Tidak mudah menjalani hidup setelah kehilangan. Menjaga irama langkah tetap teratur, memberikan jeda pada tiap tarikan nafas dan membiarkan mata tertutup saat malam. Semua tidak akan biasa setelahnya. Kehilangan sosok pasangan hidup, teman berbagi, teman hidup, teman segalanya dalam obrolan, teman yang selalu ada saat kerasnya hidup sesekali hinggap. Teman, yang juga juga jadi ladang pahala di dunia untuk bekal di akhirat. Kehilangan, akan selalu berarti kehilangan.
Senin pagi di pekan terakhir 2016, Mbak Restu muncul dari balik tangga ruang redaksi New Media. Sepertinya dia naik dengan susah payah. Tangan kirinya bertumpu kuat di kayu pegangan tangga. Dia memakai baju hijau terusan, dengan jilbab lebar panjang hitam. Dia baru saja kehilangan Mas Taufan, suaminya, sepuluh hari sebelumnya. Setelah semua kesedihan itu, dia memaksa masuk kerja dan beraktifitas lagi.
Kehilangan itu tambah terasa saat sapa pertamanya memenuhi ruangan New Media. 'Assalamu'alaikum', dia jatuhkan tas yang dia bawa ke sofa ruangan dan melanjutkan langkah kakinya ke arah meja kerjanya. Pelan. Sambil menyapaku, Dwi, Tito dan Bruriy secara bergantian. Wajahnya sendu, seolah lelah bersemayam dalam dirinya di beberapa masa. Dia duduk. Pelan. Membersihkan debu yang terlanjur mampir di mejanya setelah lama dia absen. Dia hidupkan komputer tanpa bicara sedikitpun. Aku masih di mejaku, tepat di samping kiri mejanya. Aku diam. Aku tak berani bicara. Aku hanya melihatnya dengan senyum, siap" jika dia melihat ke arahku.
Selanjutnya, episode kesedihan pagi itu bergeser pada ingatan yang tak bisa dia buang. Pada semua memory kehidupannya yang dia jalani berdua beberapa tahun belakangan. Isak tangisnya mulai menderu. Perlahan. Tanpa banyak bicara dia ambil tisu yang hanya tersisa beberapa lembar di atas mejanya. Dan kemudian habis. Semuanya dia pakai untuk mengusap air matanya. Aku merasa jadi pecundang pagi itu. Aku tak tau harus melakukan apa. Aku berharap dia memanggilku agar aku bisa mendekat dan menenangkannya, meskipun tak tau bagaimana caranya.
Dwi bergegas turun ke bawah. Lalu Dwi kembali menaiki tangga dengan seplastik tisu di tangannya. Dia ambil beberapa lembar untuk mengusap air mata Mbak Restu yang sudah deras menetes, turun diantara sembab matanya. Dua detik selanjutnya, ruangan ini sudah ramai dengan suara tangisnya. Kami mendekatinya secara refleks. Dwi berdiri tepat di sampingnya. Eddy di sebelah kanan. Sementara aku, terus berusaha mendengarkan keluh kesahnya. Mbak Restu meracau dengan suara yang parau. Aku tidak tau apa yang dia bicarakan. Bahkan aku tak mendengar dengan jelas permintaannya saat menunjuk jarinya padaku.
Semua larut dalam kesedihan ini. Aku ingin sekali memegang pundaknya, memenggam tangannya dan berharap memberi keteduhan. Memberi ekpresi wajah yang bisa menenangkan. Memeluknya lalu membiarkan dia menangis sejadi-jadinya. Kadang, seseorang hanya ingin didengarkan untuk mengurangi bebannya. Bukan untuk dinasehati pesan klise. Tapi aku hanyalah aku, seorang teman yang jauh dikenalnya setelah dia memilih Mas Taufan sebagai pasangan hidup. Dwi hanyalah Dwi dan semuanya hanyalah teman kantor. Sementara orang yang berusaha kami tenangkan, adalah perempuan yang baru saja kehilangan satu orang untuk segalanya dalam hidupnya.
Mbak Restu memutuskan pulang setelah sekitar dua puluh menit duduk di meja itu dan mencurahkan semua kesedihannya. Baru tiga tahun belakangan aku kenal Mbak Restu dan semua interaksi itu berada di kantor. Tapi aku merasa ada ikatan lain selain hubungan kerja. Mungkin juga karena kultur komunikasi yang dibangun Suara Surabaya. Kami semua merasa seperti saudara. Dan aku, kami, baru saja mengalami sedih yang mendalam karena kehilangan yang dialami Mbak Restu.
Episode Kesedihan..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar