Pagi
itu, hawa Magelang mulai panas. Kami, saya dan lima teman lainnya, berhenti dan
meributkan destinasi wisata yang akan kita tuju, di warung tidak jauh dari
gapura jalan Raya Borobudur. Saya, Tazri temanku dan Ullya adikku setuju-setuju
saja ke manapun kita seharian nanti. Sementara Iim temanku, Agfa teman Iim dan
Ariska teman Ullya masih ribut soal Gereja Ayam di Bukit Rhema yang akan kita
kunjungi. Saya dan Tazri tidak mau ambil resiko, masuk ke dalam keributan yang
dihuni para perempuan. Mereka sama-sama benar. Bersuara sama halnya dengan bawa
obor di ruang sauna; meledak.
Magelang
memiliki banyak tujuan wisata alam. Di sekitar Borobudur, banyak tempat wisata
yang bisa dikunjungi selain Candi Borobudur sendiri. Tapi karena rasa
penasaranku pada bangunan ibadah berbentuk ayam sejak lama, saya mengusulkan
tempat itu pada kawanan penyamun ini. Sementara Tazri setuju pergi ke Gereja Ayam
karena sindrom AADC2. Iim dan Ullya ngangguk-ngangguk aja karena mereka ingin
menghormati keinginan tamu, yaitu saya. Tapi Agfa dan Ariska, punya pandangan
beda dan ingin mengajak kami ke tempat lain di Magelang.
Perseteruan
selesai setelah sepakat bahwa tempat wisata kedua, setelah dari Bukit Rhema
nanti, Agfa dan Ariska yang menentukan. Akhirnya kami kembali menaiki sepeda
motor dan menuju Bukit Rhema. Setengah jam berselang, kami memasuki gang kecil
menuju Bukit Rhema. Di perjalanan saja, ada tiga wisata yang kami lewati. Candi
Mendut, Candi Pawon dan Candi Borobudur. Di atas gang, ada plang tertulis
'Gereja Ayam 900m'. Gang-nya kecil, hanya cukup satu mobil melintas. Setelah
700m, ada orang melambaikan tangan di tengah jalan. Setelah semakin dekat,
ternyata orang itu pakai rompi orange yang biasa dipakai tukang parkir. Hampir
saja kami kira dia korban bencana yang sedang minta mie instan, melambaikan
tangan ke helikopter yang lewat. Tukang parkir tadi menuntun kami memasuki
halaman rumah di sisi kanan yang dipakai buat parkir.
Halaman
rumah ini cukup luas. Ada warung dengan gazebo untuk bersantai. Di situ juga
ada banner yang menjelaskan harga tiket masuk ke Gereja Ayam, apa saja
keunggulan berwisata ke Gereja Ayam dan berbagai paket yang bisa dimanfaatkan
wisatawan untuk mendapatkan foto bagus. Kami juga baru mengetahui alamat Bukit
Rhema ini dari banner tersebut. Lokasinya di Kembanglimus, Kecamatan Borobudur.
Kami jalan menanjak 100m sebelum menemui perempatan tracking. Sepertinya salah satu jalur lagi menuju Punthuk Setumbu. Sementara jalan ke Gereja Ayam ada di simpang kiri. Di sana ada bangunan kecil yang dihuni 2 petugas penarik tiket masuk. 10ribu untuk wisatawan lokal dan 15ribu untuk wisatawan asing. Setelah itu, kami harus melewati jalan menanjak 100m lagi.
Jalan tanjakan yang sudah dicor ini terbagi dua. Bagian kiri, cor-nya lebih luas untuk dilewati mobil atau truk. Sedangkan bagian kanan, dibuat anak tangga dan pagar pembatas sebagai pegangan untuk pejalan kaki. Pengelola juga memfasilitasi jeep, agar pengunjung tidak capek saat menanjak dengan membayar 7ribu/orang. Saat kami ke sana, ada 2 jeep yang sedang beroperasi dan lalu lalang. Petugas tiket tadi sempat menawari kami naik jeep, tapi kami menolak karena kaki kami cukup kuat dan dompet kami tidak.
Kami jalan menanjak 100m sebelum menemui perempatan tracking. Sepertinya salah satu jalur lagi menuju Punthuk Setumbu. Sementara jalan ke Gereja Ayam ada di simpang kiri. Di sana ada bangunan kecil yang dihuni 2 petugas penarik tiket masuk. 10ribu untuk wisatawan lokal dan 15ribu untuk wisatawan asing. Setelah itu, kami harus melewati jalan menanjak 100m lagi.
Jalan tanjakan yang sudah dicor ini terbagi dua. Bagian kiri, cor-nya lebih luas untuk dilewati mobil atau truk. Sedangkan bagian kanan, dibuat anak tangga dan pagar pembatas sebagai pegangan untuk pejalan kaki. Pengelola juga memfasilitasi jeep, agar pengunjung tidak capek saat menanjak dengan membayar 7ribu/orang. Saat kami ke sana, ada 2 jeep yang sedang beroperasi dan lalu lalang. Petugas tiket tadi sempat menawari kami naik jeep, tapi kami menolak karena kaki kami cukup kuat dan dompet kami tidak.
Sesampainya di atas, pandangan kami langsung disambut bangunan tua yang megah. Halaman luas degan pepohonan yang memisahkan kami dengan gereja dan ramai wisatawan yang datang, membuat senyum kami mulai tersungging puas. Hari hampir siang dan langit mulai meredup tiba-tiba. Riuh pengunjung membuat kami semangat. Kami mendekat ke gereja dan spontan mengeluarkan kamera. Kurasan cat yang sedikit terkelupas masih tampak di sisi bangunan. Di depannya, ada tiga patung 'malaikat' bertengger kokoh. Lubang-lubang jendela yang memenuhi sisi gereja membuat kami semakin antusias masuk ke dalam.
Di
halaman ini ada banyak tempat duduk dan pohon-pohon besar untuk berteduh.
Beberapa orang sibuk foto-foto dengan latar gereja dan sebagian lainnya duduk
di kayu-kayu kecil yang disediakan. Bahkan ada keluarga yang menggelar tikar
dan tidur”an di atasnya. Sudah semacam piknik gitu. Sejenak, kami melakukan
aktifitas sendiri-sendiri. Dan pada akhirnya karena saya yang pegang kamera,
saya diminta motret mereka dengan berbagai pose dan latar sebelum akhirnya
memutuskan masuk gereja.
Berfoto di depan Gereja 'Ayam' |
Berfoto di depan Gereja 'Ayam' |
Gereja 'Ayam' tampak dari depan |
Gereja 'Ayam' tampak dari depan |
Di
pintu masuk gereja, ada dua petugas yang akan meriksa tiket. Setelah disobek
sebagai tanda tiket sudah terpakai, kami langsung menjumpai hall gereja di
lantai dasar. Gereja ini berbenah, tapi bukan seperti perbaikan. Lebih mirip
menyelesaikan pembangunan. Beberapa tukang mondar mandir memasukkan material
dari truk yang baru saja tiba di luar gereja. Beberapa lainnya ada di dalam,
memasang ubin, mencampur semen-pasir dan bebatuan serta ada yang duduk
istirahat.
Secara
singkat, saya mencuri waktu seorang tukang, yang dari tampilannya seperti
mandor-nya. Pada kami, dia bercerita bahwa bangunan yang kami injak ini niatnya
bukan dibangun sebagai gereja, melainkan tempat
ibadah/berdoa. Orang yang membangunnya bernama Daniel Alamsjah. Awalnya,
Daniel ini membuat bangunan sebagai tempat berdoa semua orang, tidak terbatas
pada agama tertentu. Tapi pembangunan mandeg karena kehabisan dana. Dan yang bapak
dan tukang-tukang ini kerjakan sekarang, adalah meneruskan yang pembangunan.
Satu lagi ceritanya, bangunan ini bukan berbentuk ayam, melainkan merpati yang
sedang mengeram. Kami mengakhiri percakapan dengan bapak ini dengan seruan
‘Oooo, gitu Pak’.
