Sampai hari ini pun aku belum cerita ke Kiki, konsultasi tentang sakitku yang sudah 3 pekan ini bersarang. Kiki bukan satu"nya temenku yang dokter, tapi dia selalu menjelaskan keluhanku dengan sangat detil dan, dengan solusinya. Tapi Kiki paling bawel kalau aku gak nurut, apalagi mengacuhkan. Tiap sakit dan mau konsultasi, itu alasan pertama yang membuatku enggan menghubunginya.
Seringkali, saat Kiki memberi jawaban, sakitku selalu berbarengan dengan pancaroba. Dan selalu berlangsung lama. Satu hari kolaps di tempat tidur, lalu bisa berhari" setelahnya beraktifitas dengan minim stamina, lemas dan sakit di bagian kepala. Terjadi berkali" dan aku jadi pasien tetapnya. Sebenarnya, tadi pagi dokter muda ini bertanya tentang JTF 2015 via teks. Tapi aku terjebak dengan kamera di tangan, lupa cerita. Cerita pun, paling dibuka dengan omelan. Apalagi kalau dia tau kalau kali ini sakitku juga karena mengabaikan cuaca. Bahkan, empat hari terakhir, tidak ada siang yang aku lewatkan tanpa hujan"an. Tapi siang ini, hujan"annya terasa spesial. Gak pake telor.
Malam ini, aku memutar komposisi Reason milik Eva Celia berkali-kali. Tanpa henti. Hanya lagu itu. Sial, enak banget. Sudah sejak pertama kali dilaunching, aku sudah jatuh cinta dengan lagu ini. Tapi baru kali ini aku sempat mendengarnya dengan tenang, di tempat sepi tanpa ada orang lain, ditemani secangkir kopi di samping keyboard dan menemani hingga tulisan ini berakhir. Baru kali ada kompsosisi dari musisi perempuan yang menemaniku menulis. Menulis sekali lagi, tentangmu. Tidak, kali ini tentang senyummu. Ya, hanya senyummu.
Aku tak mengira malam ini akan panjang bagiku. Kenyataan seharian ini belum istiarahat, mata digunakan maksimal dan besok pagi harus sudah kembali ke kantor, harusnya sudah cukup jadi alasan buat kembali ke kamar dan tidur. Tapi aku malah menambahkan gula ke setiap minuman yang aku teguk untuk menahan reduksi semangat. Aku masih tak menyangka bisa melihatmu tersenyum dengan sengaja. Sayangnya, senyum itu berada tepat di depanku. Situasi yang membuatku semakin meneruskan niatku kabur dari kursi petang itu. Aku berkali" memintamu pindah duduk di sampingku, tapi negatif. Kau memilih tetap di kursimu dan aku masih dengan grogi yang aku sembunyikan di tempatku duduk, di depanmu, karena senyum itu.
Reason masih terdengar jelas di ruang dengarku. Mengalun ladid, seolah Eva juga berkomunikasi dengan gesturnya padaku. Seperti yang aku lihat malam itu. Sesekali sebuah senyum tersungging tanpa sengaja dan sialnya, aku juga melihat tanpa sengaja. Jadilah kondisi yang harusnya tidak sama" tau, aku melanggarnya. Kau tidak tau aku melihat senyum itu, tapi aku tau Kau sedang tersenyum. Sehingga beberapa kali aku sengaja diam dan berhenti bicara, agar Kau juga diam dan tersenyum saat tak melihatku. Tak semua berhasil, tapi beberapa kali aku menangkap momen itu dengan mata, kamera sempurna ciptaan Tuhan. Oh shit, ternyata kamera hapeku juga membingkainya.
Bagaimana jika pembahasan ini aku akhiri saja..? Biarkan aku menikmatinya sendiri dan mendeskripsikannya diam". Sudah lama aku tidak berkisah lagi di sini. Penyakit 'invisible' ku belum sembuh. Memulainya kembali pun butuh waktu lama dan satu pelecut sempurna agar jemari juga ikut menepikan rasa malas itu. dan pelecut malam ini adalah sneyum itu, senyummu.
I could be all that I am, right now I know I'm on my way to it I want to be
Even if I ever feel lost inside, you are the reason I find my way again
Reason_ Eva Celia
Reason..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar