Hari Bersamanya..

Jumat, 4 Juli 2014..
Aku bergegas memasukkan semua barang”ku yang berantakan di meja kantor ke dalam tas. Mematikan semua komputer, AC dan lampu di ruangan New Media, lalu menuruni tangga dan singgah sebentar di dispenser samping ruang siaran untuk minum. Aku kembali menuruni tangga kedua dan check out di absensi kantor.
Langkahku semakin cepat menuju kos, copot sepatu, cuci kaki, taruh tas di kamar kemudian mandi. Aku berhenti sejenak menghela nafas, berpikir apa aku sudah menunaikan shalat Isya’ atau belum. Bagiku, ketenangan malam yang sesungguhnya adalah saat sudah menunaikan ibadah shalat Isya’. Rasanya sangat tentram, sama tentramnya udara pagi yang Kau hirup usai shalat Subuh.
Aku lihat jam dinding sudah menunjukkan pk. 23.30 saat aku siap berangkat menuju Terminal Purabaya. Bersama teman, aku dibonceng menuju terminal terbesar di Jawa Timur tersebut. Banyak kejadian yang tak aku pedulikan di jalan, sesekali kami tertawa kencang melihat pengendara sepeda motor melintas tanpa helm. Suasana Ramadhan memang menakjubkan, Kau akan banyak melihat pemandangan serupa di kota” lainnya. Meski demikian, masih ada kami lihat beberapa polisi di jalan mengatur arus lalu lintas. Padahal sudah larut malam pk. 00.00 WIB..!! Gilak, polisine keren abis.
Butuh waktu 20 menit sampai di terminal yang letaknya berada di perbatasan Surabaya-Sidoarjo ini. Temenku pamit tidak bisa lama karena harus menyiapkan sahur. Kosanku keren, kami sepakat harus sahur bersama. Karena saat buka puasa, kita tidak pernah bisa bersama. Semuanya ada di tempat kerja masing”. Biasanya aku yang masak untuk sahur, tapi kali ini mereka harus masak tanpaku.
Selepas pisah, aku langsung ke tempat pemberhentian bus Eka, bus bisnis jurusan Surabaya-Jogja. 20 menit aku menunggu tak kunjung datang. Kata beberapa orang di sana, Eka lagi laku banyak yang numpak, mending Sugeng Rahayu atau Mira saja, bus ekonomi Surabaya-Jogja. OKe, aku beranjak ke tempat Mira. Tanpa menunggu, aku dapat bus dan tempatnya. Aku memasuki bus dan menempati kursi di bagian tengah sisi dua kursi dekat jendela. Sepuluh menit kemudian, bus berangkat meninggalkan Surabaya.
Setelah beberapa mil jauhnya, kondektur meminta ongkos. Kondekturnya meminta maaf pada semua penumpang, karena tarif perjalanan di Ramadhan naik. Setelah membayarnya, aku mengeluarkan earphone, mematikan signal blackberry, memutar lagu di smartphone warna hitam ini dan memasukkannya dalam saku tas bagian depan. Kemudian aku memilih memejamkan mata dengan mengenakan jaket.
Tapi sial, baru 35 menit, aku sudah kembali bangun dari tidur. Aku teringat kata temanku, naik Sugeng Rahayu atau Mira, sama saja mengantarkan nyawa. Dari cerita temenku juga, bus ini adalah raja jalanan dan tak segan menyalip kendaraan apapun asal cepat sampai. Biasa, kejar setoran. Setor nyawa penumpang. Nah, sialnya, aku udah di dalam bus ini.
Sepanjang perjalanan, aku hanya memegang perut. Aku tidak menyadarinya hingga seorang tua di kursi seberang bertanya ‘Mas, lapar..? Ini ada roti’, katanya mengagetkan. ‘Ah tidak Pak. Kenapa Pak..?’, jawabku sekenanya. ‘Nah itu pegang perut terus dari tadi berangkat’, katanya lagi sambil menyodorkan Sari Roti ke arahku. Aku tidak langsung menerimanya. Mataku melihat ke arah tangan kananku yang ada di perut dan berpikir, ‘sejak kapan ni tangan di sini..?!’.
Otakku kembali berpikir, diselimuti semua pikiran su'udzon. Posisiku di bus menuju Jogja. Banyak yang tidak aku kenal di dalam bus ini. Semuanya mencurigakan. Semuanya terlihat tidak ramah. Gimana kalau ternyata di luar sana ada sayembara untuk menculik anak baik dan imut seperti aku..? Gimana kalau di bus ini ada yang ingin topi Sheila On 7-ku dan mencoba mengambilnya lewat Bapak Tua ini. Sekilas ini adalah pikiran su’udzon, tapi ini sudah jadi pekerjaanku; bermain dengan hal skeptis. Biasa, wartawan kampret sering melakukannya. Tapi tetiba ada malaikat berbisik di telinga kananku, ‘Woi, gak usah lebbay. Ambil aja tuh roti. Alay banget sih pake curiga segala. Tapi iya juga sih, kalo situ kenapa” mah bahaya..’ Sial, bisikannya labil plinplan. Akhirnya aku memilih untuk mengangguk dan menolak dengan senyum lima jari.
Sabtu, 5 Juli 2014..
Aku kembali menghadap depan dan mendengarkan musik yang terputar dari BB dengan seksama. Sesekali, kaki, aku hentakkan mengikuti irama rock yang mengalun di telinga. Sengaja aku putar semua musik keras agar tidak mengantuk lagi. Tapi mungkin karena seharian tadi aku belum makan, buka puasa hanya dengan air, dan memilih nguber bus daripada sahur, aku kembali tertidur karena lelah.
Sesampainya di Madiun, bus berhenti dan semua penumpang riuh turun. Aku lihat jam di tangan, ternyata sudah waktunya sahur, pk. 03.00 WIB. Sopirnya meminta semua penumpang Muslim turun untuk berbuka. ‘Setidaknya beli gorengan atau air mineral Mas. Perjalanan kita masih separuh’, kata kondekturnya padaku. Aku balas dengan senyum, lalu kondektur menawarkan sebatang rokok padaku. ‘Makasih Pak, belum makan, belum bisa rokokan’, tolakku dengan halus.
Aku lihat di seberang bus berhenti, ada warung dengan terop di atasnya dipenuhi orang bus yang aku tumpangi. Aku hanya beli air mineral, aku gak mood makan. 4 menit kemudian, ada bus lain berhenti di belakang bus kami. Mereka turun lebih rame. Ada yang bawa parang dengan mata haus darah. Ada juga yang bawa tombak, seakan siap ditancapkan ke tubuh siapapun kemudian bakar ban bus dan nyate. Ada juga yang ngacung”kan peniti dan tereak ‘Woooohhhhh, huhh haahh haahh’, yang ini kayaknya kanibal. Aku memilih diam dan menyiram diri dengan air mineral yang aku pegang. Kampret, ternyata aku lagi ngayal.
Aku kembali meneguk air mineral sampai habis 1 botol. Biasanya, selapar apapun tubuhku, saat sudah minum, pasti langsung kenyang. Dan itu yang aku harapkan sampai Maghrib nanti. Setidaknya nanti pas ada kebakaran, aku bisa membantu petugas PMK memadamkan api. Sekitar 20 menit kemudian, kondektur bus berteriak memanggil semua penumpangnya untuk masuk dan berangkat. Akupun masuk, duduk dan kembali memejamkan mata. Kepalaku mulai pusing. Mungkin kebanyakan mikir Negara. Ah sudahlah, mungkin ini cara Tuhan agar aku memilih istirahat.
Aku ngubek” tas berharap ada buku atau apapun untuk aku baca. Di sleret depan, hanya ada Al-Quran item yang biasa aku bawa ke mana”. Kalo aku baca Al-Quran di sini, bisa” dikira Ustadz jadi”an nih. Pas banget lagi momennya Ramadhan. Akhirnya aku keluarkan buku catetan dan bolpenku. Aku nulis” gak jelas sampai akhirnya ada beberapa BBM dari teman” di Malang. Lumayan lah ngobrol” via teks sama mereka.
Beberapa waktu kemudian, bus berhenti. Ternyata berhenti di terminal. Entah di mana ini. Kita hanya digiring (bukan Nidji) untuk pindah bus lain. Entah apa alasannya. Saat turun aku tidak peduli untuk menanyakan alasannya, aku fokus membantu bapak” tua tadi untuk angkat tas dan beberapa barangnya yang banyak.
Kasihan sekali Bapak ini, matanya mengisyaratkan lelah yang begitu dalam. Jalannya terhuyung” orang lagi mabok. Ingin sekali aku memapahnya, tapi saat aku tawarin Bapak ini menolak dan mengatakan kalau dirinya masih bisa jalan. Bapak ini juga bilang bahwa kakinya harus terus berjalan, biar tidak manja. Asem, sesaat aku tersindir. Aku sering ndelusel di kasur dan bermalas”an di kamar saat luang. Itu bisa seharian aku lakukan jika libur. Langkah kami memasuki bus dan memilih duduk dengan posisi bersebrangan. Bus yang ini penumpangnya banyak. Aku memilih tempat duduk dekat jendela dan kembali istirahat.
Adzan Subuh berkumandang saat aku terbangun. Aku menatap ke arah jendela dan beberapa kali melihat alamat di toko” yang aku jumpai. Ternyata aku sudah sampai Solo, kota tetangga Jogja. Kota tempat Jokowi mulai terkenal sebelum jadi Gubernur DKI Jakarta. Aku diam dan kembali melihat” sekitar. Aku terus mencari apa yang menarik dari kota ini. Sebenernya aku mau menghentikan bus dengan mengancam sopir dengan senjata tajam. Selain untuk lihat kota Solo, aku turun ingin menunaikan shalat. Tapi setelah aku bongkar tas, ternyata aku gak bawa senjata tajam. Satu”nya benda tajam yang bisa aku gunakan hanya bolpen. Ini mah bukan preman, tapi rentenir.
Sepanjang perjalanan aku berharap ini bus berhenti lama di terminal selanjutnya. Fajar sudah menyingsing dan langit sudah mulai kelihatan terang. Aku lihat jam tangan, ternyata sudah pk. 05.00 WIB. Wah sial, mau abis nih waktu Subuh. Begitu nyampe di terminal selanjutnya, bus berhenti hanya sekitar 20 detik untuk menaikkan beberapa penumpang. Seorang Ibu celingukan nyari tempat duduk lalu memilih duduk di sampingku. Ibu” ini langsung melempar senyum dan melontarkan beberapa pertanyaan wajar seperti dari mana, mau ke mana, dengan siapa, semalam berbuat apa..? Lah, itu kan lagu Kangen Band. Woi woi..
Di tengah obrolan, Ibu ini memberikan namanya padaku, tapi saat tulisan ini dibuat, aku lupa. Ibu ini kaget saat aku bilang asalku dan kenyataan kalo aku kerja. Dikiranya aku orang luar Jawa dan ke Jogja buat kuliah. Udah biasa sih dikira gitu, tapi Ibu ini tiba” menawarkan mampir ke rumahnya. Ujung”nya, dikasi info kalo anaknya perempuan seumuran. Jrengggggg.. Tuhan, kenapa Ibu ini duduk di sampingku..? Aku memilih diam dan kembali melihat jendela. Sekitar 15 menit kemudian, aku lihat Ibu ini tertidur. Yeah, akhirnya aku bebas. Saat aku perhatikan, hampir semua penumpang juga istirahat. Duar, pagi” gini pada tidur nih orang”. Gak produktif banget. 2 menit kemudian, aku juga tidur. Hehehee..
‘Dik, bangun, udah mau sampai’, suara Ibu tadi membangunkanku. ‘Oh iya ta Bu..?’, tanyaku dengan mata yang sedikit terbuka. Tapi emang dari sononya sipit sih. ‘Iya, ini udah di Jogja. Tapi sekitar 15 menit lagi baru nyampe terminal Giwangan’, kata Ibu tadi sambil menggerak”an tangannya. Sepertinya dia juga baru bangun. Di depanku, tangan” pada naik ke atas menggeliat laku biasa orang baru bangun. Oh, ini ceritanya bangun massal.
‘Nah itu Bandara Adi Sucipto Dik, berarti 5 menit lagi nyampe’, suara Ibu ini membuyarkan lamunanku. ‘Oh iya Bu tau’, jawabku. ‘Oo, udah berapa kali ke Jogja..? Pernah ke Jogja naik pesawat..?’, tanyanya lagi. ‘Tiga kali sama sekarang Bu. Gak pernah Bu. Jogja deket Bu, 7-8 jam udah nyampe, lagian kalo ke Jogja cuma buat liburan, jadi gak keburu buat naik pesawat’, jawabku tanpa melihat wajahnya. Duh, ama Ibu” aja malu. ‘Hmm, alasan bagus. Oh iya, tadi Kamu bilang dijemput temen ya..? Kalo gitu, turun depan terminal aja. Biar gak susah temenmu nyari’, sarannya. ‘Oh gitu, tapi gapapa Bu. Sekalian cuci muka di dalam terminal’, aku membalas dengan aggukan.
‘Eh Dik, aku turun di sini. Selamat datang di Jogja ya’, aku lihat beberapa orang juga berdiri untuk siap” turun. Aku lupa nama daerahnya. Tapi kalau denger apa yang dikatakan kondektur sih, ya deket” Giwangan gitu. Aku juga bersiap, aku masukin hape dan topiku ke dalam tas. Aku tampar dan cubit” pipi biar sadar dan gak mabok. Aku juga minta Pak Sopir nonjokin mukaku sekalian. Tapi Pak Sopir gak mau karena alasan sepele; 'aku nyetir Mas'. Yaudah gak jadi.
Sejenak aku berpikir, gilak mau ngomong apa pertama kali ketemu nanti ya. ‘Assalamua’alaikum, berantem yokk’, ‘Hai, saya Satpol PP, ikut saya ke kantor’, atau ‘Woi, malliiinnnggggg..!!’. Entahlah, yang jelas, aku canggung.
Bus sudah memasuki pintu terminal Giwangan. Ada yang turun di pintu masuk, ada yang turun di jelang masuk pintu terminal, ada yang turun di tengah jalan lalu ketabrak becak trus ada juga yang gak turun tapi naik ke atas atap bus. Aku bersama beberapa penumpang tersisa turun di dalam. Begitu turun, sejenak aku hirup udara Jogja. Tidak menyangka, aku kembali ke kota yang sempat bikin sakit hati ini. Kota yang dulu juga mempertemukan dengan temen” LAPMI di seluruh Indonesia. Kota yang dulu menjadi destinasi pendidikanku setelah lepas dari SMA, tapi gagal karena mendapat beasiswa di kota lain. Kota yang sangat ingin aku kunjungi karena hawa komunitas, pendidikan, organisasi dan yang paling istimewa adalah budaya dan seninya. Shit, ini dia Jogja. Terkesan norak, tapi aku punya pembuluh darah yang menyala” saat berada di kota ini. Pembuluh darah ini juga gemeteran sekarang, mungkin karena orang yang akan aku temui.
Aku bergegas ke Musholla terminal. Wudhu’, kemudian shalat. Lalu aku segera ke kamar mandi. Ternyata di sini sama aja ama terminal lain; gak ada yang gratis. Ini mah bukan fasilitas umum namanya. Ibu” penjaga kaget saat aku datangi.
Setelah aku masuk dan titip tas, aku keluarkan hp dari saku dan memencet beberapa nomor. Beberapa detik kemudian, suara perempuan menyambut telponku dengan parau. Aku diam sebentar untuk mendengar suaranya. Suara itu mengucap salam diakhiri berdehem. Aku jawab dalam hati. Suara itu berucap salam lagi, kali ini dengan suara yang ringan, tak seberat tadi. Aku sengaja diam dan aku jawab dalam hati lagi. Akhirnya suara seberang mengucap salam kembali dengan tegas. Aku bersuara membalas salam ketiga ini.
‘Lagi di mana..?’, tanyaku.
‘Kamar Om’, jawabnya.
‘Baru bangun..? Gak shalat Subuh..?’,
‘Sudah kok, tapi aku tidur lagi. Kenapa..?’
‘Masih ngantuk..? Mau istirahat lagi..?’
‘Iya sih tapi enggak deh, mau ngobrol sama Om aja’,
‘Ada rencana keluar..?’,
‘Iya, ambil kamera di temen ntar. Kenapa Om..?’
‘Am Om Am Om aja. Keluarlah, bangun, hirup udara segar. Kalo bisa yang jauh ke Giwangan’,
‘Giwangan itu terminal itu ya..? Ngapain ke sana Om..?’,
‘Ya sapa tau mau ketemu aku. Aku di Giwangan’,
‘Hmm.. Masak..? Becanda kan..?’,
‘Aku di Giwangan. Baru aja nyampe’,
‘Whaaatttt.. Bentar, jangan gerak” dulu..!! Aku jemput. Awas lho gerak selangkah, aku hajar Kamu’,
‘Gak usah dah, ketemu di Malioboro aja’,
‘Enggak.. Dari pertama nginjek Jogja, harus sama aku. Awas lho. Aku mau mandi dulu. Tungguin, jangan ke mana”..!!’,
‘Masya Allah, galak amat. Tapi aku lagi di kamar mandi nih. Masak gak boleh jalan keluar’,
‘Iya deh boleh kalo itu mah. Udah ya aku mandi. Don’t go anywhere..!! Assalamu’alaikum Om..’
‘Wa’alaikumussalam’, hmm, ternyata baru bangun. Tau gini baiknya aku langsung ke Malioboro aja dan menemuinya di sana. Tapi menghindari omelan, menghubunginya emang jadi jalur yang tepat. Aku buang air kecil lalu cuci muka kembali. Melelahkan sekali perjalanan 7-8 jam ini. Tampak dari mukaku saat bercermin, persis seperti vampire kesurupan.
Setelah bayar, aku bergegas menuju pintu masuk terminal. Angka di jam tanganku masih menunjukkan sekitar pukul 7. Aku duduk di pelataran pedestrian terminal. Di sekelilingku duduk lima orang sopir angkot dan becak. Mereka melempar senyum ke arahku dan aku membalas sekenanya. Seseorang diantaranya menyapaku, menanyakan dari mana dan nunggu siapa..? Akhirnya kami sedikit berbincang tentang terminal dan aktivitas yang biasa dilakukan bapak” ini setiap pagi.
Bapak ini bilang kalau dirinya bersama teman”nya sengaja duduk di sebelah sini karena sebentar lagi matahari akan tepat menyinari pedestrian ini dan berjemur. Aku melihat ke atas langit, dan benar saja, sinar matahari pagi sudah mulai mendekati tempat kami duduk. Kurang dari dua menit kemudian, aku dan bapak” ini menengadahkan muka ke atas dan menghirup udara Jogja. Selama sekitar semenit, kami memejamkan mata dan merasakan nikmat sinar ini. Sial, nikmat sekali. Ini nih, nikmat Tuhan mana lagi yang Kamu dustakan..?!
Seseorang diantaranya pergi, disusul seorang lagi. Tapi dua orang baru datang dan duduk bersama kami. Bapak tadi menanyakan padaku kenapa teman yang ditunggu belum datang. Aku hanya menjawab dengan kalimat ketidaktahuan. Kemudian aku mengeluarkan notepad dari dalam tasku. Aku nulis” gak jelas seperti biasa untuk membunuh bosan. Harusnya ditemani rokok dan kopi, tapi bisa ditabok orang sekampung kalau minum kopi pagi Ramadhan gini.
Beberapa sepeda motor dan mobil lalu lalang di depanku. Satu-persatu orang” yang berdiri di depan terminal dibawa kendaraan” tersebut. Tiap lima menit sekali, bus kota dan TransJogja masuk ke terminal. Bapak” tadi bergerak saat bus luar kota datang. Mereka meneriakkan layanan jasa angkutannya. Aku memperhatikan mereka sambil melihat jam tangan.
Sudah dua jam aku duduk di sini. Aku merasakan mentari sudah tidak lagi menghantarkan hangat padaku, tapi panas. Aku menggerak”an hem yang aku kenakan untuk menghasilkan angin. Sesaat nikmat hangat tadi berubah gerah. Mataku kembali menikmati jalan” di sekitarku dari dua arah yang berlawanan. Tetiba, sebuah sepeda motor matic hitam menuju ke arah tempatku duduk dari arah kanan.
‘Doaaarrr..!!’, ucapnya dari balik masker yang dia kenakan. Aku terperanjat dan segera berdiri. Dari isengnya aku sudah tau kalo orang ini adalah maling ayam yang kemarin lolos dari kejaran polisi. Maaf, maksudku ni orang adalah teman yang aku tunggu.
‘Udah dua jam nih’, protesku padanya sembari menunjuk jam tangan, seperti aksi para pelatih sepak bola di pinggir lapangan saat latihan.
Kemudian aku menjulurkan tangan untuk berkenalan secara resmi. ‘Kid’, ucapku. Baru kali ini aku melakukannya pada perempuan. Dia membalas dengan pukulan di tangan dan mengatakan ’Tian’, sambil mengisyaratkan kalau kita segera beranjak dari tempat ini. Aku menyetujuinya. Asap dari knalpot bus yang keluar masuk sudah tidak lagi bersahabat. Asapnya hitam pekat, bisa mati berdiri nih 30 menit ada di sini. Aku langsung kenakan helm yang dia sodorkan padaku. Aku ambil potongan kain Kalimantan di dalam tas untuk aku gunakan sebagai masker. Empat detik kemudian, kami meluncur entah ke mana.
Kami mengarah ke arah busku datang tadi. Di tengah jalan, aku sempat menanyakan ke mana arah tujuan kita padanya. Dia hanya menjawab ‘tidak tau’. Nah, yang punya Jogja siapa coba. Lalu dia menjawab, ‘Terus lurus saja. Gak usah takut kesesat. Kalo kesesat kan kesesat bareng’. Nah jawaban kayak gini yang bikin takut. Jangan” dia mau culik aku. Jangan” perempuan yang duduk di belakangku ini gembong mafia Jogja. Mampus dah gua.
Kami bukan tidak banyak bicara sepanjang perjalanan. Aku seringkali melontarkan pertanyaan yang sama ‘Ke mana kita ini..?’ dan jawabannya selalu sama ‘Terus saja, aku juga gak tau ke mana..’ Akhirnya sepeda motor ini melintas tanpa ada tujuan. Lumayan lah, aku bisa melihat” ruas jalan di Jogja. Entah ini di jalan apa, aku melihat ada pemisahan jalur sepeda motor dengan kendaraan roda empat atau lebih. Meskipun hanya dipisah dengan pembatas jalan coran semen pendek, tapi ini sudah cukup menertibkan lalu lintas. Beda sekali dengan Surabaya.
Karena tak kunjung ada tujuan, aku memberanikan diri untuk usul ‘Gimana kalau kita ke Stasiun Jogja dulu..? Mau nuker tiket. Boleh gak..?’, tanyaku. ‘Boleeeehhh.. OKe kita ke sanaaa’, jawabnya dengan girang. Kayaknya kesurupan nih mafia. Aku hanya fokus melihat kanan dan kiri jalan. Siapa tau ada yang menarik lalu kita berhenti untuk melihat”. Aku mengurangi kecepatan sepeda motor, serasa gak ingin cepet sampe stasiun. Gini aja terus sampe malem. Mesra kagak, mati ketabrak karena pegel mah iya.
Sekitar 20 menit kemudian, kami sampai di jantung kota Jogja. Jalan yang pernah aku kenal. Cukup familiar, karena dua kali sebelumnya, aku juga berkelana kota kayak gini dengan anak” Comanraiden sampe suntuk. 20 menit itu lama lho, aku harus membuang waktu di jalan tanpa ngobrol dengan ini anak. Tapi yaudahlah, aku juga gak berani ngomong. Setelah belok kanan, kami sampai di Stasiun Gambir, eh Jogja. Kami taruh motor di tempat parkir, kemudian berjalan ke arah dalam Stasiun. Dari tempat parkir sepeda motor ke loket cukup jauh. Di tengah perjalanan, hape Tian bunyi. Mama Tian telpon. Samar” aku mendengar namaku juga disebut. Wah, iya kan bener dugaanku. Ternyata ada yang mau nyulik aku. Oh enggak, ternyata Mama nitip salam padaku.
Kemudian, kami menjalani 21 jam yang sangat sangat sangat seru. Stasiun, Pasar Buku Shopping, Tamansari, Malioboro, Studio XXI, Galeria, Legend, Malioboro lagi Mirota dan membusuk di kamar nonton Argentina vs Belgia sampai sahur di KFC, Tugu Jogja dan berakhir kembali di Stasiun Jogja. 21 jam itu ada di ingatanku. Ada di kepalaku dan kepalanya, belum dan tak ingin terhapus. Cerita itu mengalun merdu tanpa ingin ditulis. Biar kami saja yang tau dan menikmati. Jika Anda kecewa, hubungin nomor telponku lalu mintalah subsidi BBM, oh sori maksudku mintalah ceritakan.
Minggu, 6 Juli 2014..
Jam dinding di stasiun menujukkan angka enam saat aku beranjak dari tempat dudukku di kursi panjang samping pagar. Tempat dudukku tepat di samping nih mafia. Kampret, aku sangat menikmati duduk di sampingnya. Setelah bersalaman, aku meninggalkan tempatnya duduk. Lalu perlahan langkahku memasuki gerbong KA Sancaka Pagi tempat kursi reservasiku berada. Keseruan ini rencananya akan berlanjut di Surabaya setelah lebaran Idul Fitri.
Dalam perjalanan, aku kembali berpikir, apa rencana Tuhan. Kenapa Tuhan menghadirkan teman perempuan dengan pertemuan seperti ini. Aku teringat kata Tian kemudian padaku, Tuhan mempertemukan kita dengan seseorang karena suatu alasan. Lalu, apapun alasannya, semoga baik dan bermanfaat buat keduanya.
Selengkapnya...

Akan Aku Temani..

‘Bebaskan, lepaskan beban di hati..’
Aku tidak tau bagaimana cara memulainya. Mungkin satu kalimat di atas cukup mengawali dan membuatmu mengerti bahwa semua usahaku untuk menghindarkanmu dari pikiran negatif. Kau sudah terlalu lama menyendiri, tanpa teman, tanpa tangan hangat yang menggenggam dan pundak yang biasa jadi sandaran kepalamu. Sejak aku pergi meninggalkanmu, Kau masih seperti dulu. Lugu, kadang lucu dan membuatku rindu.
‘Cerialah, bahagiakan hidupmu..’
Mungkin tak pernah Kau sadari, dari sini, dari alam ini, aku masih bisa melihatmu. Semua tawamu, semua tingkah polamu, semua ayunan tanganmu, tendanganmu dan semua usahamu untuk menjadi perempuan tanpa orang lain.. Aku tau Kau bukan lagi adik kecil yang dulu aku tinggalkan. Kau bukan lagi bocah yang harus aku marahi karena lelet saat makan. Kau bukan lagi anak kecil yang masih suka maen dengan seenaknya. Kini Kau sudah tau dan membedakan racun serta madu. Kau juga bisa membedakan mana janji yang harus ditepati dan permintaan yang harus dibuang. Dan yang paling membahagiakan, Kau sudah tau cara membahagiakan hidupmu dan bermanfaat buat orang lain.
‘Raihlah, bintang di mimpimu..’
Dulu aku tidak pernah tau apa yang sebenarnya Kau inginkan dalam hidupmu. Sampai saat ini pun aku tidak pernah tau. Hanya sesekali samar” aku melihat pesan teks pada teman barumu bahwa Kau ingin pergi dan menyusul hidup di sini bersamaku. Huahahahaha, itu sangat konyol Dek. Masih banyak bintang yang harus Kau lihat. Diantaranya ada yang harus Kau capai. Bakat keras kepalamu sejak awal adalah anugerah dari Tuhan. Itu juga yang akan menuntunmu mencapai semua ambisimu. Ambisi yang pernah Kau bisikkan padaku, meskipun saat itu aku menertawaimu. Tapi ingatlah, Kita hidup hanya sekali, jangan Kau siakan. Jangan pernah, karena aku akan membencimu.
‘Tersenyumlah, rasakan kedamaian..’
Tidak ada di dunia ini yang menginginkanmu bersedih. Bahkan aku pun yang sudah mati ingin selalu melihatmu tersenyum. Senyummu sungguh menjadi pemandangan yang sangat indah dari sini. Sebenarnya aku ingin protes pada Tuhan kenapa aku dipanggil terlalu cepat. Padahal aku masih ingin menyaksikan dengan seksama setiap senti senyum yang Kau sunggingkan. Membosankan berada di sini tanpa melihat senyum itu. Jangan Kau tanyakan kenapa aku menyukai senyummu. Itu karena semua senyummu tulus dari hati, diiringi pesan damai yang tak terbantahkan, bahkan olehmu sendiri.
‘Kemarilah, aku ingin memelukmu.. Rasakan, cintaku yang tulus untukmu..’
Setiap hari, aku melihatmu dari sini, dari alam ini. Setiap hari pula, aku merindukanmu sejak empat tahun lalu. Rasanya ingin memelukmu, merasakan kembali kepalamu yang bersandar tepat di pundakku. Agar Kau tau bahwa semua luka harusnya membuatmu semakin kuat. Agar Kau tau bahwa kesedihan akan menjadikanmu semakin memahami makna kebahagiaan. Kau harus terus berusaha untuk tegar dan kuat. Buang air matamu, setidaknya simpan saat Kau di kamar.
‘Kau gadis pujaanku yang hebat dan kuat, yang pernah ada di hati selamanya..’
Banyak nama perempuan datang dan pergi di kehidupanku. Mereka satu persatu masuk, memberi keindahan. Ada yang semu dan tak bertahan lama. Ada yang bertahan lama tapi pergi dengan pengkhianatan. Lalu semuanya meninggalkanku dengan dan tanpa kesedihan. Tapi hanya Kamu gadis kecilku yang singgah di hati. Kau gadis pujaanku yang kuat dan hebat. Kau tidak hanya mengagumkan, tapi Kau juga menyimpan semua harapan keluarga kecil ini, dan tentu aku. Semua orang terutama aku, ingin melihatmu tumbuh. Teruslah sehat Dek, dan teruslah bersama keluarga ini.
‘AKu ingin Kau selalu hadapi segalanya, dengan hati yang damai..’
Saat aku melihatmu dari sini, aku hanya tersenyum. Mungkin Kau pikir aku jahat, tertawa saat Kau sedih. Tapi sungguh aku ingin Kau menghadapi semua masalahmu saat ini dengan jiwa yang kuat. Kau harus melewatinya dengan sangat bijak. Hadapi dengan damai. Kau harus mampu menolak bisikan setan yang menginginkanmu berbuat usil. Aku yakin Kau bisa. Bukannya Kau selalu bilang ‘Masalah gini doang mah kecil’. Buktikan Dek. Buktikan kalau Kau mampu menghadapi dan melewatinya dengan santai. Dengan bijak. Dan dengan hati yang damai.
‘Akan aku temani..’
Kau harus percaya, Tuhan tidak pernah tidur. Tuhan tidak pernah terlelap menyaksikan semua tingkah pola makhluk ciptaannya. Dan Tuhan akan menilai semua perilaku manusia. Tuhan akan membalas semua kebaikan dan kejahatan manusia. Maka Kau jangan ragu berbuat kebaikan. Jangan pernah ragu bertindak baik. Selalu percaya, bahwa aku di sini. Jika Kau takut, aku akan temani Kamu. Mungkin aku tidak bisa menemani secara fisik ataupun suara dan teks. Tapi aku akan selalu ada di hatimu. Fisik, teks dan suara, biarlah mereka di dunia yang mengisi.



Bebaskan, lepaskan beban di hati
Cerialah, bahagiakan hidupmu
Raihlah, bintang di mimpimu

Tersenyumlah, rasakan kedamaian
Kemarilah, aku ingin memelukmu
Rasakan, cintaku yang tulus untukmu

Kau gadis pujaanku yang hebat dan kuat
Yang pernah ada, di hati selamanya

AKu ingin Kau selalu hadapi segalanya
Dengan hati yang damai
Akan aku temani


*Lirik dan lagu by Juan
Selengkapnya...

September, Sendu dan Senja Terasing

Sore ini semuanya berlalu dengan senja yang terasing. Surabaya sudah kian meyakinkan diri untuk segera bergerak pindah. Menaklukkan kota lain, memberikan kesempatan menikmati hawa yang lebih panas. Tak banyak kata yang terungkap dalam pesan itu. Hanya secarik kertas yang terbuat dari sulaman kesedihan. Semuanya nyata, meneriakkan sendu untuk membakar kalender. Sial, ini bulan September.
Aku masih di sini, di balik meja dengan senja yang terasing.. Semua suara dan permintaan bergema mengusik, terlalu bising. Aku tidak bisa mengalihkannya. Semuanya harus diterima dengan santai, karena pekerjaan ini sudah terlampau menyentuh dalam sendi kehidupanku. Ingin sekali membuangnya, tapi aku tak ingin sedu sedan terjadi.
Baru sepekan September berlalu dengan senja yang terasing. Tapi aku sudah muak dan ingin mengakhirinya. Bulan tanpa pertemuan, namun masih seru hanya dengan suara. Ingin sekali segera mengusir dingin yang membungkus tanganmu dan memberikan hangat dengan genggaman. Duduk di sampingmu, hingga mata indah itu terpejam lelah. Lalu aku menjagamu, tepat di sampingmu sampai terbangun lagi. Menatapmu hingga menemani setiap detik gerak kecilmu.
Tapi aku tak bisa melakukan semua itu di bulan dengan senja yang terasing. Melihatmu mengoceh dan kembali mamanjat loteng kemudian duduk di genteng menikmati petang dengan bulan purna. Saat itu, mungkin aku bertanya, apakah Kau akan memintaku duduk di sampingmu..? Hahahahaa, tak Kau pinta pun, aku akan mengikutimu memanjat semua tembok rumah yang kini Kau kesali itu. Menginjak setiap dera untuk menggapai tempatmu, tepat di sampingmu.
Dan semuanya berlalu di September dengan senja yang terasing. Tetaplah berdiri kuat, sampai Oktober datang dan aku menemuimu. Mengajakmu berlari di tengah hujan. Menertawakan setiap pertanyaan dari sopir taksi. Atau menyusuri debu jalanan yang menyentuh indera. Semakin merindukannya, semakin terasa lama hari-hari yang dilalui. Tapi kini semuanya nyata terlihat, rindu ini tak berkarat. Hingga sampai Kau kembali rehat. Hingga Kau bertanya, ‘kapan Kau mengajakku untuk bermain di hujan lebat..?’. Melakukan hal” gila sampai hebat. Menempel semua kenang dengan lekat, dan menggenggam tanganmu hangat.
Sampai petang tiba, aku masih di sini dengan senja yang terasing. Aku menuliskannya untukmu. Segeralah sadar, banyak hal yang belum Kau lakukan. Itu katamu. Karenanya, hentikan ingus merah itu. Segeralah sadar, habiskan semua makananmu dan vitamin itu. Aku tau derita ini sangat menyebalkan, tapi Kau harus lebih kuat. Ujian ini akan menjadikan September tak lagi menyentuh kesedihan di rumah itu. Segeralah sadar, dan berikan senyum manismu pada semua orang, tapi hatimu jangan. I.M.U.T..
Selengkapnya...

Tawa Lepasmu dan Tanyaku..

Malam ini aku kembali terjaga. Seperti biasa. Seperti malam” sebelumnya. Tapi kali ini berbeda. Sungguh berbeda. Aku terbangun dengan rasa bahagia. Aku melihat mimpi dengan mata terbuka. Mimpi yang selalu aku harapkan saat hampa. Mimpi yang tidak selalu terbayar saat pertemuan kita berdua. Mimpi yang sampai pertemuan kedua kemarin, belum banyak aku temui nyata. Ya, mimpi itu; aku melihatmu tertawa.
Jendela kamar ini masih tertutup rapi. Hanya lalu lalang nyamuk yang aku dengar dengan pasti. Entah dari mana mereka masuk dengan sunyi.. Padahal aku ingin kamar ini tetap begini. Tetap sepi, karena aku ingin menepi. Karena sekali lagi aku ingin tertidur pendek saja tanpa mimpi. Iya, tanpa mimpi.
Aku tidak ingin terbuai dengan mimpi tentangmu. Kau harus hadir nyata di sini bersamaku. Di sampingku. Iya, bersamaku. Dan Tuhan selalu mendengarkan doaku. Dia berhasil membangunkanku. Dia membisikkan namamu. Dan Dia membuatku membuka hape yang tergeletak tak jauh dari tidurku. Aku melihat setidaknya tiga gambar itu. Entahlah, senyumku tersungging tanpa cela, tanpa ragu. Aku langsung bisa melihat tawa lepasmu. Aku senang bukan kepalang, sungguh karenamu. Karena senyummu. Karena tawamu. Karena fotomu. Karena semua pemuda Soebadri yang ada dalam bingkai itu. Mereka juga tertawa lepas bersamamu. Mereka sangat menyenangkan saat bersamamu. Karenamu.
Aku kembali melihat jam tangan, jarum jam kecilnya menunjukkan angka tiga. Sedangkan satunya bergerak tegas di angka lima. Sudah lima belas menit aku berada di depan layar laptop ini menuliskanmu. Aku mengakhirinya dengan bertanya. Kau tak pernah dengan tegas membagi semua tawa dan sedihmu. Tapi aku selalu berharap saat” seperti itu akan datang. Saat Kau meratap, saat Kau bahagia, aku sungguh ingin berada di sana. Itu bukan pernyataan, tapi pertanyaan yang aku selipkan.
Terimakasih Agustus. Terimakasih Kemerdekaan. Terimakasih pemuda Soebadri. Kalian membuatnya tertawa. Terimakasih juga angin malam, Kau berhasil menunjukkanku..
Selengkapnya...

(Masih) Satu Cerita..

Siang ini aku kembali mendengar suaramu. Meskipun bukan berarti aku melihatmu. Aku tau, Kau berada di ruangan itu. Kau ada di gedung itu. Gedung yang selalu memiliki alasan untuk memisahkan kita. Gedung yang selalu berhasil menciutkan egoku untuk menahanmu lebih lama berada di sini. Aku sangat membenci saat” seperti ini. Saat aku tak bisa menyapamu dalam tulisan apalagi suara. Tapi aku akan sangat kecewa jika aku mengganggu proses itu. Proses Kau kembali ceria dan menyunggingkan senyum itu padaku. Ya, ke arahku.
Siang ini aku lebih beruntung. Suaramu berhasil meredakan sesak dada yang penuh berontak ini. Padahal sore kemarin ada sendu yang menggelantung berat di dadaku. Aku juga tidak tau apa sebenarnya yang berada dan mengisi di dalamnya. Aku hanya merasakan ada sesuatu yang ingin membuncah ke luar dari dada ini. Jangan ditanya, karena aku juga bingung apa itu. Tapi aku tidak menyangsikan jika itu semuanya tentang Kamu.
Tawa lepasmu adalah pandangan favoritku selama tiga hari kemarin. Sebenarnya senyum kecilmu saja sudah cukup membuatku semangat untuk membuatnya lagi. Tapi tawamu adalah bonus yang sangat istimewa. Dan aku berhasil membuatnya beberapa kali. Walaupun Kau mengganggu dengan selalu menatapku sinis, tapi aku tidak pernah menyeka pandangan itu. Aku akan menerima semua emosimu asal Kau memberiku tawa.
Lalu, jika Kau tanya tempat favoritku tiga hari kemarin, dengan lantang akan aku jawab tempat duduk di sampingmu. Entahlah, alasannya bisa bermacam”. Tapi ada kenyamanan yang tiada sangka saat Kau membolehkan aku duduk di sampingmu. Gemetar dan canggungku hilang. Aku bisa berbicara denganmu sangat lepas; bukti kenyamanan yang sangat pas. Tapi sayang sekali, itu terjadi hanya sekitar 40 menit sebelum seorang teman datang. Bukan aku tak suka, aku masih duduk di sampingmu saat itu. Tapi itu tak cukup memberiku kenyamanan. Jika Kau tanya dengan detail, aku tak tau. Tapi aku sangat memfavoritkan tempat itu; duduk di sampingmu.
Kau selalu ingin melihatku. Tak apa, karena akan konyol jika Kau melupakan wajah ini. Tapi akan sangat senang jika Kau menyisakan tempat di sampingmu untuk aku tempati. Sebenarnya, aku juga ingin selalu melihatmu. Mata ini harusnya melihatmu lebih sering. Tapi aku tidak memiliki banyak kemampuan untuk itu. Menatap matamu saja aku berjuang. Saat Kau berbicara, pandanganku selalu tertuju pada sepatumu. Sepatu yang selalu aku injak agar kotor dan tak lagi bisa Kau pakai jalan”. Mungkin jahat, tapi aku tidak ingin Kau selalu bepergian, setidaknya sampai Kau kembali 100%.
Siang ini, di kamar ini, kegilaanku karenamu masih berlanjut. Tapi tak apa, aku bisa menahannya dengan menuliskan namamu di setiap sudut kamar. Nama yang selimuti tebal pandangan rapuhku. Dengan begitu, aku tak akan sadari bahwa Kau tak lagi di sini. Bahwa tak ada lagi tempat favotit itu. Tak ada lagi pemendam mimpi yang selalu ingin aku temukan. Tak ada lagi sesumbar dari lagu Lyla yang selalu Kau dendangkan.
Aku tidak tau secara pasti apa yang sebenarnya ingin aku tulis di cerita kali ini. Aku hanya tidak mampu lagi berbohong untuk mengatakan bahwa aku tidak merindukanmu. Mungkin kedengaran lebbay, tapi siang ini, semua angin yang berhembus mengarah ke telingaku seakan membisikkan setiap kenang kita. Karena semakin hari terbangun, aku memikirkanmu. Tapi aku sadari, ini tidak akan menjadi nyata sebelum kita bertemu lansung. Kau masih ingat aku memplesetkan sebuah pepatah yang temukan, bahwa ‘gelap tidak bisa mengusir gelap, hanya cahaya yang bisa.. rindu tidak akan mengusir rindu, hanya pertemuan yang bisa’.
Oleh karenanya, aku ingin sekali mengatakan padamu: ‘Ijinkan tulisan”ku hidup dengan semua ilustrasimu’.
Selengkapnya...

Time; Generasi, Mewarisi dan Inspirasi

Sabtu, 28 Juni 2014

Pagi ini aku kembali mengerahkan tenaga menuju rumah. Kakiku tergerak ingin sekali pulang sampai” malam tadi aku resah. Memikirkan setiap teks yang masuk ke inbox hapeku dari dia dengan gelisah. Bahkan aku berpikir, apa dia benar” melakukan ini agar aku pulang ke rumah.
Dia yang aku maksud adalah Zainal, adikku, anak kedua dalam keluarga ini. Anak yang selalu menjadi objek untuk disalahkan dengan tingkahnya yang belum baik. Anak yang selalu dianggap sebagai perusuh oleh Ibu karena selalu dibandingkan denganku. Anak yang selalu mengganggapku sebagai kakak sekaligus tembok yang harus dilewati. Anak yang mungkin membenciku karena tak pernah ada waktu bersamanya. Tapi aku selalu tau, dialah adik yang selalu aku rindu untuk diajak bermain.

