku menyudahi tulisan ini..? Kalau begitu, akan aku coba. Ya, mengakhiri tulisan ini..

Hari Pertama Agustus 2015..
Selengkapnya...

Hai Pagi, Aku Butuh Hiburan..

Beginilah aku tiap pagi di meja redaksi. Mengantuk, menguap dan menghabiskan banyak air mineral gelas tanpa peduli sekitar. Jika kepala masih tertunduk, aku turun ke bawah memanaskan air, meraih bubuk kopiku di lemari atas perabotan dan menyeduh secangkir kopiku sendiri. Satu”nya aroma kehidupan yang tak disediakan di kantor ini. Meski sebenarnya, tidak juga membantu. Aku tetap mengantuk, menguap dan menjarah banyak air mineral gelas di sembarang tempat.
Tak ada pengecualian untuk pagi ini. Di bagian kiri meja tempatku menulis sekarang, disesaki secangkir kopi, empat gelas air mineral yang sudah aku minum dan terbentang peta mudik milik majalah SCG untuk mengimbangi pengetahuan yang minim tentang rute Jawa Timur. Cukup Surabaya aja aku gak hafal, untuk Jatim aku pelajari sampe mampus dah. Daripada di-ambek-in terus, kan jadi mati kutu aku-nya.
Entah kenapa pagi ini, di meja ini, aku merasa butuh sekali hiburan. Butuh sekali keluar dan menghilangkan situasi yang mulai membosankan ini. Apa mungkin, karena dari meja ini, ada jendela besar tanpa tirai yang langsung membuatku bisa melihat dengan jelas jalanan Mayjend Sungkono dan langit biru terbentang itu. Sebelumnya, ada dahan rimbun pohon mangga yang menutupi penglihatan kami ke arah sana. Tapi jelang lebaran kemarin, dahan tersebut dipangkas hingga tak hanya langit, Pak Djo ngupil aja kelihatan.
Pagi ini aku juga masih berpikir untuk tetap santai, menahan semua sakit dan lemahnya raga sejak kemarin sore. Entah, akhir” ini virus masuk bergantian menyerang badanku. Tapi demi mendengar suaramu dan menyeruput secangkir kopi malam yang candu, aku tak keberatan mamaksakan inderaku lebih lama. Asal melihat semua orang di dekatku tersenyum dan senang, kebutuhanku untuk ‘terhibur’ sudah cukup. Malam ini pun, harapan untuk terhibur masih jadi wish list pertamaku. Bertemu dengan semua sodara sejawat di pondok dulu dan tertawa terbahak”, mengangkat gelas, bersulang dan mengulanginya berkali”. Yoi, REUNI Comanraiden..!!
Pagi ini, ya, pagi ini, aku terlalu lelah untuk menceritakan pengkhianatan. Meski tak bisa mengusirnya dengan utuh, aku tetap mengacuhkannya tanpa peduli tangan yang terulur. Tapi santai saja, aku tak membenci. Karena dengan kebencian, Kau hanya akan memberikan setan berkuasa atas dirimu. Dengan kebencian, Kau akan mengungkap siapa dirimu sebenarnya. Dan aku, membenci kebencian..
Selengkapnya...

Jangan Senja, Ceritakan Padaku Tentang Luka..

Sore ini aku kembali duduk di meja ruang redaksi dengan secangkir kopi yang baru aku buat. Tepat di dekat jendela besar yang mengarahkan sinar matahari langsung padaku dan memberkas di semua sudut ruangan. Padahal, baru kemarin aku berada di jalanan luar sana saat senja hampir tenggelam, dan aku menikmatinya. Sungguh” menikmatinya. Tidak, maksudku, aku benar” menikmatinya hingga tidak ingin melewatkannya.
Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku melalui senja di jalanan. Karena biasanya, aku memilih untuk mendekam di kamar dan mendengarkan semua komposisi tanpa teratur, dengan secangkir coklat panas kadang kopi dan kurasan teks di buku” yang menyesaki kasur. Jika tidak, aku berada di ruangan ini, menulis dan meracau semua info, yang katanya didedikasikan untuk publik. Tapi sebulan belakangan, aku berada di dalam gedung yang membuat senja tak terlihat.
Aku sedang tidak membicarakan senja. Bahkan aku sedang ingin membencinya. Aku hanya ingin mengajakmu membicarakan luka. Masa yang membawamu merasakan pedihnya hidup tanpa tau cara menyelesaikannya. Tapi bersama waktu, Kau akan melihat jalan untuk menghadapinya dan kadang melewatinya. Meski tidak semua bisa dengan mudah Kau lintasi, setidaknya akan ada cahaya di ujung persoalanmu untuk Kau tuju saat tetap berdiri dan yakin. Pastinya, Kau pernah mendengar janji Tuhan bahwa Dia tidak akan menguji hambaNya di luar batas kemampuan.
Jangan Kau tanya kenapa aku ingin sekali membenci senja. Tak ada alasan khusus. Atau kenangan yang mengharuskanku meluruhkannya bersama petang. Aku hanya tidak ingin melihatnya tanpa alasan. Tapi beberapa hari ini, mataku tak bisa terhindarkan dari foto”mu bersama senja yang menguning. Cahanya berpendar merah dan membuatku terkagum, lagi. Kemudian aku mengantarmu ke tempat asing yang pernah Kau singgahi sekali, saat malam. Aku hanya bertaruh Kau akan menyukainya, meskipun aku tau Kau menyukai senja. Aku berpura duduk di sembarang tempat dan berpura tak menyadari bahwa senja datang tepat ke arah kita. Menembus sela” dedaunan pohon di depan kita dan langsung menerpa wajah kita yang lusuh karena debu jalanan.
Sesaat, semua ingatanku tentang senja berdatangan tanpa pamit. Pantas saja, seketika aku ingin sekali merasakan pahitnya kopi. Selain kehadiranmu, mungkin satu cangkir kopi adalah pereda nyeri dan membuang kenang tentang senja ini. Mendengar suaramu, aku tau tak ada tawa yang benar” Kau suguhkan. Aku hanya mendengar luka yang tersampul rapi oleh kenang masa lalu yang ingin sekali Kau sudahi.
Katanya, kita hidup untuk hari ini. Ya, hari ini saja, bukan untuk masa depan apalagi masa lalu. Kita hidup untuk hari ini, mungkin untuk mempersiapkan masa yang akan datang dengan mempelajari yang sudah pernah berlalu di ribuan detik yang sudah hilang. Masa lalu sudah pergi, tak akan kembali hadir. Tapi ingatlah, tak ada yang benar” bisa melupakan masa lalu. Tak ada yang bisa menghempaskan masa lalu dengan acuh. Karena Kau sudah pernah melewatinya, dan jadi bagian dari diri serta hidupmu. Sudahilah, persiapkan dirimu. Coz what is coming better than what is gone.
Mengajakmu membicarakan luka bukan berarti mengantarmu pada pedih yang akhir” ini tak sengaja kembali datang padamu. Tidak, aku tidak sejahat itu. Justru dengan membicarakannya, dengan intensitas yang tinggi, akan membuatmu lebih kuat dan menganggapnya sebagai masa yang pernah melintas di hidupmu. Kau akan sadari bahwa semua cerita sedih itu hanya fase manusia. Seperti fase ‘alay’ dalam kehidupan manusia.
Sudahlah, mungkin Kau jauh lebih mengerti tentang luka daripada aku. Mungkin juga, Kau lebih hebat menghadapinya. Tau bagaimana cara melewatinya dan lebih siap berdiri hari ini. Saat berbicara denganmu, aku selalu ingin katakan bahwa luka yang tak langsung membunuhmu, akan jauh membuatmu lebih kuat. Kalimat itu pernah datang padaku, dulu. Dan aku pernah merasakannya, saat memilih berdiri dan kembali berjalan. Tapi sepertinya, Kau sudah tau kalimat ini sebelumnya. Selamat sore, perempuan..
Selengkapnya...

Malam Sudah Larut..