Foto adat di dinding lantai 2 |
Di
depan, di bagian kepala, ada tangga-tangga yang mengantar kami ke atas, ke
tempat mahkota merpati berada. Satu tangga terlewati. Lantai dua adalah leher
merpati. Di sekelilingnya, ada jendela-jendela kecil berbentuk segitiga dan
beberapa foto laki-laki dan perempuan dengan pakaian adat pernikahan. Dari
jendela, kami melihat bisa melihat ekor merpati jauh di belakang. Kami naik
lagi. Lantai tiga adalah paruh merpati. Di lantai ini dipenuhi kursi-kursi
untuk ditempati pengunjung yang antre ke lantai berikutnya.
Tepat
di paruh merpati dari dalam, ada pagar pembatas dengan tulisan peringatan.
Kemudian dari atas, turun satu per satu pengunjung melalui tangga kecil
melingkar dari besi. Seorang laki-laki mendekati kami berenam dan berkata
‘Selamat datang Mas dan Mbak. Mohon ditunggu ya, gantian. Waktu untuk berada di
atas hanya 5 menit ya per rombongan. Bisa lebih jika tidak yang antre di
bawah’, katanya dengan senyum lebar. Seketika kami melihat tangga bawah,
ternyata kami adalah rombongan terakhir yang masuk. Ullya dan Ariska sumringah,
melihat kami dan berbisik ‘Kita bisa lama di atas Mas, hehehe’.
Bukit Barede tampak dari atas Gereja 'Ayam' |
Setelah
10 menit duduk, akhirnya tiba giliran kami naik ke atas. Dan wow,
pemandangannya menakjubkan. Pandangan kami disesaki bukit di kanan kiri dan
hamparan hijau pepohonan. Bukit di samping kanan, yang baru kami ketahui adalah
Bukit Barede, tampak hijau dan menyejukkan mata. Saya masih menikmati
pemandangan saat lainnya sudah berpose menunggu saya peka mengeluarkan kamera.
Gila, ini pemandangan yang tidak bisa dinikmati hanya 5 menit. Dua menit saya
memberi mereka jeda untuk foto dengan kamera hape, lalu saya mengalah dan
melayani permintaan mereka sepuasnya. Saat motret mereka menghadap depan,
samar-samar saya melihat penampakan Candi Borobudur. Saya mendekat ke bagian
depan mahkota, dan iya, itu Candi Borobudur.
Pemandangan dari atas mahkota Gereja 'Ayam' |
Candi Borobudur tampak dari mahkota Gereja 'Ayam' |
Larangan bersandar di atas mahkota |
Lumayan
lama kami ada di atas, di bagian mahkota. Tempatnya melingkar kecil. Mungkin
hanya cukup 10 orang berdiri di atasnya. Di sela antara helai mahkota, ada
pagar pembatas dari besi disertai tulisan peringatan. ‘Jangan Naik &
Bersandar Di Atas Pagar Pembatas. Berbahaya’. Tentu saja ini peringatan buat
mereka yang kadang gila dan para fakir sandaran. Dari sini, kami juga melihat
bagian belakang, ekor merpati dengan sangat leluasa. Ternyata badannya panjang
dan tertanam ke tanah. Tampak seperti ‘mengeram’.
Cukup
lama kami di atas, sekira 15 menit sebelum akhirnya dua rombongan lain naik ke
atas dan sebagai sinyal kami harus turun. Seperempat jam yang mengesankan. Kami
turun sampai ke hall gereja. Di sana, ada tempat duduk di tengah dengan meja
bundar dan empat tempat duduk dari bebatuan. Kami mendiskusikan destinasi
selanjutnya saat seorang pekerja bangunan menghampiri tempat kami duduk. Dia
menawari kami masuk ke ruang bawah tanah bangunan ini dan dia siap
mengantarnya. Tapi para perempuan menolak karena alasan seram dan akhirnya kami
keluar.
Menurut
petugas tiket di bawah tadi, Bukit Rhema dengan Gereja ‘Ayam’-nya ramai
dikunjungi saat weekend. Dalam sehari (Sabtu atau Minggu), tempat wisata ini
bisa dikunjungi 500 wisatawan. Saat weekday, paling banyak 300 pengunjung
datang. Jika ingin foto-foto, sebaiknya memang datang saat weekday agar tidak
antre lama saat di atas. Selain itu, perhatikan juga cuaca. Saat ada gejala
hujan dan kabut, sebaiknya urungkan niat. Karena pemandangan akan sangat
terganggu.
Langit
makin redup dan wisatawan masih terus berdatangan, jalan kaki dan naik jeep.
Agfa usul kami istirahat sejenak buat minum dan nyemil. Di luar gedung, tepat
di mulut tanjakan saat memasuki gereja ini, ada dua warung di kanan dan kiri.
Kami berhenti di warung sebelah kiri dari arah pulang dan memesan tiga kelapa
muda. Sepertinya kami semua sedang lapar. Sepiring gorengan di warung ini ludes
dengan cepat. Sepuluh menit berselang, hujan mengguyur Bukit Rhema. Sedaapp,
tepat seperti yang saya harapkan.
Punthuk Mongkrong;
Destinasi Nekat
Hujan
masih mengguyur Magelang Selatan saat kami singgah di sebuah masjid setelah
keluar dari Bukit Rhema. Usai menunaikan shalat Dzuhur dan berteduh sekitar 15
menit, kami kembali melanjutkan perjalanan. Destinasi selanjutnya adalah
Punthuk Mongkrong, ide Ariska yang diiyakan oleh Agfa. Lokasinya tidak jauh
dari Bukit Rhema dan Candi Borobudur. Setelah browsing lokasinya, Ariska dan
Tazri berada di depan memimpin perjalanan maha suci ini. Lengkap dengan gadget
saya di tangannya yang menampilkan maps menuju Punthuk Mongkrong.
Kami
sempat kesasar sebelum kembali ke jalan lurus yang diridhoi. Ancer-ancer utama wisata kali ini adalah Balai Desa Giritengah. Sesampainya di sana, kami dibuat
geleng-geleng menghadapi jalur menanjak yang curam dan beraspal sempit. Saya
tidak sedang bermetafora, jalanan yang kami lalu benar-benar menanjak dan
kecil. Sepertinya, mobil tidak bisa masuk, karena sempit dan hanya bisa dilalui
sepeda motor dari dua arah berlawanan. Selain itu, juga ada jalannya menanjak
curam dengan beberapa jalan rusak di beberapa titik, hingga hanya bisa dilalui
bergantian.
Kawasan
Giritengah ini punya tiga lokasi wisata yang jadi andalan. Selain Punthuk
Mongkrong, juga ada Punthuk Sukmojoyo dan Pos Mati. Dari ketiganya, Punthuk
Mongkrong yang paling tinggi. Dan kami memilihnya, tentu saja untuk menepikan
rutinitas yang jumud dan penat dengan menikmati hijaunya pemandangan. Bisa
mengambil gambar itu bonus. Bisa selfie itu bonus yang tidak diperlukan. Tapi
hanya saya yang setuju, yang lain, selfie adalah tujuan utama untuk eksistensi.
Punthuk
Mongkrong ada di bagian kanan di jalan beraspal yang paling atas. Setelah itu,
kami harus melewati jalan kecil yang hanya bisa dilewati satu sepeda motor.
Sekitar 100m dari persimpangan tadi, tibalah kami di parkiran. Di depannya, ada
gazebo yang dihuni oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan. Mereka berdua
adalah petugas tiket masuk ke Punthuk Mongkrong. Kami membayar 2ribu untuk
masing-masing sepeda motor yang diparkir dan 3ribu untuk masing-masing kepala.
Jalan setapak menuju Punthuk Mongkrong |
Tracking menuju Punthuk Mongkrong |
Gapura Punthuk Mongkrong |
Perjalanan
ke Punthuk Mongkrong masih jauh, sekitar 500m lagi. Jalur tempat wisata ini dibuka
dengan rumah-rumah warga. Lalu kita akan melewati jalan setapak dengan jurang
di kanan dan perkebunan di kiri. Pemandangan dari sini pun sebenarnya sudah
bagus. Tak jauh dari sana, ada gapura dengan dua warung di sisi kiri. Jalan
setapak tadi masih menuntun kami melewati pepohonan dengan pijakan batu-batu
gunung. Dan, sampailah kita di Punthuk Mongkrong.
Sementara
yang lain duduk di gazebo-gazebo kecil yang disediakan, saya langsung ke
pijakan atas. Ternyata benar. Di perjalanan menanjak tadi, Ullya sempat
berbisik bahwa mendung masih bertahan di langit diikuti kabut. Sesampainya di
atas, saya hanya bisa memasang muka datar. Pemandangan yang saya harap tidak
ada. Semuanya putih tertutup kabut. Satu-satunya penampakan hijau adalah
tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitar punthuk. Sambil merem, saya hanya
membayangkan pemandangan apa yang bisa saya lihat jika cuaca cerah.
Tugu Batu Punthuk Mongkrong |
Jembatan tempat foto di Punthuk Mongkrong |
Punthuk Mongkrong yang terhalang kabut tebal |
Imbauan 'Jangan Sungkan' buat foto di jembatan Punthuk Mongkrong |
Di
pijakan paling atas, ada tugu dari batu dengan tulisan ‘Situs BG 212 Punthuk
Mongkrong Pangruwating Diyu’. Saya tidak tau artinya. Seperti saya tidak tau
kalau kabut ini benar-benar membenamkan cahaya matahari dan memberikan
pandangan satu warna pada saya. Menebak kalau angka itu ada hubungannya sama
Wiro Sableng pun saya enggan. Saya terlanjur kecewa. Tapi entah kenapa tidak
dengan mereka. Dan saya pun menyembunyikan kekecewaan ini. Tawa dan celotehan
kami sore itu adalah satu-satunya suara yang menggema di Punthuk Mongkrong.
Sore itu, setelah kabut datang, hanya kami yang bertahan lama di atas.
Punthuk
Mongkrong dikelilingi jurang. Areanya sempit dan diberi pegangan bambu di
sisi-sisinya. Pengunjung dimanjakan dengan spot foto yang menarik. Untuk
menunjangnya, punthuk yang memiliki ketinggian 624 mdpl ini melengkapi dengan
rumah pohon, bangku duduk dari pohon dan jembatan berbentuk segitiga yang
terbuat dari bambu. Jembatan ini merupakan spot utama buat foto. Tepat di
hadapan jembatan ini, kata Agfa, ada Gunung Merapi dan Merbabu. Berfoto dengan
latar dua gunung tersebut diyakini jadi tujuan sebagian wisatawan saat sunrise
dan sunset. Di sisi yang lain, juga ada penampakan Gunung Sumbing dan Suroloyo
yang legendaries itu.
Jalur pulang Punthuk Mongkrong |
Setelah
puas foto-foto, kami turun dari punthuk tidak lama berselang. Tepat sesampainya
di parkiran, hujan datang mengguyur. Kami berteduh di samping gazebo tempat
petugas tiket berada. Petugas laki-laki mendekati kami dan menawarkan air
minum. Lalu dia menemani kami dengan cerita soal Punthuk Mongkrong. Wisata ini
dibuka tahun lalu dan baru saja merayakan hari jadinya yang pertama, tepat 26
September lalu. Keuntungan dari wisata ini akan dibagi dengan warga sekitar
punthuk. Menurutnya, sejak setahun dibuka, Punthuk Mongkrong selalu ramai saat
weekend dan stabil saat weekday. Hujan reda dan kami menyudahi pembicaraan.
Lalu kami turun, pulang melewati jalur yang tadi.
Saat
ini, wisata alam sedang digemari. Banyak orang yang ingin memiliki ‘me time’
dengan mengunjungi tempat-tempat lain yang menawarkan pemandanan berbeda di
setiap rutinitas. Membuka banyak wisata alam benar-benar turut menghidupkan
gairah mencintai negeri sendiri. Mengajak berlibur di negeri sendiri,
melestarikan kekayaan alam dan memberikan kesadaran bahwa bukan tanpa alasan
Indonesia disebut Zamrud Katulistiwa. Lalu, dengan adanya media sosial juga
menunjang promosi wisata alam dan bagaimana cara mewaratnya.
Tulisan
ini diikutsertakan dalam lomba Blog Visit Jawa Tengah 2016 yang diselenggarakan
oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah @visitjawatengah .
0 komentar:
Posting Komentar