30 September 2016
Kamar langsung panik usai shalat Subuh. Bukan, mungkin tepatnya Tazri aja yang heboh. Dia langsung pake celana, ambil mie instan, ambil botol, kencing di dalamnya, oh gak, maksudku ngisi air mineral di dalemnya, dan pergi ke dapur buat masak mie. Belum sempat aku tanya, Tazri sudah berlalu ke bagian belakang rumah. Aku mengencangkan lagu" One OK Rock di hapeku. Nyanyi" gak karuan sampai langkah sendal Tazri kembali mendekat ke kamar.
'Lagumu kacau Kid. Ada dangdut gak?', tanya Tazri sambil mengaduk mie instan dengan bumbunya di box plastik. Aku raih kembali hapeku dan ngutek" playlist.
'Gimana?', kataku setelah lagu 'Lika Liku' milik Eri Susan saya setel.
'Mantab. Kirain Kamu bakal berubah setelah kerja di media', katanya.
'Passion tetep passion Ciuk', kataku membalas.
Dangdut adalah bunyi"an yang akrab di telingaku sejak kecil. Bapak pelakunya. Sebelum kembali ke cerita Jogja, perihal dangdut, Bapakku adalah aktor utama anak”nya menggemari dangdut. Tapi aku kira itu hal wajar di desaku. Tidak ada orang yang gak suka dangdut. Lalu semuanya perlahan menular ke anak”nya, laki atau perempuan. Baik dokter atau kuli kayu sampai tukang becak. Semuanya akan sangat senang jika ada orkes dangdut atau film Rhoma Irama main di layar kaca. Bapakku? Jangan ditanya. Bapak malah punya suara lumayan buat nyanyi dan seringkali nyumbang suara saat ada pernikahan keluarga atau kerabat. Jadi, di balik wajah kampret dan slenge’an ini, ada syaraf yang akan menari saat lagu dangdut disetel. Dan Subuh itu, aku dan Tazri menyanyikan lagu Lika Liku sambil goyang.
Tapat pukul 5, kami keluar kos, keluar dari kawasan Sapen, melewati jalan Laksda Adi Sucipto-Afandi-Bougenvil melewati belakang FT UNY dan Peternakan UGM dan menyusuri Jalan Kaliurang yang terkenal itu. Tazri hanya bilang kalau kami akan ke tempat pemandian. Mata air, jernih dan menyegarkan. Kami harus berangkat pagi” sekali karena perjalanannya agak jauh, butuh waktu tempuh sekitar 45 menit dan untuk menghindari keramaian pengunjung.
Pagi itu Jogjakarta benar” dingin. Jaket terbalik yang aku kenakan seolah tak mampu menahan hawa pagi itu. Jalanan masih sepi, hanya 4 sampai 5 kendaraan saja yang aku lihat lalu lalang. Tapi beberapa pasar tumpah seperti Pasar Demangan di jalan Afandi sudah ramai oleh riuh suara warga dan becak serta delman. Tazri sudah mengingatkanku tentang cuaca ini. Dingin menggigil saat dini hari-pagi, panas berpeluh saat siang. Lalu semuanya terasa ramah saat sore. Dan malam jadi pilihan tepat untuk ngobrol dan bertukar kabar.
Sampai di KM 13 Jakal, Tazri belok kanan, lurus melewati jalan Besi sampai jalan Jangkang, melaju kencang sampai Pasar Jangkang dan kembali belok kanan. Kami mengikuti plang nama dan akhirnya masuk ke kawasan pemandian. Di kanan kiri lokasi, ada banner ‘Selamat Datang di Wisata Sungai dan Mata Air Blue Langoon Tirta Budi’. Kami memasuki sebuah komplek pemukiman warga dengan banyak petak sawah. Diantaranya, ada jalan setapak yang membelah rumah” itu menuju pemandian. Sepanjang jalan itu, ada plang penunjuk arah menuju Blue Langoon.
Sepertinya kami datang terlalu pagi. Di bawah banner itu, tertulis jam operasional Blue Langoon, yaitu pk. 06.00-18.00 WIB. Dan kami datang 15 menit lebih awal. Tazri bilang ‘Gapapa, justru keuntungannya banyak, gak ada orang sama sekali. Jadi kalau Kamu kelelep, yang ngetawain cuma saya’. Kampret. Pemandian ini benar” bagus didatangi saat pagi pake banget. Selain belum ada pengunjung, airnya biru seperti namanya.
Blue Langoon pemandian mata air dengan luas sekitar dua petak sawah terbagi dua seperti kolam. Sebelah kiri, kedalamannya 3m dan cukup menghanyutkan nyawa pengunjung yang gak bisa renang. Karenanya, ada papan pengumuman bahwa bagian yang kiri ini hanya diperuntukkan bagi mereka yang bisa renang. Sewalah pelampung jika nekat dan beberapa peringatan lainnya yang membuatku ogah nyoba” masuk. Sementara yang kanan hanya sedalam satu meter. Luas keduanya tidak sama, bagian yang kiri lebih luas dari yang kanan, dipisah oleh batu” besar dan kecil, menegaskan bahwa pemandian ini alami dan berasal dari mata air. Bukan air mata, apalagi air seni. Seni budaya. Panjang nih kalau dibahas.
Saat kami tiba, ada dua warga pengelola Blue Langoon yang sedang bersih”. Dedaunan yang jatuh dari pohon” bamboo dan mangga disapu bersih dan dikumpulkan di satu titik. Ada beberapa gazebo untuk pengunjung, untuk menaruh pakaian atau sekedar duduk”. Kami melakukan beberapa gerakan sebelum nyebur. Pemanasan. Aku pergi ke bagian belakang rumah warga dan berdiri di samping kompor. Sementara Tazri merelakan diri dibakar bersama daun” kering tadi. Tapi karena aku harus kembali kerja lusa dan Tazri harus meneruskan tesisnya, pemanasan dengan cara itu kami hindari dan memilih turun ke bawah, ke pemandian.
‘Kid, itu tempat buat anak'. Sini lah. Megangin batu” ini lho’, si Kampret berteriak keras dari kolam yang ada di kiri. Aku hanya meludah ke arahnya, berharap mengenainya dan membuat dia jadi batu. Ternyata gak nyampe, terlalu jauh jaraknya.
Pagi itu, Blue Langoon hanya dihuni kami berdua. Tiba” suasana jadi mistis. Sunyi, seolah suara yang kita dengar hanya degup jantung dan bisikan diri sendiri. Aku mendekat ke arah bebatuan besar yang ada di tengah, yang memisahkan dua kolam ini. Aku memeganginya seakan aku memegang tiang paling atas Petronas dan takut jatuh. Ternyata beneran aku kelelep, kakiku tidak bisa merasakan tanah di dasar kolam ini. Aku segera menarik badan dan memunculkan kepala untuk bernafas. Aku memang objek ironi anak pantai. Lahir dan tumbuh di pinggir laut, tapi sampai detik ini tidak bisa renang.
Aku mandi” sendiri, sedangkan si Kutu Kupret itu naik ke gazebo, ngambil handphone dan video call sama gebetannya. Sayangnya di sini tidak diperbolehkan pakai sabun, shampoo dan sebagainya. Kata Tazri, hal itu mulai diberlakukan sejak pemandian ini terkenal awal tahun ini. Dulunya, boleh. Bahkan Tazri mengaku masih sempat sabunan dan shampoo-an di kolam ini. Banyak didatangi orang terkenal dan media, akhirnya tanggungjawab warga pengelola untuk merawat tinggi. Disapu tiap pagi sebelum buka dan diberi banyak aturan main, termasuk larangan mandi pakai sabun dan shampoo serta bahan kimia lainnya yang berpotensi merusak kejernihan kolam.
Sekitar 40 menit kemudian, datang 3 pengunjung lain. Mereka langsung mandi ke bawah. Aku langsung naik ke gazebo, khawatir kelelep dan ternyata yang ketawa banyak. Aku langsung minum air yang kami bawa, ambil pakaian menuju ruang ganti di samping toilet ujung lalu ganti pakain. Si Kupret yang sedang kasmaran itu masih melakukan video call. Aku lapar dan membuka box plastik isi mie instan. Bener perkiraannya, di sini, setelah renang”, kita bakalan lapar dan haus. Tapi mie instan yang Tazri bawa, double. Gak mungkin aku habisin sendiri.
Sebelum ke sini, Tazri minta aku jangan bawa kamera. Cukup senang” saja, renang dan mandi. Bego’, aku gak motret dan hapeku lowbet. Jadi dah ngaplo sendirian di gazebo nungguin si keparat itu video call. Sambil tidur”an, aku mikir sepertinya ada yang tidak pas dalam liburan kali ini. Harusnya liburan ini jadi liburanku sama dia, sudah pernah merencanakan, tapi terkendala izin. Entah sampai berapa lama aku tidur”an dan mikir banyak hal, Tazri tiba” membangunkanku dan turun ke bawah, mandi. Setelah itu dia naik lagi, makan sisa mie tadi, minum bensin dan ganti pakaian. Kita pulang tepat pk. 07.30 WIB.
Perjalanan pulang selalu lebih cepat saat berangkat. Kami kembali menelusuri jalan Kaliurang yang sudah ramai kendaraan. Saat di persimpangan RingRoad Utara, aku berinisiatif makan gudeg Yuk Djum tapi Tazri menentang. Begitu motor kami sudah masuk ke sentra Gudeg Sleman, aku gak pikir panjang. Aku minta Tazri berhenti di Yuk Djum, warung gudeg tersohor itu.
‘Jangan Kid, mahal. Mending gudeg tempat lain aja’, aku tak menghiraukan sarannya. Aku sudah berkali” ke Jogja tapi Yuk Djum selalu terlewat. Jadilah kami masuk sebagai konsumen dengan sepeda motor diantara mobil” mentereng di depan warung. Untuk gudeg, harga Yuk Djum memang mahal. Harganya 15ribu dengan lauk telor atau daging suwir sampai 25ribu dengan lauk ayam kampung yang besar. Minumannya sekira 5 sampai 8ribuan. Ada teh, jeruk, susu sampai Milo. Karena aku yang mengajak makan di sini dan ingin menyenangkan tuan rumah, aku pesan yang paling murah dan segelas teh hangat. Sebenarnya juga untuk menekan pengeluaran juga sih. Aku biarkan Tazri makan gudeg Yuk Djum sepuasnya, karena katanya baru sekali ini dia ke sini. Entah enak atau tidak. Menurutku, ya begini ini gudeg. Dan karena ini adalah nasi pertama kami hari ini, ya enak enak aja.
Jumat yang Agung
Hari ini kami memutuskan untuk tidak ke mana” menjelang shalat Jumat. Jadinya kami di dalam kamar saja. Tidur, bangun, video call, baca buku. Aku juga tidak menyia”kan ke Jogja. Pemilik kamar ini adalah mahasiswa S2 Ilmu Komunikasi UGM. Sangat rugi jika aku tidak mencuri ilmunya. Beberapa buku yang dia miliki dan belum familiar bagiku, aku ambil dan aku baca dikit. Beberapa materi kuliahnya di laptop yang menarik juga aku buka” dan aku copy sebagian. Menurutku, ini adalah episode terpenting dari liburan kali ini.
Pukul 10 dan Tazri mengingatkanku untuk bersiap” shalat Jumat. Dia mengusulkan shalat Jumat di masjid kampusnya. Sekalian dia ingin memperlihatkan kegiatan unik di masjid UGM menjelang shalat Jumat. Kami tiba di UGM pk. 11. Masjid UGM sangat besar dengan halaman” yang juga luas. Saat aku mau masuk ke dalam masjid, Tazri mencegahku. Dia mengajakku berkeliling halaman masjid. Ternyata di sana banyak lapak dengan bermacam” jualan. Oo, jadi ini yang mau dia tunjukin.
Suasana halaman belakang masjid UGM seperti pasar malam. Banyak lapak dengan banyak barang yang mungkin saja dibutuhkan jemaah. Aku kira ini sudah jadi rutinitas, buktinya jemaah banyak yang beli. Mereka seolah memang sudah menyiapkan duit untuk belanja. Mulai dari perlatan ibadah seperti sajadah, songkok, tasbih dll, terus juga ada kuliner ringan, tumbuh”an herbal sampai perkakas rumah tangga. Penjual juga memenuhi lorong samping halaman yang bersebelahan dengan parkiran mobil masjid. Lengkap.
Jumatan di masjid UGM jadi pengalaman seru. Isi khutbah-nya bagus, bacaan Imam-nya juga bagus, sangat. Semua jemaah-nya juga tertib sesuai aturan shalat berjemaah. Shalat di lingkungan akademis memang selalu menyenangkan. Entah itu pesantren, sekolah menengah sampai kampus, masjid dan jemaah-nya selalu baik dan tertib. Usai shalat Jumat, aku diam sejenak di dalam masjid. Merasakan nyamannya duduk di pelataran masjid dengan hawa kampus. Cuacanya panas, tapi ubin masjid selalu menawarkan kesejukan. Tapi jangan terlalu lama, diam” ubin masjid juga menawarkan tempat untuk telentang dan tiduran.
Usai shalat Jumat kami juga gak ke mana”. Melakukan aktifitas sama seperti sebelum Jumatan tadi. Kami baru keluar sejam sebelum petang, ke Shopping Centre tempat buku bekas dan murah. Dikatakan bekas juga enggak sih, karena sebagian buku di sana ada yang masih segel dan baru. Kalau murah, pasti. Karena hampir semua penjual ngambil buku yang dijual langsung dari penerbitnya, yang tentu memberi harga lebih murah. Shopping Centre sama halnya dengan Blauran di Surabaya atau Willis di Malang. Bedanya, Shopping Centre ada dua lantai dengan koleksi yang lebih lengkap, menurutku.
Setelah keliling, aku beli dua buku baru, satu milik Seno Gumira Ajidarman berjudul Jokowi, Sangkuni, Machiavelli; Obrolan Politik dan satu lagi Kekerasan Budaya Pasca 1965 milik Wijaya Herlambang. Sebenarnya aku mengincar buku Seno satunya yang terbit tahun lalu; Sepotong Senja Untuk Pacarku. Tapi hampir semua lapak yang aku datangi gak punya. Ada satu lapak yang memajang buku Seno satu ini, dan aku tidak pikir panjang untuk membelinya. Ibu penjaga lapak lalu menawarkanku satu lagi buku. Katanya bagus. Dia masuk ke dalam lapak dan menunjukkanku buku Wijaya Herlambang. Pas banget. Aku butuh referensi lain dari Lekra, buku Serial Tempo yang aku punya tahun lalu.
Kami menunaikan Maghrib dan Isya’ di kos saja, sebelum keluar lagi buat ngopi dengan Bang Idat. Kami janjian di Klinik Kopi jalan Jakal KM 7,8. Setelah mencari dan akhirnya ketemu, kedai kopi yang ikut terlibat di syuting AADC2 itu tutup. Akhirnya kami pindah ke Hestek Kopi, kedai kopi yang lokasinya masih di bilangan Jakal, dekat perempatan RingRoad Utara. Aku juga meminta Ullya mampir dan ngopi. Bertemu dan sedikit ngobrol. Tapi Ullya baru bisa bergabung setelah pk 9-an karena masih di RS nemuin temannya yang baru saja melahirkan.
Ngobrol dengan Bang Idat dan Tazri dalam suasana akademis memang terasa menyenangkan. Aku tidak henti mendengarkan keduanya bicara soal Jogja dan kehidupan masyarakatnya yang dinamis, Pilkada DKI ditinjau dari segala isu dan aspek sampai nostalgia kami saat di Malang. Rasanya, aku juga pengen S2 segera. Mendengarkan dan mencuri ilmu mereka dari obrolan ini saja sudah sangat menyegarkan kepalaku yang terasa berat akhir” ini.
Ullya datang tepat pk. 21.30 WIB. Selagi Bang Idat dan Tazri berdebat dan saling olok, aku sempatkan menyapa dan ngobrol sama Ullya. Tapi aku menyesal. Dari obrolan pertama saja Ullya sudah memberiku pernyataan yang sudah lama enggan aku sadari, bahwa aku sudah tua. Aku mengira kalau Ullya masih mahasiswa baru di sini. Ternyata semester ini Ullya sudah semester tujuh. Padahal saat aku berjanji padanya untuk main ke Jogja, Ullya masih baru masuk kuliah dan aku baru saja keterima kerja di Surabaya. Ckck, waktu berjalan ngebut ya ternyata.
Ullya tiba” membuyarkan pertemuan maha sakral dan sekarat ini. pk. 22.00 WIB kosannya bakal tutup dan sekarang sudah lewat waktunya. Menurutnya, aku adalah tamu dan harus ditemui. Jadi dia mengambil resiko kosnya tutup daripada tidak menghormati tamu. Alasan yang bagus, meskipun terkesan klise. Tapi dari nada bicaranya, aku tau Ullya jujur. Sebelum pulang, aku menceritakan rencana kegiatan libur besok dan tempat yang akan kami kunjungi. Ullya setuju ikut, sementara Bang Idat ada janji dengan dosen pembimbing tesisnya. Akhirnya kami semua pulang dan meninggalkan Hestek Kopi. Malam yang menyenangkan, sangat.
Jalanan masih sangat ramai saat kami menyusuri jalan pulang ke kos. Kami berhenti makan dulu di depan gang kos. Warung lumayan besar, menyediakan bubur ijo dan ketan item, nasi campur, mie instan dan beragam minuman seperti kopi, teh dan minuman rasa”. Anak” di sini biasa menyebutnya Burjo, secara general. Sama seperti di Malang, kami menyebutnya Kayungyun, secara general. Meskipun sekarang sudah ada Saluyu atau warung bubur lainnya di Malang. Karena ngantuk dan sangat lelah, kami pulang dan langsung tidur. Karena besok pagi, akan ada perjalanan lebih seru. Kami belum merencanakannya secara detil dengan harapan bakal ada improvisasi. Karena perjalanan yang tidak terencana kadang lebih membekas dan menyenangkan.
Hari Kedua; Perjalanan Tanpa Foto..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar