25 Desember 2015
Hujan masih deras mengguyur siang itu. Di kepalaku, berkecamuk banyak diksi untuk aku deskripsikan, untuk aku ceritakan padamu. Tentang hujan yang Kau hindari, tentang tawaku yang tak mungkin Kau lihat, tentang tanya yang tak mungkin Kau jawab iya 'maukah Kau hujan"an bersamaku..?' dan tentang semua bunyi merdu rinai tak beraturan ini. Siang itu aku gila, senyum dan tawa bergantian berebut satu tempat di bibir.
Dari tempatku berdiri, aku melihat petir menyambar di sana-sini. Disusul suara gemuruh guntur yang selalu membuat Ibu khawatir. Setiap kali suara geledek itu datang, Zein adalah objek pertama yang Ibu lihat setelah beristighfar. Dari tempatku berdiri, aku menyembunyikan kecemasanku pada Bapak yang tak kunjung nampak di seberang laut. Bapak bukan orang sakti yang bisa menangkal petir, Bapak juga bukan teman laut, badai dan ombak. Tapi, durasi yang dia jalani selama 20an tahun ini, jadi jaminan buatku menghilangkan cemas. Anak sialan, malah yang aku cemaskan adalah kemungkinan" jawabanmu tentang pertanyaanku.
Dari tempatku berdiri, aku sudah tau jawaban yang akan Kau sampaikan. Kau alergi hujan dan aku manusia gurun norak yang sudah lama merindukan hujan. Salah satu bahagia bagiku, sebenarnya cukup dengan membuatmu tertawa. Tapi sifat dasar manusia-ku datang, tidak puas, ingin lebih dan egois. Aku ingin melihatmu tertawa karena aku tertawa, karena aku hujan"an atau karena kita berdua hujan"an. Aku gelengkan kepala. Jika sampai ajakan itu terlontar dari mulutku, aku tidak akan memaafkan diriku. Karenanya, aku simpan pertanyaan sia" itu.
Dari tempatku berdiri, jarak pandang sangat terbatas pada dua perahu yang sudah bersandar di pantai depanku, objek terdekat. Aku masih berdiri tanpa tau kapan aku beranjak pulang. Sesekali aku menghela nafas panjang, tanda kalau aku terlalu lama berpikir. Bagaimana tidak, aku berhadapan dengan teka teki dunia bernama hati. Apalagi hati yang satu ini tertanam pada fisik seorang perempuan. Tambah rumitlah urusan. Jika ada stetoskop khusus untuk mendengar percakapan antara hati dan isi kepalamu, aku adalah orang pertama yang membelinya. Tapi jangankan mendengar organ tersembunyimu, melihat ragamu saja aku enggan, penyakit bertemu perempuan.
Dari tempatku berdiri, aku merasa samar" aliran air hujan sudah masuk sampai ke semua organ intimku. Sesekali aku mendekapkan tangan, ironi yang lazim aku lakukan. Hujan"an, berusaha menghangatkan tubuh. Mencintai hujan, tapi menempatkan payung saat keluar kantor untuk makan. Merindukanmu, tapi tak ingin bertemu. Tak ingin menyapa. Tak ingin terlihat olehmu. Alasanku banyak, tapi semuanya masuk akal, menurutku. Mungkin suatu saat, aku harus ke dukun. Konsultasi tentang penyakit 'alergi perempuan' ku.
Dari tempatku berdiri, aku masih bertanya satu hal yang belum Kau jawab. Apakah Kau juga merindukanku..?!
Kembali Pulang; Ironi Siang Itu..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar