Beranjak atau Bicara..

Malam yang berat. Dua hari yang sama. Berada di kamar dengan kaos terbungkus jaket. Berkeringat hebat, satu kondisi favorit saat sakit. Tidak, aku hanya ingin menyebutnya dengan kondisi lemah. Kurang berdaya. Kondisi sengaja mematikan kipas angin dan menutup jendela. Kondisi sedang bermusuhan dengan angin, apapun medianya. Kondisi yang pernah aku rasa saat aku candu memikirkanmu.
Aku tidak ingin pagiku bermula begini. Kacau. Beranjak seadanya saat Subuh, dengan tangan gemetar seperti mengidap parkinson. Tampil sembrono di hadapan Tuhan, sedangkan aku menyimpan banyak keluh yang harus dibicarakan padaNya. Beberapa teman datang ke kamar bergantian. Entah kenapa mereka jadi sok tau, jadi memperhatikan setiap gerak yang ingin aku lakukan. Jadi penyayang. Jadi pengasuh tiba". Jadi sok bijak dengan bilang aku sakit dan harus segera dirawat. Hal mengherankan lainnya, dari mana mereka menyimpulkan..? dan jika benar, dari mana mereka tau..?
Padahal Jumat ku baik" saja, meskipun semua orang di NewMedia berkata wajahku pucat, awut"an dan tidak segar. Aku tidak mengabaikan, aku hanya balik bertanya 'Memangnya, di hari lainnya aku bagaimana..?'. Aku berbohong, hal yang sama sering dilakukan Ibu dan Bapak saat sedang sakit. Malamnya, aku berada di kondisi yang sama seperti malam ini.
Hari ini pun aku ingin berpura". Aku mulai bisa melakukannya. Seperti semua orang di sekelilingku. Berpura tertawa untuk menarik perhatian. Berpura pintar untuk menjilat. Berpura tersenyum untuk menyembunyikan kebencian. Berpura bicara untuk menghindari tanya. Berpura" bukan munafik. Hanya candu yang terbiasa. hingga akhirnya berakhir pada kekosongan. Aku biasa melakukannya. Berpura tidak terjadi apa", sampai kemudian emosiku hilang bersamanya.
Saat seperti ini, pikiranku sering meracau. Berkata apapun tak sesuai hati. Berteriak pada bolpen yang seringkali aku pegang. Berbisik pada setiap buku, menanggapi salah satu isinya. Blur, adalah buku yang sering aku ajak ngobrol. Bill Kovach dan Tom Rosentiel, penulisnya, tak pernah tau aku sering mengolok"nya. Aku mengajakanya agar sering ke Indonesia, agar tau bagaimana distorsi informasi masih sering tersaji sebagai berita. Hanya di sini, di negeri antah berantah, katamu.
Saat seperti ini, aku memang tak lagi waras. Tapi berhasil membuat hidupku lebih tenang, membuat bayangmu selalu ada dan menentramkan malamku. Aku takkan tenang, saat sehatku datang. Sehat itu melelahkan, harus mendengar dan melihat seperti biasa. Meskipun tak semua ingin Kau dengar dan lihat. Malah, Kamu yang ingin sekali aku pandang, harus terhalang oleh banyak siluet bayang.
Saat seperti ini, aku ingin berjalan ke luar. Menyusuri malam, sendiri. Berhenti berharap pada manusia lainnya. Mungkin sebentar, mungkin juga lama.
Selengkapnya...

Kembali Pulang; Ironi Siang Itu..

25 Desember 2015
Hujan masih deras mengguyur siang itu. Di kepalaku, berkecamuk banyak diksi untuk aku deskripsikan, untuk aku ceritakan padamu. Tentang hujan yang Kau hindari, tentang tawaku yang tak mungkin Kau lihat, tentang tanya yang tak mungkin Kau jawab iya 'maukah Kau hujan"an bersamaku..?' dan tentang semua bunyi merdu rinai tak beraturan ini. Siang itu aku gila, senyum dan tawa bergantian berebut satu tempat di bibir.
Dari tempatku berdiri, aku melihat petir menyambar di sana-sini. Disusul suara gemuruh guntur yang selalu membuat Ibu khawatir. Setiap kali suara geledek itu datang, Zein adalah objek pertama yang Ibu lihat setelah beristighfar. Dari tempatku berdiri, aku menyembunyikan kecemasanku pada Bapak yang tak kunjung nampak di seberang laut. Bapak bukan orang sakti yang bisa menangkal petir, Bapak juga bukan teman laut, badai dan ombak. Tapi, durasi yang dia jalani selama 20an tahun ini, jadi jaminan buatku menghilangkan cemas. Anak sialan, malah yang aku cemaskan adalah kemungkinan" jawabanmu tentang pertanyaanku.
Dari tempatku berdiri, aku sudah tau jawaban yang akan Kau sampaikan. Kau alergi hujan dan aku manusia gurun norak yang sudah lama merindukan hujan. Salah satu bahagia bagiku, sebenarnya cukup dengan membuatmu tertawa. Tapi sifat dasar manusia-ku datang, tidak puas, ingin lebih dan egois. Aku ingin melihatmu tertawa karena aku tertawa, karena aku hujan"an atau karena kita berdua hujan"an. Aku gelengkan kepala. Jika sampai ajakan itu terlontar dari mulutku, aku tidak akan memaafkan diriku. Karenanya, aku simpan pertanyaan sia" itu.
Dari tempatku berdiri, jarak pandang sangat terbatas pada dua perahu yang sudah bersandar di pantai depanku, objek terdekat. Aku masih berdiri tanpa tau kapan aku beranjak pulang. Sesekali aku menghela nafas panjang, tanda kalau aku terlalu lama berpikir. Bagaimana tidak, aku berhadapan dengan teka teki dunia bernama hati. Apalagi hati yang satu ini tertanam pada fisik seorang perempuan. Tambah rumitlah urusan. Jika ada stetoskop khusus untuk mendengar percakapan antara hati dan isi kepalamu, aku adalah orang pertama yang membelinya. Tapi jangankan mendengar organ tersembunyimu, melihat ragamu saja aku enggan, penyakit bertemu perempuan.
Dari tempatku berdiri, aku merasa samar" aliran air hujan sudah masuk sampai ke semua organ intimku. Sesekali aku mendekapkan tangan, ironi yang lazim aku lakukan. Hujan"an, berusaha menghangatkan tubuh. Mencintai hujan, tapi menempatkan payung saat keluar kantor untuk makan. Merindukanmu, tapi tak ingin bertemu. Tak ingin menyapa. Tak ingin terlihat olehmu. Alasanku banyak, tapi semuanya masuk akal, menurutku. Mungkin suatu saat, aku harus ke dukun. Konsultasi tentang penyakit 'alergi perempuan' ku.
Dari tempatku berdiri, aku masih bertanya satu hal yang belum Kau jawab. Apakah Kau juga merindukanku..?!
Selengkapnya...

Kembali Pulang..

5 Desember 2015
Doaku terkabul. Hujan turun deras saat aku pulang ke rumah. Jarang terjadi, karena tanah Madura yang panas seringkali hanya dikepung gerimis, meski berulang kali. Tapi tidak siang ini. Sejak pagi, mendung membungkam cahaya matahari, menepikannya entah ke mana. Sebelum hujan turun, gelegar guntur dan kilat petir jelas didengar dan nampak terlihat. Mengerikan. Tidak bagiku.
Siang itu, Ibu meminta Zein, adik bungsuku yang masih kelas 1 SD mematikan TV dan mencopot semua kabel yang terhubung. Zein yang juga takut setiap kali petir terlihat, menuruti permintaan Ibu dan bersembunyi di samping pintu kamarku. Dia mendekat dan memelukku saat petir kembali datang dengan cahaya memanjang dan bercabang, terlihat di sela2 pintu rumah yang tak tertutup purna. Dari arah dapur, Ibu berdiri memandangi langit melalui jendela.
'Deras ya, siapa yang bantu Bapakmu..?', gumam Ibu. Aku bergegas ganti celana pendek, kaos dan membuka pintu.
'Biar saya aja Bu', aku tersenyum ke arah Ibu. Ibu menghela nafas. Mungkin Ibu tau kalau sebenarnya aku ingin hujan"an.
'Hati" ya. Buruan, jangan sampe Zein liat, ntar dia ikut', Ibu mengatakan itu dengan mimik seolah ingin mengusirku. Aku berjalan santai menikmati derasnya hujan ke pantai, sekitar 21 meter di belakang rumah. Hahahahaha, sambil jalan, aku mengingat kapan terakhir aku melakukan ini, hujan"an tanpa peduli kesehatan. Hujan semakin deras saat aku berhasil mengingatnya. Sesampainya di lencak yang ada di pantai, aku memicingkan mata dari balik kacamata yang aku kenakan. Aku budi, buta dikit, dengan kondisi cuaca seperti ini, mengandalkan kacamata saja tak cukup.
Kekhawatiran Ibu bukan tanpa sebab. Saat hujan deras seperti ini, laut bisa sangat mematikan. Gelombangnya sangat labil, ditambah angin kencang yang berhembus seolah ingin menikam semua usahamu untuk selamat. Aku berdiri mematung, baju dan celana pendek yang aku kenakan sudah basah kuyup sejak awal keluar rumah. Satu persatu aku melihat perahu datang dari arah utara, berlabuh. Tapi tidak ada tanda" parahu itu milik Bapak. Sebelas. Iya, sebelas kapal. Aku menghitungnya.
'Kak', aku masih memicingkan mata dengan kecamata masih basah. AKu tak bisa mengelapnya. Percuma kurasa. Sesekali menundukkan kepala dan berpikir. Bodoh, terlalu berlebihan. Bapak sudah melakukan profesi ini sejak aku balita, sudah sekitar 20an tahun. Hujan dan angin kencang seperti ini saja tak akan memadamkan usahanya pulang ke rumah. Bapak sudah melewati banyak badai yang mungkin dia sembunyikan dari kami.
'Kak, masih lama', aku menoleh ke depan, ke arah suara yang aku dengar barusan.
'Eh Rul, apanya..?', tanyaku padanya saat dia ambil tanganku menyalami. Khoirul adalah teman sepermainan Zainal, adik keduaku. Dia sangat dekat dengan keluarga kami. Dia juga yang seringkali membantu Bapak mengangkut semua hasil ikan yang didapat Bapak, ke rumah.
'Bapak masih lama datang. Mungkin setengah jam dari sekarang. Pulanglah, biar aku yang menunggunya, seperti biasa. Saat Kakak selesai mandi, paling Bapak udah datang', pintanya padaku. Dia mendorongku untuk pulang. Dia mendorong dalam arti yang sebenarnya, secara fisik. Kami berdua masih hujan"an. AKu melihat ke arahnya, dia menggerakkan kepala dan bibirnya seolah ingin aku pergi dari tempat ini. Kebetulan hujan sudah mulai melambat turun dari sebelumnya.
'OKe, minta tolong ya Rul', kataku padanya.
'Jangan khawatir, ini sudah aku lakukan sejak kalian semua gak ada di rumah', maksud Khoirul adalah kami bertiga; Saya, Zainal dan Nurul yang satu persatu meninggalkan Seppolo dan melanjutkan studi. Aku meninggalkan pantai dengan jalan mundur, sambil tetap mengarahkan pandanganku berharap Bapak datang sebelum aku pulang.
AKu ingin bertahan lebih lama di sana, tapi hujan sudah mereda. Aku harus memenuhi janji dengan seorang teman datang ke tempat usaha barunya berupa warung kopi dan angkringan. Baru dibuka 2 pekan. Dia ingin aku berkunjung dan melakukan review serta riset kecil"an untuk pengembangan. Tentu bukan secara hitung"an ekonomi bisnis, hanya menelaah minum dan makanan yang dia sajikan serta beberapa analisa psikologi konsumen. Haduuuhh, ada" aja ni anak. Aku ini siapa coba.
'Belum thonduk ya Mim..?', tanya Ibu saat melihat sosokku di depan rumah.
'Belum Bu, Khoirul yang mau jemput',
'Ooh, dia udah di sana. Yaudah mandi sana', kata Ibu yakin. Aku melihat wajah Ibu. Aku tersenyum, lalu tertawa dalam hati. Aku lupa, keluarga besar ini sejak dulu dibangun oleh banyak kepala dan tangan. Dibangun oleh banyak kesedihan yang terbagi tanpa diminta dan dengan rangkulan hangat banyak dekap tanpa menawarkan. Semuanya berlandaskan kepercayaan. dan perlahan terwarisi dengan sendirinya, tanpa diajari pada generasi selanjutnya, karena semuanya terlihat nyata dengan sikap. Perlahan juga, menular pada orang lain di sekitar kami. Khoirul misalnya.
Berada di luar sana, mungkin sudah membuatku terlalu naif. Setiap hari, sesekali aku menulis kasus" yang tidak mengenakkan, seringkali melibatkan pengkhianatan. Intrik, politik, kebohongan, dusta, prasangka dan under estimate sering jadi dasar berita yang aku tulis tiap harinya, atau kadang sering aku dengar. Aku lupa, hari ini aku berlibur. Aku harus menempatkan diriku pada situasi di tanah yang aku injak. Kebetulan, libur kali ini adalah pulang ke rumah. dan dalam rumah ini, ada keluarga yang sudah mengajariku banyak hal, sebelum aku duduk di kursi kecil sekolah TK dulu.
Selengkapnya...

Tanyakan Pertanyaan Itu, Bu..

Bu, berlebihankah jika aku akan pulang hanya untuk melihatmu..? Obrolan kita petang tadi benar" membuatku gusar. Bahkan saat tulisan ini dibuat, aku tak berhenti bertanya, apa yang ada di benak Ibu tentangku..? Ibu hanya menanyakan kabarku, hal yang aku takutkan.
Dulu, saat di pesantren dan selama kuliah, Ibu menanyakan dua hal sebelum kabarku. Hafalan Qur'an dan shalat-ku. Sampai dua setengah tahun terakhir ini pun, Ibu masih melakukan hal yang sama. Tapi tidak untuk sebulan belakangan. Ibu hanya menanyakan kabarku, kesehatan dan aktifitas malam yang aku lakukan. Bu, beginikah kita..? Kau menyembunyikan sesuatu dariku dan aku harus bertanya" sampai sebulan ini.
Dulu, Ibu selalu bergumam lirih bahkan sedih saat aku mengelak dari semua pertanyaan tentang ibadahku. Apa karena itu, Ibu kini tak menanyakan hal itu lagi..? Bu, jangan bikin aku gusar. Apakah Ibu sudah tak lagi percaya pada kebutuhanku pada Tuhan..? Atau, Ibu mentorelir semua yang aku lakukan di sini, dengan semua kegiatan kampret ini..? Ibu tidak ingin aku terganggu dengan pertanyaan" itu..? Bu, jika bukan Ibu, siapa lagi yang mengingatkan hubungan vertikalku pada Tuhan..? dan Ibu, tidak menjawab saat aku bertanya pertanyaan ini beberapa hari lalu.
Bu, aku kira tidak berlebihan jika besok aku pulang hanya untuk menemui Ibu. Meminta jawaban tentang kegusaran ini. Memandangimu lama, sekuat leherku menengadah dari tempatku mencium tanganmu ke wajah teduhmu. Bu, pekan ini hujan masih diperkirakan turun deras di Jawa Timur. Masih bisa kan aku hujan"an sementara Ibu tersenyum seolah melihat pria kesetanan menemukan mainannya..? Jangan lagi Ibu tunjukan wajah cemberut dan berakhir dengan omelan karena takut aku sakit. Aku sudah lama latihan untuk mempersiapkan datangnya hujan kali ini. Sama seperti setiap hari aku mempersiapkan diri melihat dia karena terlalu gugup.
Bu, mungkin besok tak aku temukan jawaban dari pertanyaanku. Tak apa. Aku hanya ingin Ibu tau, soal aktiftasku pada Tuhan, aku masih yang dulu. Mungkin pertanyaanmu sudah berkurang di setiap kali komunikasi kita, tapi tidak ada yang berkurang, antara cintaku padamu, atau doaku untukmu dan semua langkah ini, tentu untuk melihat senyummu mengembang ikhlas..
Selengkapnya...

Semalam, Hujan

Sepagian ini aku menyembunyikan sesuatu. Tapi tak bisa lagi aku teduhkan. Aku baru saja mengalami malam yang aku harapkan. Semalam, hujan, untuk pertama kalinya turun di Pakis dan sekitarnya. Sudah dua kali hujan turun sebelumnya di Surabaya, tapi tidak di selatan. Aku benar” merasakan sengatan tawa dalam hati yang tak bisa diungkap. Mungkin tepatnya tak bisa kaluar, malu, karena ada perempuan di belakang tempatku duduk. Aku membiarkan rintiknya mengguyur pakaianku, hingga masuk membasahi sebagian tubuh dan ubun” kepalaku.
Semalam, hujan datang tak bilang. Dia hanya memberi tanda melalui mendung yang kali ini tinggal lebih lama di langit. Sudah dua kali langit Surabaya mendung, tapi aku hanya mendengar cerita bahwa di daerah ini sedang hujan, dan daerah lainnya deras. Tidak dengan Pakis. Mungkin aku terlalu serius merespon, terlena dengan hape yang tak kunjung aku ketahui cara memperbaikinya. Jadinya, tak ada persiapan merayakannya. Menyambut hujan yang sudah lama dirindukan.
Semalam, aroma khas tanah yang diguyur hujan menyengat di penciumanku dan hidung Laras. Kami tak menduga rintik hujan yang turun dengan ragu, datang bersama milyaran lainnya. Aku mempercepat laju kendaraan dan sesekali berbisik sendiri. Aku bahkan tak mendengar dengan jelas apa yang sedang Laras ceritakan padaku tentang kisah asmaranya bersama Shandy. Aku hanya menyimaknya secara perlahan dia tertawa dan sesekali memanggil namaku, entah buat apa. Ternyata hujan semakin deras turun, dan semakin lemah pendengaranku pada suara Laras. Meskipun antara telingaku dan mulutnya hanya berjarak 7cm. Aku semakin meracau tak jelas, hingga Laras mendengar apa yang sedang aku bisikkan.
‘Kalau gitu, kenapa Kamu percepat..?!’, tanya Laras padaku.
‘Hah..?!’, aku bingung, kenapa dia bertanya begitu.
‘Daritadi Kamu bilang ‘aku ingin ngerasain hujan’. Yaudah pelan” aja’,
‘Hah..? Aku bilang gitu..?’,
‘Iya, daritadi’,
‘Kamu gapapa..? Hujan lho. Basah..’,
‘Gapapa. Justru Kamu gmana..? Blum pulang seharian di kantor, malah hujan”an pas keluar’,
‘Hahahahaa, gak ada yang lebih aku harapkan dari ini, Yas’, aku memelankan laju roda dan melewati rute terlama sampai ke kantor. Sial, hujan semakin deras. Hal yang aku bingungkan. Harusnya aku sedang sendirian. Aku tak ingin orang lain hujan”an karena mengiyakan kegilaanku. Aku percepat, lalu berhenti di outlet cemilan yang Laras inginkan sebelum sampai kantor. Aku bertahan di luar, menyapa hujan. Hahahaha, alay. Aku benar” tak bisa menahan rindu ini. Aku bahkan beberapa kali muntah, kondisi saat aku sangat senang dan antusias.
Semalam, aku bertanya pada hujan. Kenapa Kau datang begitu lama..? Aku, dan banyak orang lain menginginkanmu turun, sejak lama. Aku tau, mungkin Kau datang menyapa pada yang lebih membutuhkan. Kau datang dengan cepat di Sumatera dan Kalimantan, jauh sebelum November dimulai. Lalu perlahan Kau bergerak, ke Jawa dan sekitarnya, pulau busuk, munafik dan yang dipenuhi manusia berdosa sepertiku.
Semalam, aku hanya tak berhenti tersenyum seolah kesurupan. Seolah aku mendengar apa yang ingin Kau katakan. Kami turun, itulah cara kami menang dan mati. Membuat manusia senang seakan kami adalah berkah bagi mereka, kami merasa menang. Mengaliri sawah” kalian dan menghentikan kekeringan di beberapa tempatmu. Tapi dengan cara yang sama, kami mati. Membuat manusia resah seakan kami adalah bencana. Mendiami beberapa tempat rendahmu terlalu banyak hingga kalian tak lagi bisa menampung kami. Dan, saat musimnya tiba, kami datang tak hanya sekali. Masihkah Kau mengharapkan kami datang, manusia..? Dahiku mengernyit mencari jawaban paling baik. Tidak, bisa jadi iya dan akan tidak lagi pada suatu waktu.
Semalam, pendengaranku terganggu. Aku semakin tak mendengar jelas panggilan Laras yang sudah mendapat cemilan yang dia inginkan, untuk kembali ke kantor. Hujan masih deras mengguyur. Aku ragu hujan bertahan lama, seperti raguku apa bajuku akan kering cepat..? Atau aku harus membiarkan baju dan celanaku basah seperti ini masuk ke ruang New Media, ruang dengan dua AC dingin yang hanya akan meneruskan potensi penyakit masuk. Aku ragu aku peduli. Karena aku sudah tau konsekuensinya.
Karena semalam, pagiku tak lagi datar. Karena semalam, aku kembali akur dengan netbook tuaku. Karena semalam, aku jadi bertanya, apa Kau juga sedang bahagia..? Semoga iya.
Selengkapnya...

Not In Mood..

Hari ini pagiku datar. Tidak ada senyum, tanpa dahaga, tidak lapar dan terasa hambar. Tatapanku hanya mengarah pada kaca besar di samping meja redaksi yang aku tempati. Langit masih redup dan matahari tak begitu berani keluar dengan terang. Tampak jelas, cahayanya kabur karena terhalang kabut. Entah, semacam ada yang salah dengan bangunku. Padahal tak ada mimpi semalam. Tidurku nyenyak, tidak ada Kamu di dalamnya, tidak seperti hari" sebelumnya.
Hari ini aku ingin berpura" saja. Berpura tersenyum seperti biasanya. Bukan hobiku menyenangkan orang lain. Aku lebih suka bermanfaat bagi orang lain. Mungkin saja tersenyum di depan orang bisa menular. Aku ingin berpura lapar, lalu mencari camilan di bawah agar pandanganku beragam. Tapi aku tak ingin berpura haus. Dudukku yang lama di depan layar komputer akan membahayakan jika tak dibarengi dengan minum yang cukup. Sudah jadi rutinitasku mencari kardus dengan banyak gelas mineral di dalamnya, ngambil dan membawanya ke ruang New Media.
Hari ini aku hanya sedang tak semangat. Selain bernafas dan mengetik berita, aktifitasku hari ini hanya terbatas pada ngunyah, minum, sesekali meniup panas hawa kopi yang aku seruput. Jangan tanya kenapa, aku juga tak tau. Bukan juga karena kekalahan Rossi semalam. Aku tidak begitu peduli. Kalah menang, Rossi tetaplah Rossi, rider idolaku. Sama seperti merindukanmu, tak butuh alasan aku menyukai dan nge-fans Rossi sejak SD dulu. Entah dekat atau jauh secara fisik, aku juga tak tau kenapa tetap merindukanmu. Merindukan obrolan tak penting kita. Merindukan tawa lebar yang kadang tak bisa Kau tahan. Mungkin saya satu"nya pria yang merindu dengan cara seperti ini. Bodoh.
Hari ini aku hanya ingin bercerita melalui teks, untuk mengusir kebosanan. Beberapa pesan masuk hampir aku abaikan. Beberapa diantaranya ngajak nonton Spectre, beberapa yang lain bertanya kapan jam kosong hari ini. Aku membalas yang bertanya, dan merespon yang membutuhkan penjelasan. Lalu kembali menopang sikut di meja dengan tangan terkepal depan wajah. Entah apa yang aku lihat, layar komputer di depanku juga tak begitu menarik untuk dilihat. Memejamkan mata pun sulit, karena aku sudah menekan kantuk sejak semalam. Kemudian mataku beralih pada gelas" plastik kosong dan cangkir berisi kopi di depanku. Aku masih bertanya dalam hening, tempat yang sering aku singgahi saat ruang dengarku mulai penuh dengan omong kosong. 'Apa aku terlalu naif..? Berpikir bahwa ada manusia yang benar" lugu..?'.
Hari ini akhirnya aku memutuskan sesuatu. Aku ingin bepergian ke tempat lain. Tempat yang Sapardi akan ceritakan dalam novelnya 'Hujan di Bulan Juni'. Mungkin akan aku baca saat benar" tak lagi ada yang bisa aku lakukan untuk Androidku yang sedang hank. Atau aku memaksa, membacanya dan membusuk di kamar yang terakhir aku lihat sedang berantakan. Atau aku menyerah, memilih tempat bagus buat menghabiskan tiap lembar novel yang diadaptasi dari kumpulan puisi itu. Asal ada secangkir kopi, gairahku hidup. Untuk meneruskan niat membacanya atau hanya duduk mencorat coret kertas menuliskan namamu.
Selengkapnya...

Izinkan Aku, Hujan..

Aku ingin menceritakan ini sepekan lalu, saat aku antusias melihat hujan, yang aku rindukan.
Pagi ini Surabaya lebih gelap dari biasanya. Mendung samar” mengitari langit Surabaya dan sekitarnya. Awan berwarna abu” itu tampak sedang gelisah membuat keputusan. Dilema; menghentikan kemarau berkepanjangan, atau hanya memberi harapan. Aku memandangi dengan dahi mengernyit dan tangan terkepal di depan wajah. Dari meja redaksi yang aku tempati, tampak jelas ini bukan kabut seperti yang diceritakan BMKG beberapa hari sebelumnya, yang juga terjadi di langit Bandung.
Jauh sebelum pagi ini, BMKG memberi banyak prediksi, hal yang hanya bisa dilakukan manusia atas kehendak Tuhan. Kemarau tahun ini lebih panjang dan musim penghujan akan datang terlambat. Kekeringan akan usai di akhir Oktober dan hujan turun membasahi negara kagetan ini di awal November. Aku menunggu dan tak berhenti berdoa. Di luar hubungan horizontal dengan manusia, hujan adalah hal pertama yang aku rindukan. Tapi kini, menjadi satu”nya. Karena semua orang butuh hujan. Bukan hanya untuk mengakhiri kekeringan, tapi juga menyudahi derita korban bencana asap di sana, di Sumatera dan Kalimantan.

Aku ingin menceritakan ini sepekan lalu, saat aku antusias melihat hujan, yang tak akan aku lewatkan.
Sampai dua hari yang lalu pun, pagi di Surabaya tetap begitu. Sejuk dan agak gelap. Kemudian datang siang, mengandaskan harap dalam sekejap. Panas, bahkan suhunya pernah mencapai 41 derajat celcius. Semua mengeluh, jalanan penuh karena kota ini tak pernah menawarkan jeda secara utuh. Bahkan di luar sana, warga masih diributkan soal persiapan Pilwali 9 Desember nanti dan animo unjuk rasa yang berangsur naik tiap harinya. Aku hanya mendengar, sesekali menauliskannya untuk disebar sebagai berita.
Beberapa teman bertanya, kenapa Surabaya sepanas ini. Sebagian lainnya hanya berujar mengeluh lewat layanan pesan singkat ke hapeku. Aku tak langsung menjawab, sebagian aku biarkan begitu. Keluhan hanya keluhan, ketidakpuasan pada yang didapat. Beda cerita jika keluhan ditujukan pada apa yang orang lain dapat. Aku hanya menjawab datar, sesekali sok menenangkan bahwa cuaca ini adalah pertanda hujan akan segera tiba. Di luar hubungan vertikal dengan Tuhan, hujan adalah hal pertama yang aku butuhkan. Tapi kini, menjadi satu”nya. Karena kata banyak orang, di Surabaya, hanya hujan yang memicu senyum dan tawa asliku. Aku juga tidak terlalu mengerti apa yang mereka maksud.

Aku ingin menceritakan ini sepekan lalu, saat aku antusias melihat hujan, fenomena alam yang sangat aku cintai.
Pagi di Surabaya hari ini beda. Karena semalam hujan turun untuk pertama kalinya nyaris merata di Surabaya. Gerimis, sebagian daerah malah deras sampai bau tanah tercium jelas. Aku tak berhenti tersenyum merasakannya. Mencium aroma khas tanah yang diguyur hujan. Ingin sekali beranjak dari meja redaksi malam itu. Sayangnya, di Surabaya selatan, di tempatku berada, hujan masih tertahan. Banyak yang mengeluhkannya. Bahkan tak sedikit warga yang sengaja pergi ke tempat yang hujannya deras mengguyur.
Pagi ini keluhan datang tak hanya soal hujan. Inbox hapeku penuh dengan pesan singat dan chat dari teman” di Malang. Mereka bertanya tentang keberadaanku selanjutnya setelah mengakhiri studi S1 di Malang. ‘Masihkah Malang menjadi kota yang kerap akan Kau singgahi..?’ ‘Masihkah Kau akan sering menemui kami di sini..?’ ‘Masihkah kita akan berbagi gagasan, gelas, tawa dan semua keributan bersama..?’. Kalian lebbay. Aku tinggal di Malang tak hanya satu atau dua hari. Aku merepotkan kalian tak hanya satu atau dua kali. Aku duduk dan bersila tak hanya di satu atau dua tempat di sana. Bahkan, di 2,5 tahun aku berdomisili di Surabaya pun, kalian dan Malang masih jadi penyebab tawaku muncul.
Justru, aku yang mulai khawatir. Aku takut. Aku cemas tak bisa sesering dulu menginjakkan kaki di sana. Khawatir tak banyak rintik hujan yang aku lalui bersama kalian di sana. Meskipun sakit kadang datang sebagai konsekuensi. Siapa peduli. Tapi pagi ini, aku ingin mengembalikan inspirasiku yang sudah lama mengering karena kemarau. Aku merindukan hujan. Aku menginginkannya. Aku membutuhkannya, sama seperti aku membutuhkan canda kalian untuk tertawa. Izinkan aku sejenak lebih lama berada di kota ini untuk menanti, hmmm, tidak, izinkan aku menikmati hujan pertamaku di sini. Izinkan aku datang pada kalian dengan senyum asliku setelah melalui hujan pertamaku di sini. Lalu, aku akan menceritakannya pada kalian. Seperti yang aku katakan di meja makan malam itu, ‘izinkan aku bermanfaat bagi kalian’.
Selengkapnya...