Setelah air mata ibu April lalu, sebenarnya aku tidak ingin lagi mendengar tangis dari perempuan. Sore itu di kamar, aku bersama Zainal, menemani ibu yang sedang berbaring lelah di kasur. Awalnya, aku mengajak Zainal masuk ke kamar ibu untuk menemani beliau yang sedang beristirahat di kasur, dengan sesekali memijat raganya yang sudah mencapai batas. Dengan semua aktifitasnya seharian saat itu, aku tau beliau butuh ditemani secara fisik dan rohani.
Sore itu, tiba” beliau sesenggukan dan menitikkan air mata. Beliau menangis. Aku tak hanya panik, tapi juga reflek mendekati wajahnya. Tapi tanganku tak cukup berdaya menyentuh pipinya. Sedangkan Zainal hanya gemetaran melihatnya. Zainal menatapku tajam, berusaha memberi kode agar aku menenangkan ibu. Aku ingin sekali, tapi aku tak punya cukup kekuatan untuk menghapus air mata di pipinya. Melihatnya, aku diam duduk bersandar di lemari kamar ibu, lalu bermain mata dengan Zainal, memberi kode untuk meneruskan memijit betis dan pergelangan kaki beliau.
Sore itu, wajah Zainal terlihat keheranan kenapa aku membiarkan tangis ibu berlangsung. Aku juga bingung. Aku hanya tidak ingin menghilangkan momen kesedihan ibu dan menghentikannya tanpa tau alasan ibu menangis. Perlahan, isak tangis ibu berkurang dan mulai bicara. ‘Ibu senang. Ibu terharu. Di luar sana, banyak sekali teman ibu yang curhat bahwa anak” lelakinya tak selalu ada untuknya’, dengan suara paraunya ibu membuka obrolan. Ibu berhenti bicara sejenak. Beliau bernafas, lalu melanjutkan kembali setelah menata suaranya. ‘Tapi melihat kalian berdua berada di sini, pulang untuk ibu, memijit pundak ibu, menemani ibu ngobrol, tak ada lagi yang ibu inginkan, Nak. Ini lebih dari cukup. Ibu bersyukur sekali ada masa” seperti ini’, katanya tanpa melihat kami.
Sore itu, pandangan ibu masih menatap langit” kamar. ‘Nal, ibu tidak tau ke mana takdir akan membawamu nanti. Ibu juga tidak keberatan Kamu berada jauh di negeri orang sekalipun. Tapi, di luar hubungan dengan Tuhan, tak ada rindu yang lebih berat dari seorang ibu pada anaknya’, kata ibu dengan sedikit menunduk berusaha melihat ke arah Zainal. Ada apa ini. Kenapa ibu segetir ini berbicara pada kami.
Sore itu, Zainal menatapku. ‘Bu, dari dulu saya ingin mengatakan ini’, Zainal mulai bicara. ‘Ibu jangan pernah berharap aku seperti Kakak. Berada di posisinya susah ternyata. Aku sudah mencoba untuk dicintai banyak orang dengan berperilaku seperti Kakak, tapi saya gagal. Tapi Bu, jangan pernah ragukan cinta dan kasih saya pada ibu. Saya tidak pernah berusaha untuk itu. Itu sudah menjadi bagian dari diri saya’, bodoh, ucapan Zainal malah membuat isak tangis ibu kembali muncul.
Sore itu, aku beranjak dari tempat dudukku, menjitak kepala Zainal lalu membenamkannya ke kasur. Ibu tertawa dan merangsek duduk. ‘Ibu senang Kamu mengatakan hal itu. Mim, jangan kasar sama adikmu’, ibu memeluk Zainal, lama sekitar 30 detik. Aku hanya berdiri di samping mereka. Ibu membetangkan tangan kirinya, seolah memberi syarat agar aku mendekat untuk dipeluk. Sebenarnya, aku iri, ingin sekali berada di posisi Zainal saat itu. Tapi aku menghindar. ‘Hahahahaa, alergi Kakak ke perempuan emang keterlalun Bu. Dipeluk ibu aja gak mau. Lebay’, aku kembali menjitaknya, tapi telingaku gak berhasil lolos dari cubitan ibu. Lalu kami tertawa bersama. Sesaat, ruangan itu penuh dengan haru yang seru, tanpa ingin berlalu.
Sore itu, yang aku tau, isak tangis perempuan adalah alunan merdu dari beban yang tak bisa lagi ditahan. Beban yang sangat lama menggantung dalam jiwanya. Beban yang ingin sekali keluar untuk dilampiaskan. Beban tak terlihat yang terhalang oleh kepura”an kuatnya menanggung semua sedih. Beban yang tak seharusnya dilihat dan didengarkan oleh seorang pria. Tanpa disangka, beberapa ribu menit yang lalu, aku kembali mendengarnya. Tepat di telingaku, dan sialnya aku juga panik seperti sore itu. Aku hanya berbicara tanpa titik, untuk menghibur. Berharap tawa dan senyum tersungging lagi dari pemilik tangis itu.
Kali ini aku berbicara padamu. Katanya, manusia adalah tuhan bagi dirinya sendiri. Maha kuasa atas dirinya sendiri, termasuk menahan isak tangis, dan memilih untuk menghempaskannya dengan cara lain di waktu yang lain. Tapi mungkin tak semua bisa melakukan hal itu semaunya, kapan saja dan di mana saja. Kau hanya butuh sedikit keyakinan, atau setidaknya sugesti agar dirimu kuat dan menahannya lebih lama. Keluarlah dari kamarmu, bermainlah sejenak dan berteriaklah. Terlalu banyak yang Kau pikirkan hanya akan menambah berat kepalamu. Teriakkan apa saja. Semua kalimat yang menyimpan amarahmu. Semua frasa dalam hidupmu yang tak sempat Kau bicarakan dan terdengar oleh telinga lain. Semua kata tanpa titik yang ingin Kau lupakan dan tak ingin lagi dikenang. Teriakkan, jangan berbisik seperti sedang meeting dan mengumpulkan komplain dari atasanmu.
Malam sudah sangat larut saat aku menulis ini. Jika Kau lihat langit di luar, pasti Kau akan menyadarinya juga. Menyadari betapa mudahnya waktu berlalu, sedangkan matamu susah terpejam. Melirik sana-sini di tengah riuhnya angin malam yang benar” sudah larut. Hanya bising roda di jalanan sesekali terdengar mengganggu. Istirahatlah, segera rebahkan ragamu dan perlahan kedipkan kelopak matamu. Jangan lagi sengaja tersadar, seolah ingin menambahkan gula dalam minumanmu karena tau malam ini akan panjang.
Katanya, manusia adalah bagian dari kehidupan ini. Objek cerita yang sedang dibangun bersama cerita lain yang dibangun manusia lain. Kau bisa jadi apapun, kecuali jadi pengecut. Atau tepi ombak yang tak bisa kembali lagi karena terserap oleh tanah halus di bibir pantai. Atau keledai yang mengulangi kesalahannya berulang kali. Atau babi, yang dengan emosinya, membutakan mata hatinya hingga membentur objek lain dari cerita manusia lainnya. Ingatlah ini, sampai beberapa juta detik ke depan, hanya akan ada satu perang yang akan Kau hadapi; perang melawan diri. Bukan yang lain. Selamat malam, perempuan.
Selengkapnya...

Hanya Jika..

Jika ada hal yang paling aku tunggu, mengisi blog ini aktifitasnya. Jika ada keraguan yang ingin aku hempaskan, keinginan menulis di sini jawabannya. Bukan karena siapa, atau apa yang menyertainya. Aku hanya tidak bisa membiarkan sebuah cerita 'biasa' mengisinya. Semua tulisan ini ada, hanya jika muncul sebuah emosi yang penting untuk tidak aku lupakan. Bukan untuk dikenang, tapi untuk diwariskan. Pada duka, risau dan rindu yang pernah hinggap di diriku.. Selengkapnya...

(Ingin) Hilang..

Sebenarnya semangat menulisku sudah lama hilang sejak aku juga kehilanganmu sebagai inspirasi. Berapa kali pun aku mencoba menulis dan mengisi blog ini, pikiranku hanya membuat iramanya kacau dan membiaskan ritme di dalamnya. Entahlah, aku hanya tak menduga kejadian seperti ini ada. Sebelumnya aku pernah merasakan hal serupa, tapi tak sepanjang ini. Keluar kamar dengan mengembangkan senyum palsu dan berpura tak terjadi apa”. Selalu demikian dan tiap hari aku lakukan. Sial, aku malah menulisnya di sini.
Sebenarnya, dulu jika namamu tertuang di sini, artinya aku sedang tak sanggup lagi menahan obrolan tentangmu di luar sana. Lalu aku merindukanmu dengan caraku. Mendeskripsikan semua lentik lembut tentangmu dan memindahkan teduh matamu dalam prosa. Hahahaa, bagaimana bisa aku selemah itu. Padahal aku sangat tidak ingin berurusan dengan kaummu. Menyebalkan dan hanya menghambat gerak motorikku. Lalu aku hanya bisa terbata” dengan tubuh terbujur kaku.
Sebenarnya malam ini aku ingin segera beranjak dari kursi dan memenuhi panggilan teman yang sedari tadi berdiri di depan kamar, memaksaku kembali menyeruput kopi dengan obrolan panjang. Dia menatap apa yang sedang aku lakukan dengan sinis. Karena teman” lain yang menunggu kedatangan kami berdua sudah tidak sabar tertawa bersama. Kata mereka, akhir” ini aku adalah orang yang paling susah diajak keluar. Menurut mereka, menjelang dan selama Ramadhan, harusnya kerjaanku tidak seberat hari” biasanya. Naïf, aku malah terjebak di sini tak hanya karena meja kantor, tapi deadline tulisan lain yang setiap hari selalu ada.
Angin malam masih mengitari seisi kamarku tanpa malu. Berpura tak melihatku yang sedang duduk membisu. Bahkan senyumku tak mengembang saat temanku berkali-kali mengalihkan perhatianku dengan melucu. Aku hanya ingin menuliskan semua kesah yang tak ingin aku simpan lagi dalam syahdu. Walaupun aku tak lagi merasakan ada ritme yang biasanya dalam tulisan ini. Seperti yang aku katakan, prosa ini tertuang begitu saja, tak memiliki irama, dengan bahasa sederhana, tanpa metafora dan juga tanpa nama.
Angin malam juga tak berhenti berhembus masuk dari celah jendela kamar saat sebuah pesan masuk dari adikku. Dia hanya menjawab pertanyaan tentang kabarnya dan semua orang di rumah. Aku hanya terdiam memandangi hape dan kembali meletakkannya di atas tumpukan buku yang memenuhi kasur. Aku bahkan tak tau harus membalas apa padanya. Aku sedang bosan dan hanya ingin menulis walaupun sudah tau hasilnya akan kacau. Baiknya, aku masih memiliki keinginan untuk kembali mengisi blog ini. Aku ingin sekali tak lagi terlibat pertikaian antara hati dan pikiranku tentangmu. Tepatnya, aku seperti ingin mengumpulkan semua cerita tentangmu dan meletakkannya di suatu tempat. Tak aku buang, tapi aku simpan untuk aku ingat kembali. Meskipun, aku tak berharap mencarinya lagi.
Angin malam ternyata tak datang sendiri. Dia mengajak keresahan bersamanya pergi. Mengepung tiap sudut bawah kamar dan membuat kakiku kedinginan lagi dan lagi. Seolah, dia ingin mengingatkanku pada jawaban ayah saat aku bertanya tentang tingkat kebosanan pada rutinitas. ‘Bosan..? Tidak, ayah tidak takut bosan. Jika Kau merasa bosan, berarti batinmu kurang terhibur’, sambil tersenyum dia meninggalkan tempatku duduk dengan membelakangi. Sial, ayah selalu berhasil menyadarkanku akan sesuatu. Karenanya, aku selalu mencari kepuasan batin dengan tertawa. Sejauh ini, semua temanku gila. Jika tidak, aku yang akan menularkan kegilaan itu.
Sial, angin malam benar” tak berhenti menyesaki kamar ini. Padahal masih banyak kerisauan yang ingin aku tuliskan kali ini. Tentang penegasan bahwa aku akan mengacuhkan sekuat mungkin untuk merindumu. Tentang kotak coklat yang ingin aku benamkan bersama namamu. Tentang skema yang sangat berisiko untuk kembali mengulang luka karena menghampirimu. Hahahahaa.. Jika Tuhan memiliki alasan untuk mempertemukan kita, Tuhan juga akan memisahkan kita saat alasan itu sudah hilang. Akhirnya, aku sadar apa yang sudah aku lihat dan aku lakukan, membuatku menjadi seperti sekarang. Aku tidak bisa melepaskannya dan pulang. Trims..
Selengkapnya...