Dengan hampir dua belas tahun aku tidak di rumah, waktuku bersamanya sangat minim. Aku bahkan tidak bisa mengingat tanggal lahirnya dengan jelas. Walaupun semua tanggal lahir kami tercatat saat kita lahir di lemari ayah di kamarnya. Tapi aku tidak bisa mengingatnya dengan jelas. Yang aku ingat, hanya setiap perilaku dan kenakalannya. Nakal yang sampai melibatkan Ibu dan Ayah. Ibu dipanggil Kepala SD berkali”, dan Ayah sampai harus minta maaf pada seorang wali murid lainnya karena membully anaknya hingga menangis trauma sampai berhari”.
Aku mengingat setiap cerita Ibu dengan jelas tentang kenakalannya. Tapi aku juga inget setiap senyum yang Ibu sunggingkan setelah cerita itu berlalu di telinga. Tidak peduli senakal apapun anaknya, dia tetaplah anak yang Ia sayangi. Aku pun juga demikian. Aku tak berhenti mencintainya, dan keluarga ini, keluarga besar ini. Keluarga besar yang penghuninya sedang bertebaran di mana” ini.
Dengan mengantongi salah satu alasan itu, aku pulang. Aku naiki bus ke Perak pk. 7 di depan MaPolsek Wonokromo. Di perjalanan kota, aku gelisah karena duit di dompet ternyata tinggal dua lembar lima puluh ribuan. Biasanya, kondektur complain dan marah saat melihat kita menjulurkan duit dengan nominal segede ini. Padahal ongkosnya hanya lima ribu rupiah saja. Kegelisahanku berlalu seiring bergantian naik pengamen dan menghibur penghuni bus. Karena ini bus biasa tanpa AC, jadinya gampang dimasukin pengamen. Seperti biasa, tidak semua pengamen enak didengerin.hal itu berdampak pada penumpang yang ogah”an memberikan duit buatnya.
Bus sudah memasuki halte Penyebrangan Perak saat aku menghentikan lamunanku. Sial, aku melamun dengan headset di telinga dari handphone-ku. Aku segera melangkahkan kaki keluar dari bus dan menuju loket beli tiket. Saat aku keluarkan dompet, ternyata duitku masih utuh dua lembar 50ribuan tadi. Ah, ternyata aku belum bayar bus tadi. Dan sepertinya kondektur melewatkanku. Senyum sok asik campur bersalah nongol di bibir. Saat aku berada di depan loket, tiba” tiga orang lain yang berjalan di belakangku main serobot dan bayar loket. Aku lupa, ini orang” Madura semua. Orang”ku. Orang” yang gak paham betul dengan budaya antre. Akhirnya aku mengalah dan menunggu sampai tidak ada lagi orang yang berada di belakangku, kemudian aku bayar.
Hmm, akhirnya aku berada di kapal penyebarangan, atau biasa kita sebut dengan kapal fery. Sudah hampir empat kali pulang aku tak menaikinya. Artinya, sudah sekitar empat bulan aku selalu melewati Suramadu sebagai akses pulang dengan sepeda motor bersama sepepuku. Tapi kali ini, aku sendirian dengan aroma khas Madura di kapal.
Aku sempatkan membaca majalah TEMPO yang ada di tas, sebelum kantuk datang menyerang. Akupun memilih memasukkan majalah ini dan tidur di kursi. Sekitar 20 menit kemudian aku terbangun oleh klakson kapal. Entah siapa yang dia klakson. Mungkin ada ikan lewat menghalangi jalannya sehingga dia harus memberikan klakson agar si ikan minggir. Tapi saat aku buka mata, terpampang jelas, penyebarangan Kamal di depanku. Aku sudah tidak sabar turun dan menemui Zainal.
Setelah menghabiskan perjalanan sekitar 1,5 jam, aku sampai di rumah pk. 11.00. Saat aku munculin wajah tanpa suara langkah kaki di depan pintu rumah yang terbuka, seorang perempuan kaget bukan kepalang. “Lho, kemarin bilang ke Ibu gak bakal pulang..? Kok sekarang udah nongol..?”, Ibu ngomel” seperti biasa.
“Assalamu’alaikum warahmatullah. Iya Bu, pikirku sebelum Zainal balik pondok besok, rasanya pengen ngobrol dan denger ceritanya”, jawabku sambil mengambil tangannya untuk aku cium.
“Hah..? Mim, kamu kenapa..? Tumben mau ketemu Zainal..? Adikmu bikin masalah..?”, tanya Ibu dengan mendongakkan kepalaku.
“Hmm, enggak Bu. Cuma pengen ketemu aja, ya mumpung dia libur. Lagipula, besok kan mulai puasa, aku mau memulai Ramadhan dengan sahur pertama di rumah. Baru kali ini bisa kayak gini Bu”, jawabku sekenanya.
“Ooh, bagus. Nal, Kakakmu dateng”, tereak Ibu memanggil Zainal. Aku masih berusaha melepas sepatuku di lobi rumah.
“Kak”, Zainal datang meraih tanganku dan membungkusnya dengan ciuman. Seperti biasa, anak ini selalu bisa menghormati anggota keluarga yang lebih tua. Tapi Zainal selalu belum bisa menghormati semua perjuangan Ibu untuk menyekolahkannya, dengan prestasi. Setidaknya itu yang Ibu selalu keluhkan saat di telpon.
Di belakang Zainal, ada Zein, adik paling bontot di keluarga ini. Dia datang malu” dan menirukan Zainal mengambil tanganku serta menyalaminya. Aku tersenyum dan berbalik arah untuk kembali melepas sepatuku. Tiba” dari belakang, Zein menggelantung dengan tangan melingkar di leher dan pundak.
“Sepertinya, ada maunya tuh Kak. Paling minta dibeliin susu”, ujar Zainal melihat tingkah Zein. “Gak pernah tuh dia gitu ke aku Kak. Dia tau mungkin siapa yang punya duit”, kata Zainal lagi dengan memploroti celana pendek Zein yang dia kenakan.
Aku tertawa melihat mereka. Begitu aku masuk kamar, aku langsung taruh tas di samping pintu kamar dan merebahkan tubuh ke kasur. Semenit kemudian, Ibu berada di depan pintu dan menawariku makan. Aku langsung sigap karena lapar yang aku rasakan sejak semalam masih membekas sampai siang ini.
Seperti biasa, Ibu selalu menyajikan lauk favorit anak sulung dan keponakan”nya yang merantau; Kella Je Assem. Agak sulit menjelaskannya. Makanan yang hanya ditemuin di desa ini. Yes, hanya di desan ini. Aku, Kak Reza, Kak Hakim dan Kak Aziz sangat menyukai makanan ini. Mungkin hanya Mb’ Iseh yang agak menjauhkan diri.
Seperti biasa pula, Zainal selalu mengeluh saat Ibu begitu baik padaku dengan menghidangkan makanan” kesukaan.
“Yah, kalau Kak Hamim dating aja, semua makanan dikeluarin. Yang enak” selalu milik Kak Hamim. Heran, padahal Ibu gak tau Kak kalau Kamu bakal pulang hari ini. Tapi ada cadangannya”, aku dan Ibu tertawa.
“Kamu ini, selalu iri. Kenapa sih Kamu gak iri sama yang baik”nya. Nurul tuh juga sekarang prestasinya banyak. Kenapa gak Kamu iri-in sekalian..?”, kata Ibuku sambil menjewer telinga Zainal.
Cerita Ibu selanjutnya bermuara tentang Nurul, anak ketiga yang saat ini sekolah di sebuah pesantren di Malang. Nurul baru kelas 1 SMP, baru 1 tahun dia di Malang. Tapi dia sudah membawa pulang dan menyesaki lemari kami dengan enam piagam penghargaan dan 3 piala bergengsi di pesantrennya. Baru seminggu lalu sampai di rumah. Salah satunya, piala dan piagam penghargaan untuk santri teladan se asrama.
Sama seperti Zainal, Nurul juga menjadikanku Kakak serta musuh yang harus dia lewati. Dia juga bosan selalu dibanding”kan denganku. Sampai kelas 5 SD, mereka berdua tidak menonjol. Tidak pernah mewakili sekolah untuk mengikuti lomba dan menjuarainya. Aku dulu pernah dan membawa piala untuk Juara Mata Pelajaran se Kecamatan dan se Kabupaten. Hanya saja, Ibu selalu melebihkan” dengan mengulang prestasi biasa itu hingga masuk ke relung mereka berdua hingga membenciku. Sayangnya, perbandingan itu hanya berlaku di rumah, guru” di SD juga selalu melakukan hal yang sama pada mereka berdua saat tau kalau mereka berdua adikku.
Zainal tetap stay cool tanpa peduli mendengar hal itu. Dia masih menjadi ketua geng di kelasnya saat sudah memasuki tahun terakhir di sekolah. Mungkin bagi dia, hal inilah yang tak bisa aku lakukan, makanya dia menjadi semacam penguasa atau preman sekolah. Dan ya, dia berhasil membuat namanya terkenal di sekolah, tapi sebagai perusuh.
Sedangkan Nurul menjalaninya lebih baik. Saat dia sadar bahwa ini tahun terakhirnya di sekolah dan tidak berniat ada tahun lagi untuknya, dia bengkit melawan. Dia mati”an belajar bahasa Inggris. Dia kemudian mengajukan diri untuk mewakili sekolah di Lomba Pidato Bahasa Inggris se Kecamatan. Yeah, dia berhasil. Walaupun juara 3, tapi Ibu bangga menceritakan itu padaku. Ibu juga mengirim foto pada Nurul padaku dengan piala di tangannya. Sial, saat itu aku bener” bahagia.
Nurul tidak berhenti di situ. Suatu saat, dia bercerita pada Ibu bahwa dia menemukan ternyata hampir di semua buku tulis dan buku koleksiku, ada puisi di halaman belakang. Nurul meniru membuatnya, tidak hanya sekali dua kali. Tapi tidak pernah berhasil menurutnya. Akhirnya, Nurul menemukan cara lain, dia membacanya dengan gaya pujangga seperti di film”. Suatu saat, dia memberanikan diri meminta Kepala SD untuk mengikutsertakan dia jadi salah satu wakil di Lomba Baca Puisi se Kecamatan. Aku tertawa terbahak” mendengarnya. Bukan karena lucu, tapi perjuangan ingin menyaingiku dia lakukan dengan seserius seperti itu. Walaupun dia tidak tau secara pasti, apa yang dia lakukan.
Tapi setahun berlalu, dia sudah melakukan apa yang tidak aku lakukan di pesantren lalu, menerima 6 piagam penghargaan dan 3 piala di akhir tahun..!! Gilak..!!
Dari cerita siang itu juga, aku baru tau dari Ibu bahwa saat ini Nurul berusaha menghafal al-Quran seperti yang aku lakukan. Aku tidak tau dia akan melakukannya atau tidak, atau aku ragu. Karena dulu dia pernah mengatakannya padaku, ‘aku gak mau sekolah di tempat Kakak yang ngafalin Qur’an, itu berat’. Tapi jika dia juga melakukannya, aku tidak bisa lagi berkata apa” selain bahwa kebenciannya benar” dalam.
Dalam kemiripan wajah dan nasib, Ibu dan Ayah serta banyak orang lain mengatakan anak ganjil mirip dengan ganjil dan genap dengan genap. Jika diliat dari foto saatkecil yang dipajang di kamar, wajah Nurul memang mirip dengan wajahku saat kecil. Wajah Zein juga mirip dengan Zainal. Tapi aku tidak berharap nasib kita semua sama. Harus beda, setidaknya harus lebih baik dari aku.
Perbincangan siang itu terpotong oleh adzan Dzuhur yang baru saja berkumandang. Aku dan Zainal buru” bergantian ke kamar mandi untuk wudhu’ buat melaksanakan shalat Dzuhur. Setelah itu kami kembali ke kamar yang masih ada Ibu di dalamnya dengan Zein. Perbincangan berlanjut pada penghakiman Zainal. Saat itu Ibu langsung memulainya ‘mumpung ada Kak Hamim, katakana apa yang Kamu inginkan..? Aku gak ngerti Nak, hanya Kamu yang gak punya keinginan di sini. Setidaknya Kamu punya cita”, biar kami juga tau yang akan kami lakukan padamu..’, kata Ibu menunjuk ke Zainal.
‘Jadi, Kamu masih belum tau akan ke mana setelah lulus..?’, ucapku kaget.
‘Bukan begitu Kak, Ibu terlalu membesar”kan. Aku sudah memikirkannya sejak setahun ini. Sejak Kakak selalu memarahiku di facebook. Tapi aku gak yakin, aku gak tau ini akan kalian dengarkan’, Zainal menghentikannya. Dia ambil nafas dan kembali berucap. ‘Aku ingin jadi koki yang gak hanya diam di satu tempat’, Zainal melihat kea rah mataku dan Ibu.
Aku kaget, Ibu juga. Ibu melihat ke arahku dengan menaikkan alis tanda beliau tak mengerti.
‘Maksudku, jadi koki yang bisa keliling. Tidak hanya di satu kota, jika bisa, tidak hanya di satu negara. Gampangnya, aku ingin berlayar seperti Kak Hakim tapi di bagian dapur. Memburu dollar di laut, sepertinya asik’, lanjut Zainal. Kali ini dia bernafas lebih panjang.
Ibu terdiam lebih lama, melirik ke aku berharap aku mengatakan sesuatu.
‘Hmm, itu gila. Tapi, jika itu yang Kamu inginkan, kenapa tidak. Mari buat plan’, sebenarnya aku asal mengatakan ini. Tapi aku beneran juga kaget mendengarnya.
‘Bentar Kak, jangan suruh aku kuliah. Kalaupun harus, aku ingin kuliah yang sebentar, cukup 1 atau 2 tahun’, Zainal memotong.
‘OKe, boleh. Aku akan memikirkannya. Ini pasti seru’, kali ini aku serius mengatakannya. Ini gila, tapi aku benar” sudah tidak sabar mewujudkan keinginan anak ini.
‘Oia Bu. Apa mungkin keinginan Zainal ada hubungannya dengan profesi Ibu. Jujur, saya pun suka sekali masak. Bahkan masak sudah menjadi hobi kedua saya setelah menulis. Di Malang lanjut Surabaya, aku benar” menyukainya’, kataku pada Ibu. Ibu hanya tersenyum kecil. Ibu kemudian melirikku dengan mata tajam seakan ingin mengatakan, ‘Kalian Gila’.
Langit senja sudah hampir muncul saat dering hape Ibu meramaikan ruang dengar kamar ini. Dari Ayah ternyata, senyumku pun mengembang.
‘Oh, udah sampe..? OKe, kebetulan semua anakmu ada di rumah. Ini mereka lagi di kamarnya. Oh, bukan. Nurul belum datang. Iya, mereka siap menjemputmu. Wa’alaikumussalam’, ucap Ibu mengakhiri percakapan di telpon. ‘Senang sekali..?’, tanya Ibu padaku.
‘Tidak ada yang lebih menyenangkan sore ini selain ngambek (menjemput orang datang) ayah dari laut Bu. Ini salah sat tujuanku pulang’, kataku sambil melepaskan kaos.
‘Aku sudah tiap hari sejak libur melakukan ini Kak, tapi aku tidak pernah bosan melakukannya. Kali ini lebih senang lagi karena ada Kakak. Ayoo Kak’, Zainal juga terlihat ganti celana.
Dari dulu, 12 tahun lalu, sejak aku meninggalkan rumah, aku selalu senang saat berkesempatan menjemput Ayah usai melaut. Dulu sekali, Zainal dan Nurul selalu heran kakaknya yang lucu dan imut ini segera pergi ke pantai saat ada kabar Ayah pulang. Entahlah, tidak bisa dideskripsikan dengan jelas. Tapi aku sungguh senang dan bahagia saat puluhan langkahku menuju laut.
‘Kak, aku mulai mengerti kenapa dulu Kamu sangat senang menjemput Ayah. Aku baru memahaminya. Mungkin Nurul juga demikian Kak’, Zainal membuyarkan lamunanku. Aku balas dengan senyum.
‘Oh iya, hmmm.. Kamu ingin seperti Sanji One Piece..?’, tanyaku saat kami keluar rumah dengan bawa bak buat ikan hasil melaut Ayah.
‘Iya Kak’,
‘Kamu mulai merokok..?’, aku meliriknya tajam.
‘Iya Kak’, aku kaget dengan jawabannya. Sial. Reflek bak yang aku bawa aku lempar ke kapalanya.
‘Duhh, sakit Kak. Lagian, aku niru Kakak’, aku terperangah mendengarnya. Memang buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Zainal, akhir tahun lalu, saat pernah mampir ke kosku di Surabaya, pernah melihat aku merokok.
‘Jika itu tidak baik, jangan ditiru’, ujarku.
‘Iya Kak’, jawabannya mengesalkan.
Setibanya di pantai, kami samar” melihat pejala, sebutan untuk perahu nelayan di sini, yang dipakai Ayah muncul. Jauh. Kami masih ngobrol mengisi kesempatan itu.
‘Apalagi yang belum saya ketahui Nal..?’, tanyaku padanya.
‘Hmm, saya sedang semangat menjalani sisa liburan ini Kak. Itu aja yang harus Kakak tau’, jawabnya.
‘Kenapa..?’,
‘Baru sekarang Kakak pulang ke rumah karena ada saya. Saya jadi tujuan Kakak pulang, seneng banget. Tapi lebih seneng lagi kalo saya nyampe duluan di pejala Ayah. Haahahahaa, ayoo Kak’, katanya sambil berlari melewati riak ombak. Aku tersenyum lebar. Sial, aku gak menyangka hal” kecil seperti ini membuat dia senang. Aku menghela nafas beberapa detik sambil melihat Ayah melambaikan tangan ke arah kami. Aku pun menyusul Zainal.
‘Assalamu’alaikum Pak’, salamku pada Ayah di tengah laut sambil menjulurkan tanganku meminta tangannya.
‘Wa’alaikumussalam. Kenapa pulang Mim..?’, tanya Ayah dengan memberikan tangannya ke arahku.
‘Gapapa Pak, biar rame aja sahur pertama’, jawabku asal. Aku dan Zainal langsung naik ke atas pejala, memindahkan ikan” tangkapan Ayah ke bak yang kami bawa. Sementara itu Ayah menurunkan jangkar dan mengikat pejala dengan tali tampar.
Dari kejauhan, di pantai, aku melihat Zein sedang guling” nangis dengan Ibu berdiri di sampingnya. Aku melirik Zainal, dia menaikkan bahu dan mengatakan ‘Biasa Kak, Zein pengen ikut, Cuma pasti Ibu gak bolehin. Makanya nangis, tapi kadang bakat Kakak di teater nular kayaknya ke Zein. Tuh, dia dramatis gitu sampe guling” ke pasir’, kata Zainal panjang. Aku mengangguk mendengarnya.
Sumpah sore ini aku sangat senang. Baru segini aja yang ada di rumah, tapi itu sudah cukup memberikan sumbangan lekuk senyum di bibir. Zainal tak berhenti melihat ke arahku yang senyum” sendiri dari pantai sampai rumah. Aku merasakan sore ini nyaris sempurna. Semilir angin dan senja yang perlahan berpendar menggodaku untuk lebih lama berada di luar rumah dengan mata terpejam.
Petang kemudian menjemput sore. Hingga akhirnya semuanya berlalu dalam larut malam. Ibu dan Ayah tak berhenti saling sindir tentang program TV yang akan disetel. Zainal memilih bela Ayah, Zein lebih banyak gigit Zainal karena bela Ayah. Aku, aku tertawa dengan canda Ayah yang lucu banget. Kadang aku berpikir, apa selera humorku turunan dari Ayah ya..? Tapi dulu gak ada tuh stand up comedy. Haahahaa..
Kemudian Ibu banyak cerita tentang masa kecilku. Ini adalah momen cerita keluarga yang selalu aku tunggu saat malam. Ibu menceritakan kisah” masa kecil kami atau masa” kecil Ibu dan saudara”nya. Saat cerita itu mengalir ke kisah kecil Zainal, Ibu agak kecewa. Menurutnya tak ada yang bisa diceritakan dengan baik, karena mengecewakan. Aku tertawa, Zainal tertawa, Zein masih sibuk mukul”in Zainal karena bersandar di paha Ibu. Ayah kemudian buka suara, ‘Ini semua gara” Nurul. Nurul terus yang disanjung. Ntar Bapak beliin Kamu piala dan print-kan piagam deh buat ngalahin Nurul’, canda Ayah ke Zainal dengan lirikan tajam pada Ibu. Kontan Ibu, aku dan Zainal ketawa ngakak.
Ibu tidak mau kalah, beliau langsung nyambar ‘Iya bagus, print yang banyak. Ntar setelah diprint buat bungkus gado-gado Ibu aja’, ibu menimpali disambut senyum Ayah.
Malam itu juga, Ibu mengatakan sebuah nasihat berharga buat Zainal. Sambil memegang tanganku, Ibu berkata padanya ‘Nak, jangan sampai takut berbuat baik. Berbuat baik tidak ada ruginya. Jika Kamu merasa rugi, berarti itu bukan kebaikan’, Ibu semakin kencang memegang tanganku. Aku melihat Ibu, entah apa maksudnya meremas tanganku untuk mengucapkan nasihat ini pada Zainal.
‘Bukan sekarang balasannya, tapi pasti ada manfaatnya. Bisa jadi, apa yang Kakakmu rasakan sekarang adalah buah kebaikan semua orang rumah. Semua kebaikan berdampak runtut’, Ibu merenggangkan remasan tangannya. Sial, ini nasihat nusuk banget. AKu baru mendengar Ibu menasihati dan muka Zainal menyimak begini. Biasanya dia enggan menyimak pesan selain dariku, karena aku memberikan nasihat dengan dahi mengkerut. Tapi baguslah, dia mendengarkan dengan baik.
Malam itu akhirnya harus berakhir. Aku tenang melewataknnya. Banyak hal yang bisa aku simak dari percakapan tadi. Aku pun sangat senang dengan semua kemauan yang ditunjukkan adikku. Aku harap itu tidak menguap. Karena jika itu hasrat, aku akan selalu berada di sampingnya. Satu lagi yang aku dapatkan dari rumah hari ini, bahwa setiap tindakan terinspirasi, termasuk tindakan yang tidak baik. Entah baik atau tidak, sampai tulisan ini aku buat, aku tidak lagi merokok.
Selengkapnya...

Dad, Once More..

Sabtu, 31 Mei '14..

Bagiku, semua hari adalah perjalanan. Perjalanan untuk dikisahkan. Sebagian aku sembunyikan. Tapi tetap menyentuh hikmah untuk aku berikan. Semuanya tersimpan tak rapi di memori hampir terabaikan. Karenanya, aku memilih untuk dituliskan.
Sore ini aku kembali menghirup udara rumah. Rumah dalam arti sebenarnya. Rumah yang di dalamnya berpenghuni keluarga; ayah, ibu dan adik kecilku yang paling bontot serta nenek, perempuan paling dicintai oleh 10 cucunya di rumah ini. Rumah yang hanya sebulan sekali aku singgahi. Rumah yang hampir aku abaikan karena perjalanan pendidikanku. Ya, aku harus meninggalkan rumah sejak usia 12 tahun, sampai sekarang. Tiap tahun, aku hanya berkesempatan pulang dua kali. Itu juga yang membuat perlahan air mataku mengering untuk merindu rumah.
Kali ini aku pulang dengan harapan tinggi; ngopi bareng ayah. Mungkin terdengar biasa dan ah konyol banget. Tapi bagiku inilah momen pria kepala keluarga dan yang mewarisinya bicara. Selama 24 tahun aku hidup, baru sekali aku duduk bersila dan bersama menyruput kopi yang disajikan ibu, dengan ayah di depan lobi rumah. Baru sekali. Itupun tidak disengaja dan berlangsung sebentar. Saat itu aku sesekali mendapat pertanyaan dan pernyataan tentang hidup yang sudah aku lalui.
Tapi sayang sekali, malam ini aku gagal melakukannya. Ayah harus istirahat karena besok dini hari harus bangun berangkat melaut. Jangankan duduk bersama bersila, dari raut wajahnya tampak guratan lelah yang seakan berbicara padaku ‘jangan malam ini, aku belum bisa bicara banyak denganmu’. Aku tertunduk lemas sembari menahan sakit di tangan yang digigit adikku. Sepertinya dia mau mengajak main, tapi entah. Aku memilih mengajaknya membantu Ibu di dapur.
Aku terdiam berdiri termangu membisu di dalam kamar. Aku lihat jendela belum sepenuhnya tertutup. Samar” aku merasakan angin bertiup menerpa wajah kusamku. Perlahan aku duduk di depan meja kamar dengan tumpukan buku di dalamnya. Aku sisihkan satu”. Ternyata koleksi di meja ini sudah mulai disesaki oleh komik adik keduaku. Simpul senyumku mengembang kecil. Bagi Ibu, ini adalah alasan yang tepat untuk marah pada adikku saat koleksi bukunya hanya komik. Tapi bagiku, ini menunjukkan perkembangan karena dia mulai suka membaca.
Suasana malam ini sudah hampir sepi. Padahal jarum jam di tanganku masih menunjukkan angka 8. Bahkan lalu lalang kendaraan di depan rumah hanya menyisakan becak” mengantar barang” pemasok ikan berupa es batu. Beberapa diantaranya menyapa ayah dan dibalasnya sekenanya. Pandanganku kemudian tertuju pada ayah yang beranjak dari depan TV menuju kamar. Langkahnya sedikit lunglai, seperti ada batu gunung yang menahan dirinya berjalan.
Hmmm.. Hai ayah, seandainya Kau mengijinkanku untuk menggantikan posisimu, sungguh aku sangat senang. Aku ingin sekali tau bagaimana memiliki bahumu. Bahu yang menopang ribuan derita tanpa tepi. Bahu yang harus Kau gunakan melihat untaian ujian yang datang setiap hari. Bahu yang Kau bawa pulang tiap senja dari laut yang keji. Bahu yang 25 tahun ini setia menemani Ibu dengan kisah harmonis dan pertengkaran yang menguras emosi.
Tapi Kau selalu bilang, bahwa setiap manusia memiliki jalan dan perjuangan sendiri-sendiri. ini jalanku dan ini jalanmu. Kau harus merasakan sakit sebelum hinggap rasa senang. Kau bilang bahwa aku harus berada di luar sana lebih lama, untuk memaknai perjalanan yang ditempuh. Aku tidak tau kapan aku harus berhenti mendengarkan ocehanmu, karena aku ingin sekali berada di sisimu, di sisi Ibu lebih lama. Berada di samping kalian di setiap detiknya. Sudah 12 tahun aku meninggalkan rumah dan hanya memiliki satu atau dua pekan saja di rumah di setiap tahunnya. Aku sudah tidak sanggup merantau tanpa melihat senyum kalian tersungging.
Sial, malam semakin larut saat aku tau aku hanya memiliki keinginan semu. Semua menyisakan sendu. Bahkan aku tidak sanggup memeluk Ibu. Dia terlihat kerepotan melayani setiap pelanggan yang masih datang ke warungnya. Ingin sekali berada di balik tubuhnya sambil memijat pundaknya. Tapi pasti dia marah karena itu hanya akan mengganggunya. Haahahaaha.. Aku masih ingat saat adikku yang lugu melakukannya setelah melihatmu kelelahan melayani mereka. Kau marah dan membuat Zein ngeloyor menahan sedu tangis berjalan ke arahku. Kemudian setelah sejam berselang, Kau datang dan mengecupnya. Hangat sekali. Taukah Kau Bu, aku iri melihatnya.
Kau selalu berpikir aku sudah besar diperlakukan seperti itu. Tidak layak dan memalukan. Tapi di sudut dada ini, selalu ada alasan untuk meginginkan setiap senti pelukanmu. Saat mataku lelah menatap layar komputer tiap hari. Saat otakku panas dan tak sanggup lagi mengurai semua informasi jasa layanan ini. Setiap pagi, aku hanya bisa memencet nomor hapemu dan mendengar suaramu dari seberang pulau. Setidaknya, suara 7 menit itu yang memberikan luapan rasa senang tanpa harus menyalakan TV melihat stand up comedy.
Awan malam sudah datang tanpa menyisakan cahaya bulan. Dia menyembunyikannya begitu sempurna sampai saat aku matikan lampu kamar, hampir tak ada berkas cahaya yang masuk. Dalam lelapku, dalam diamku, dalam hening ini, aku berharap dan selalu, aku tidak tau kapan hidupku akan berakhir, tapi semoga hidupku penuh manfaat bagi sesama.
Selengkapnya...