5 Desember 2015
Doaku terkabul. Hujan turun deras saat aku pulang ke rumah. Jarang terjadi, karena tanah Madura yang panas seringkali hanya dikepung gerimis, meski berulang kali. Tapi tidak siang ini. Sejak pagi, mendung membungkam cahaya matahari, menepikannya entah ke mana. Sebelum hujan turun, gelegar guntur dan kilat petir jelas didengar dan nampak terlihat. Mengerikan. Tidak bagiku.
Siang itu, Ibu meminta Zein, adik bungsuku yang masih kelas 1 SD mematikan TV dan mencopot semua kabel yang terhubung. Zein yang juga takut setiap kali petir terlihat, menuruti permintaan Ibu dan bersembunyi di samping pintu kamarku. Dia mendekat dan memelukku saat petir kembali datang dengan cahaya memanjang dan bercabang, terlihat di sela2 pintu rumah yang tak tertutup purna. Dari arah dapur, Ibu berdiri memandangi langit melalui jendela.
'Deras ya, siapa yang bantu Bapakmu..?', gumam Ibu. Aku bergegas ganti celana pendek, kaos dan membuka pintu.
'Biar saya aja Bu', aku tersenyum ke arah Ibu. Ibu menghela nafas. Mungkin Ibu tau kalau sebenarnya aku ingin hujan"an.
'Hati" ya. Buruan, jangan sampe Zein liat, ntar dia ikut', Ibu mengatakan itu dengan mimik seolah ingin mengusirku. Aku berjalan santai menikmati derasnya hujan ke pantai, sekitar 21 meter di belakang rumah. Hahahahaha, sambil jalan, aku mengingat kapan terakhir aku melakukan ini, hujan"an tanpa peduli kesehatan. Hujan semakin deras saat aku berhasil mengingatnya. Sesampainya di lencak yang ada di pantai, aku memicingkan mata dari balik kacamata yang aku kenakan. Aku budi, buta dikit, dengan kondisi cuaca seperti ini, mengandalkan kacamata saja tak cukup.
Kekhawatiran Ibu bukan tanpa sebab. Saat hujan deras seperti ini, laut bisa sangat mematikan. Gelombangnya sangat labil, ditambah angin kencang yang berhembus seolah ingin menikam semua usahamu untuk selamat. Aku berdiri mematung, baju dan celana pendek yang aku kenakan sudah basah kuyup sejak awal keluar rumah. Satu persatu aku melihat perahu datang dari arah utara, berlabuh. Tapi tidak ada tanda" parahu itu milik Bapak. Sebelas. Iya, sebelas kapal. Aku menghitungnya.
'Kak', aku masih memicingkan mata dengan kecamata masih basah. AKu tak bisa mengelapnya. Percuma kurasa. Sesekali menundukkan kepala dan berpikir. Bodoh, terlalu berlebihan. Bapak sudah melakukan profesi ini sejak aku balita, sudah sekitar 20an tahun. Hujan dan angin kencang seperti ini saja tak akan memadamkan usahanya pulang ke rumah. Bapak sudah melewati banyak badai yang mungkin dia sembunyikan dari kami.
'Kak, masih lama', aku menoleh ke depan, ke arah suara yang aku dengar barusan.
'Eh Rul, apanya..?', tanyaku padanya saat dia ambil tanganku menyalami. Khoirul adalah teman sepermainan Zainal, adik keduaku. Dia sangat dekat dengan keluarga kami. Dia juga yang seringkali membantu Bapak mengangkut semua hasil ikan yang didapat Bapak, ke rumah.
'Bapak masih lama datang. Mungkin setengah jam dari sekarang. Pulanglah, biar aku yang menunggunya, seperti biasa. Saat Kakak selesai mandi, paling Bapak udah datang', pintanya padaku. Dia mendorongku untuk pulang. Dia mendorong dalam arti yang sebenarnya, secara fisik. Kami berdua masih hujan"an. AKu melihat ke arahnya, dia menggerakkan kepala dan bibirnya seolah ingin aku pergi dari tempat ini. Kebetulan hujan sudah mulai melambat turun dari sebelumnya.
'OKe, minta tolong ya Rul', kataku padanya.
'Jangan khawatir, ini sudah aku lakukan sejak kalian semua gak ada di rumah', maksud Khoirul adalah kami bertiga; Saya, Zainal dan Nurul yang satu persatu meninggalkan Seppolo dan melanjutkan studi. Aku meninggalkan pantai dengan jalan mundur, sambil tetap mengarahkan pandanganku berharap Bapak datang sebelum aku pulang.
AKu ingin bertahan lebih lama di sana, tapi hujan sudah mereda. Aku harus memenuhi janji dengan seorang teman datang ke tempat usaha barunya berupa warung kopi dan angkringan. Baru dibuka 2 pekan. Dia ingin aku berkunjung dan melakukan review serta riset kecil"an untuk pengembangan. Tentu bukan secara hitung"an ekonomi bisnis, hanya menelaah minum dan makanan yang dia sajikan serta beberapa analisa psikologi konsumen. Haduuuhh, ada" aja ni anak. Aku ini siapa coba.
'Belum thonduk ya Mim..?', tanya Ibu saat melihat sosokku di depan rumah.
'Belum Bu, Khoirul yang mau jemput',
'Ooh, dia udah di sana. Yaudah mandi sana', kata Ibu yakin. Aku melihat wajah Ibu. Aku tersenyum, lalu tertawa dalam hati. Aku lupa, keluarga besar ini sejak dulu dibangun oleh banyak kepala dan tangan. Dibangun oleh banyak kesedihan yang terbagi tanpa diminta dan dengan rangkulan hangat banyak dekap tanpa menawarkan. Semuanya berlandaskan kepercayaan. dan perlahan terwarisi dengan sendirinya, tanpa diajari pada generasi selanjutnya, karena semuanya terlihat nyata dengan sikap. Perlahan juga, menular pada orang lain di sekitar kami. Khoirul misalnya.
Berada di luar sana, mungkin sudah membuatku terlalu naif. Setiap hari, sesekali aku menulis kasus" yang tidak mengenakkan, seringkali melibatkan pengkhianatan. Intrik, politik, kebohongan, dusta, prasangka dan under estimate sering jadi dasar berita yang aku tulis tiap harinya, atau kadang sering aku dengar. Aku lupa, hari ini aku berlibur. Aku harus menempatkan diriku pada situasi di tanah yang aku injak. Kebetulan, libur kali ini adalah pulang ke rumah. dan dalam rumah ini, ada keluarga yang sudah mengajariku banyak hal, sebelum aku duduk di kursi kecil sekolah TK dulu.
Kembali Pulang..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar