Kau terbiasa merutuk berkali-kali, karena hujan turun gak henti-henti. di pagi saat Kau ingin tau, di siang saat kita berencana, dan di malam saat kita hampir bertemu. tapi senyummu selalu tersimpul di ujung sunyi, karena percakapan kita tidak pernah sepi. hujan hanya memberi jarak, tidak pernah sungguh memisahkan. ragaku dan tatapanmu. pandanganku dan kursi yang sedang Kau duduki. hujan hanya menawarkan jeda, yang bisa kita tolak hanya dengan seperangkat baju.
Kau biarkan kaki-kakimu basah saat hujan turun. berdiri di antara batas lantai dan percikannya. melamun heran memandangi air-air itu mengalir. bunyi-bunyian yang keras. kendaraan yang masih melaju. dan nafasmu yang Kau tarik dalam-dalam. Kau ingin memaki, tapi tak punya kata yang tepat untuk mencaci. hanya saja, satu rencana sudah pergi. tidak terjadi. malampun tak lagi hening. semuanya menjadi bising. bahkan saat Kau tengadahkan wajah, tidak ada yang membalasmu dengan ramah.
Kau masih merutuk satu dua kali, karena hujan baru berhenti sekarang ini. saat jam tak lagi nyaman buat mengadakan pertemuan. untuk berencanapun sudah terlambat. apalagi untuk mengangkat tubuh dari atas kasur, pasti terasa berat. yang tersisa hanya kehendak, sebuah harapan kecil dengan rencana-rencana lain. dan juga rindu.
Selengkapnya...
Rencana yang Tertunda..
Di Rumahmu..
hai, apa Kau baik-baik saja..?! aku bangun tidur dan baru melihat semua panggilanmu. jadi aku pergi buat membalasnya. aku mampir ke rumahmu, kosong. aku melompati pagarnya. Kau tidak ada. rumahmu sepi. hanya ada ragaku dan jejak wewangian yang biasa Kau pakai di balik pintu. masih harum. Kau baru saja pergi. tapi aku tak ingin mengejarmu, aku di sini saja, di depan rumahmu yang sepi.
rinai hujan mulai turun. rintiknya mengenai kaki dan sepatu yang aku pakai. teras rumahmu basah. aku tidak ingin mengetuknya. aku tidak ingin tetanggamu mendengar dan tau kalau ada penyusup di rumahmu. jika boleh, aku ingin duduk di kursi terasmu. sebentar saja, sebelum aku meninggalkan rumahmu. duduk dan mereka-reka apa yang sebenarnya ingin Kau sampaikan di telpon tadi.
perlahan, aku mencium wewangian yang aku kenal. samar, dan semakin mendekat. itu Kau, membuka pagar rumah dan melihatku kaget. Kau menutup mulutmu, rambutmu terurai ke depan wajah dan menutupi sebagian mata. Kau berlari menghampiriku, memegang tanganku dan berbisik pelan. aku mengangguk. aku masih mendengar ... juga melihat luka yang dulu. aku mendengar suaramu, juga derita itu.
*ngadaptasi puisi 'Mampir' Joko Pinurbo (2002)
Selengkapnya...
Sebelum Petang Juga Memerah..
Kau mulai memejamkan mata, tak peduli sedang di mana. Kau tau Kau sedang di mana. dengan semua bunyi klakson dan desing knalpot itu, Kau tau sedang di mana. tapi Kau ingin memejamkan mata, karena menghela nafas saja sudah tak sanggup menyelesaikan persoalan ini.
Kau di jalan menuju rumah. aku tau Kau tau itu. hanya saja Kau tidak bisa membedakan pagi yang baru lahir dan sore yang merana. langitnya merah, tak lagi jingga atau kuning pudar. merah merana, seperti sedang terluka dan marah. sepertimu yang sekarang sedang memejamkan mata.
Kau masih memejamkan mata, tak peduli Kau sedang di mana. Kau pikir mati sekarang atau besok sama saja. kesedihan ini tidak mengantarkanmu pada banyak kejernihan. terlalu susah menggapainya. dada terasa sesak dengan amarah. ingin meledak bersama peristiwa yang bisa saja terjadi di jalan.
banyak kilometer yang harusnya Kamu tempuh sore ini. ditambah macet yang pasti terjadi, Kamu tau akan menemui petang di sini, di jalan, seperti biasa. tapi jalan begitu sunyi. Kau hanya mendengar teriakan dan bising suara dari kepalamu. pikiran itu berkecamuk di antara ributnya jalanan.
sore ini hanya ada Kamu dan semua pikiran yang ingin Kau diamkan, tapi tak bisa. bising gak karuan. Kau pejamkan mata meski Kau tau sedang di mana. Kau sudah tidak bisa lagi membedakan banyak hal. lampu jalanan yang berbaris dan langit merah yang bergaris. petang sebentar lagi. Kau bahkan tak bisa bedakan rintik hujan dan air mata yang mulai mengalir di pipimu.
kondisi itu tidak bisa Kau hentikan, sampai akhirnya Kau tiba di rumah. memanggil-manggil namaku, mencari, dan menemukanku. sambil terisak, Kau memelukku. Kau ingin bercerita, tapi suaramu tidak keluar. Kau ingin mengatakan sesuatu, tapi tertahan. Kau diam, dan masih terisak. tapi aku tau Kau sedang sedih. entah kenapa keheningan membuat kami lebih terhubung ketimbang berkata-kata.
*ngadaptasi puisi 'Di Jalan Menuju Rumah' M Aan Mansyur (2016)
Selengkapnya...
Bangunan yang Roboh..
kita menatap ke arah yang sama, tapi beda.
siang sangat menyejukkan hari ini. tidak terlalu panas, juga tidak terlalu redup. jam tiga aku harus kembali memasukkan blueprint ini, dengan harapan yang selalu aku bawa, disukai dan diterima kerja di tempat itu. sekarang masih jam satu, aku punya dua jam lagi untuk menenangkan diri. sudah sebelas tempat yang menolak proposalku kerja. setiap kembali dari kantor-kantor itu, aku mencoret nama-namanya satu per satu di papan dinding apartemenku.
siang ini sama seperti tiga puluh hari sepanjang bulan ini. tidak terlalu panas, juga tidak terlalu redup. aku bukannya tidak lelah begini terus. ditolak sana-sini. tapi aku harus mencari tempat kerja baru sesuai dengan bakatku yang lain, menggambar. aku sudah menghancurkan karirku sebagai penulis. jangan ditanya ceritanya. terlalu panjang dan menyedihkan. sangat menyedihkan. lebih menyedihkan dari cerita penolakan perusahaan-perusahaan itu pada blueprintku. menyedihkan, karena menyangkut kisah yang aku percayai; cinta.
wawancara kerjaku masih jam tiga, dan aku punya dua jam lagi menghabiskan waktu siang ini. cuacanya bagus. tidak terlalu panas, juga tidak terlalu redup. aku memilih duduk di bangku Taman Raddin, menunggu jam wawancara dan menenangkan diri. aku menyukai pemandangan dari taman ini. hampir sama seperti pemandangan dari lobi kamarku yang ada di lantai sembilan apartemen. gedung-gedung ikonik dan penuh sejarah, di bawah awan yang selalu bergerak berarak tanpa kawalan. sesekali aku menggambarnya. memenuhi semua kertas sketsaku di masing-masing lembarnya. meski sudah tujuh tahun kerja menulis sebelum ini, aku tidak lupa kalau aku sarjana arsitek dan bisa menggambar. aku suka pemandangan dari bangku taman ini.
aku masih duduk di bangku ini saat seseorang memanggil namaku, dari belakang. dia menyebut namaku, dan aku menoleh ke arah suara itu. sialan. sedetik aku tidak tau harus bereaksi gimana. aku berpikir cepat. Shelly. itu suara Shelly. wajah yang aku lihat adalah Shelly. teman, partner, pasangan, atau apapun istilahnya untuk menjelaskan Shelly. perempuan yang setahun ini bersamaku. perempuan yang sudah puluhan hari tidak aku jumpai. perempuan yang aku cintai, mungkin, lalu hilang dan kita memisahkan diri seperti tidak ada apa-apa.
akhirnya aku memilih tersenyum untuk membalas sapaannya. aku tersenyum dan pandangan kita masih bertemu sampai delapan detik kemudian. dia bicara, dia bilang tempat ini mulai jadi favoritnya setelah aku pernah mengajaknya ke sini saat masih bersama. hm, bersama. kata yang membingungkan yang pernah aku pilih untuk menjelaskan hubunganku dengannya.
Shelly mendekat ke arah bangku yang aku duduki. dia lalu duduk di sampingku. canggung rasanya. dia tidak bicara. aku pun demikian. kita hanya menatap ke arah yang sama, tapi beda. pemandangan ini menenangkan bagiku. baginya, pemandangan ini hanya menyenangkan. setelah dua menit, akhirnya kita bicara. melakukan obrolan dengan ungkapan-ungkapan. rahasia perasaan yang sebelum ini tidak pernah kita bicarakan. aku mendengarkan semuanya. pahit semuanya. dia bicara dengan pelan, mengungkap semua kejujuran yang dia rasakan selama aku dan dia bersama. bersama, tanpa mengikatnya sebagai hubungan dengan status. tentang alasan dia menyukaiku, alasan kenapa kita tak lagi bersama, tentang dia menikah dengan orang lain, alasan kenapa dia masih berkencan denganku meskipun sudah bersama orang lain, dan tentang keraguannya padaku.
pembicaraan siang ini berakhir. kita berdua diam setelah mengungkap semua yang ingin ditanyakan dan didengar. semua jadi jelas. aku masih mengernyitkan dahi dengan semua isi percakapan ini. aku marah. tapi jauh di lubuk hati, aku puas mendengarnya. pertanyaan-pertanyaan yang belakangan ini mengepung hari-hariku sudah pergi. terkubur oleh akhir pertemuan tak sengaja ini. Shelly pamit. dia meninggalkan bangku ini dengan memegang tanganku. dia ingin memastikan semuanya baik-baik saja. kita berdua tau itu tidak mungkin. tapi aku harus menarik nafas, berharap bahwa semuanya baik-baik saja. karena aku ada wawancara kerja jam tiga ini. aku sudah cukup tenang sekarang, sama seperti siang ini. tidak terlalu panas, juga tidak terlalu redup.
*ngadaptasi film (500) Days of Summer (2009)
Selengkapnya...
Pertarungan Rindu..
Kau masih sering membenarkan kaca mata saat ingin bercerita. memindahkan ragamu lebih maju ke depan sebelum bercerita. memberi jeda sepuluh detik lalu bercerita. Kau bercerita seolah sedang ada mata-mata yang mengintai pembicaraan kita. rahasia dan dalam. Kau memandangiku, mempertemukan matamu dengan mataku, lalu tersenyum. karena Kau tau aku akan membuang pandangan saat mata kita beradu. brengsek.
waktu yang kita punya tak banyak. pertemuan tak disengaja ini bagiku adalah anugerah yang tak bisa dibayar dengan empat belas lembar saham Microsoft sekalipun. kita berdua tau itu. karenanya, Kau selalu menganggukkan kepala setiap kali aku meminta berpindah tempat. obrolan kita tak akan pernah usai. ada banyak paragraf dalam ingatan yang sudah lama aku kumpulkan untuk aku tukar dengan ceritamu. terlalu banyak. berdesakan dengan bayang wajahmu yang menempel di dinding-dindingnya.
sesaat, Kamu ingin begini terus, ingin pertemuan ini bertahan di banyak menit di depan. berandai-andai menghentikan detik, meminta waktu tak berjalan dan aku selalu di sini. aku, tentu aku, juga sama. biarkan malam ini kita hanya berdua. aku dan Kamu. tidak ada siapapun, tidak ada lagi yang lain. biarkan aku dan Kamu saja. jangan ada nama lain.
aku tau Kau sudah dengannya. Kau juga tau aku sedang bersama yang lain. kita berdua tau pertemuan ini kesalahan yang seharusnya tidak ada dalam urutan nasib. tapi hari selalu berakhir dan pagi akan menjemput pagi segera. tidak ada gunanya berpikir dua kali untuk tidak menikmati pertemuan ini. jarak akan menyusul memisahkan aku denganmu, segera.
sesekali Kau bercerita tentangnya, Kau juga mendengarkanku saat bicara tentangnya. aku kenal senyum itu, senyum saat aku bercerita tentangnya. senyum yang sangat menyenangkan saat dulu aku bersamamu. senyum kebahagiaan. aku tau Kau bahagia bersamanya, tapi aku juga melihat bola matamu perlahan membesar saat kita bertatapan. pertemuan yang menyenangkan, tidak ada cemburu, tidak ada sendu. pertemuan ini bukan tentang aku dan Kamu saja, atau ingatan yang kembali, tapi pertarungan sengit rinduku dan rindumu.
*ngadaptasi lagu 'Jangan Ajak-Ajak Dia' Melly Goeslaw (2016)
Selengkapnya...
Temu Setelah Hujan..
petir bergemuruh di ruang tidurmu. Kau panik, karena Kau tau dia gak datang sendiri. dia mengajak hujan deras dan angin kencang setelahnya. sesekali Kau melihat jendela tempatmu berada sekarang. berdiri, mendekatinya, melihat ke luar, kembali ke kasur, duduk, dan mengernyitkan dahi. Kau gelisah, bingung mau ngapain, dan kembali mendekati jendela.
setelah semuanya reda, resah pergi meninggalkanmu sendirian di ruang tidur. Kau buka mata. beranjak dari kasur dan kembali melihat jendela. mendekatinya dan mendengarkan suara ranting yang mengetuk-ngetuk kaca. Kau menutup tirainya, dan membuka lemari. mencari kaos dan jaket untuk dipakai lalu mengambil kunci sepeda motor.
kita bertemu, diantara sahut angin dan sapaan ranting pohon yang berjatuhan. tidak ada rindang, yang ada hanya hembusan angin yang kencang. tidak ada bincang, semua kata terkunci diantara rongga mulut dan terhalang. pandangan kita beradu, tapi isyaratnya tidak satu. pandangan kita beradu, tapi di luar rindu.
*ngadaptasi puisi 'Tengah Malam' Joko Pinurbo (1989)
Selengkapnya...