Aku tidak pernah tau secara detil kapan aku dilahirkan. Aku juga tidak tau secara kronologis bagaimana aku dilahirkan. Dilahirkan untuk merasakan udara. Dilahirkan untuk melihat dunia yang semakin busuk ini. Dilahirkan untuk mendengarkan adzan yang dilantunkan seorang pria yang kita sebut ayah. Dilahirkan untuk dicintai sekumpulan manusia lainnya yang kita sebut dengan bangga dengan sebutan keluarga. Dilahirkan untuk tinggal di RUMAH KITA. Mungkin itu juga yang terjadi pada kalian. Kalian yang menjadi teman hidup sampai kita mati nanti. Teman yang selalu dengan lantang aku teriakkan dengan pengakuan sebagai saudara.
Aku tidak tau secara detil kehidupan masa kecilku. Aku juga tidak tau secara deskriptif bagaimana aku tumbuh menghabiskan masa kecilku. Masa kecil yang saat kita ingat ternyata terlalu cepat berlalu. Masa kecil yang kadang sangat ingin kita ulang. Masa kecil yang akrab dengan tangis, tawa, tengkar, teriak, mainan, tangis dan tentu saja kenakalan. Masa kecil yang dokumentasi berupa foto”nya sudah hilang di laut utara rumah. Masa kecil yang membuat semua keluarga berkumpul untuk bermain. Masa kecil yang membuat RUMAH KITA selalu ramai dengan anak kecil lainnya karena hubungan kerabat, sodara ataupun tetangga dekat. Masa” yang selalu membuat kita cemburu satu sama lainnya. Itulah kita. Hahahahahahaa.. Lucu jika diingat.. Kita tak pernah benar” tau sampai seseorang menceritakan pada kita. Entah ibu, ayah ataupun nenek. Pernah juga beberapa kerabat dekat kita menceritakannya sewaktu kita kecil. Sebagian adalah tetangga dekat yang jauh lebih sedikit dibandingkan dulu, sebagian lagi adalah sodara” kita yang berjauhan rumah. Mereka tentu menceritakan semua hal yang hampir mirip dan selalu kita dengar dari nenek dan orang tua kita. Semuanya hampir mirip. Ya, hampir mirip. Bahkan ada yang sama persis karena hanya mengulang cerita orang rumah kita. Tapi yang jelas, selain Tuhan, ada ‘yang lainnya’ yang menyaksikan kehidupan dari usia kita sehari sampai kita tumbuh berkembang hingga sekarang: RUMAH KITA. Ya, RUMAH KITA. RUMAH KITA yang baru sekitar 15 tahun lalu baru kita kasi nama Jalan Pasar Lama Barat No.39 Lebak Barat Desa Sepulu.
Rumah itu menyimpan banyak kenangan. Hampir empat generasi telah dan pernah hidup di bangunan yang awal dibangun masih bercat putih itu. Bahkan tidak hanya untuk kita yang tinggal di sana, tapi beberapa yang mengenal kita rumah itu menyajikan banyak cerita. Kalian mungkin tidak mengingat sepenuhnya, tapi orang sebelum kita atau setidaknya orang tua kita, pasti dengan baik mengingat setiap kejadian yang mengesankan di sana. Sudah 31, 28, 26, 23 dan 22 tahun rumah ini menemani, menyaksikan dan memotret kita tumbuh hingga usia kita sekarang. Tidak semuanya, tapi tetap saja rumah ini semacam induk dari rumah” lain yang menaungi kita.
Beberapa bulan lalu, seorang anak lahir dari rahim pasangan salah seorang diantara kita; Ilyan. Lahir dari seorang perempuan dengan paras cantik dan manis yang dinikahi saudara tertua kita Abdul Aziz; Rofida. Itu artinya, rumah ini sudah menemani gerak kehidupan empat generasi. Sekaligus, kurang lebih seminggu lalu menjadi saksi pernikahan kedua dari generasi ketiga ini; Azizun Hakim. Sayang sekali pernikahan Siti Azizah, Rahmat Septian Reza dan M. Hamim Arifin tidak lagi sempat bertempat di rumah yang dibongkar sehari setelah resepsi pernikahan minggu lalu. Memang rumah itu sudah roboh dan hancur menyisakan puing”. Hanya saja, ingatannya tetap bersemayam di setiap rekam otak manusia yang pernah menginjakkan kakinya di sana.
Selengkapnya...
Rumah Kita..
Hanya untuk Membunuh Kebosanan
Malam ini kegelisahan hampir membunuh setiap jengkal semangat yang masih tersisa di tubuhku. Ini tidak sama dengan malam” sebelumnya. Panasnya kamar yang aku juga tak tau apa sebabnya semakin membuat temperature semangat itu panas dan menguap. Sudah beberapa waktu belakangan ini malamku tak kunjung baik. Selalu ada kepentingan yang manusia lain titipkan padaku sehingga menjelma menjadi kegetiran. Entah apa rencana Tuhan, yang jelas aku selalu memiliki kepercayaan padaNya dan setiap detik anugerahNya. Kadang ini menjadi resiko dan konsekuensi, tapi penolakan tak bisa dilakukan.
Malam ini memang terlalu dini untuk memberikan cap ‘membosankan’. Hanya saja dengan semua tak menariknya setiap aktifitas yang aku dapati, setidaknya cukup menggambarkan wajahku mengutuk malam ini. Mulai dari semua media sosial yang aku jamah meneriakkan ‘Hala Madrid’ dan ‘DPR Vs Dahlan Iskan’ hingga jenuhnya ambisi karena terbentur berkali” pada penguasa dunia: duit.
Malam ini sebenarnya lebih beradab dari siang hari tadi. Semua kebisingan yang terjadi tadi siang mulai merada bahkan padam. Hanya saja kemunculanmu tanpa senyum yang biasa Kau tampakkan tetap tak begitu ampuh memejamkan kedua mata ini. Jam digital di laptopku menunjukkan angka 02:02. Sudah sangat larut untuk menghabiskan hanya untuk menulis. Lagu ‘Demi Cinta’ milik pasangan fenomenal Anang & Ahsanty pun tak cukup membantu meramaikan keenggananku menyapa untuk membunuh sepi.
Malam ini terasa menyesakkan saat aku pandangi beberapa blok tumpukan buku. Tugas akhir yang terbengkalai. Tugas akhir yang terpinggirkan untuk urusan ambisi dan cita”. Hanya saja, setiap manusia selalu memiliki cara untuk mengembalikan semangat yang hampir hilang tadi. Karena tuntutan Stefan Melnik untuk selalu percaya pada kecerdasan akal manusia lainnya mengantarkan kita meraih kebebasan berekspresi yang positif, kreatif dan bertanggungjawab.
Selengkapnya...
Untuk Permintaanmu..
Siang ini begitu melelahkan dan panas. Langkah” kecilku tak bisa menemukan kesejukan yang nyata untuk menangkap peluh yang hinggap. Kamarku pun juga merasakan penderitaan alam siang ini. Debu begitu senang berkeliaran untuk memberikan kesan kotor kamarku. Entah dari mana masuknya, yang jelas bukan dari sikap” kekecewaan beberapa anggota DPR pada Dahlan Iskan.
Siang ini kamarku begitu gelap. Aku pun meraba” untuk menuliskan tulisan ini, ditambah sedikit kebiasaan jemariku menari di keyboard laptop. Tak aku biarkan cahay masuk dari kamar jendela. Selain memberikan kesan serius, hal ini juga dikarenakan tetangga kos ini sedang mengadakan hajatan yang sangat berisik. Kebisingan ini semakin menguatkan keinginanku menuliskan beberapa paragraf untuk Kau baca jika Kau peka.
Siang ini menjadi awal keheningan kita. Bagaimana bisa Kau, yang sudah terlanjur menyesakkan duniaku dengan wajahmu di mana”, meminta untuk menghilang. Permintaan dan keputusanmu benar” tak bisa diterima. Hanya saja, ini adalah permintaanmu. Entah membuatmu senang ataupun tidak, tapi ini adalah permintaanmu. Mungkin saja nanti Kau akan merasa lebih nyaman tanpa gangguan panggilan inisial. Atau Kau akan lebih nikmat menjalani aktifitas internasionalmu dengan sempurna. Tapi tetap saja ini sulit bagiku.
Siang ini sangat berisik. Bukan hanya karena tetangga kos ini yang berisik, menyanyikan lagu” dangdut dengan sound yang sangat keras. Bukan hanya itu saja. Tapi permintaanmu tadi memicu kebisingan yang berasal dari suara” dalam diriku. Mereka berontak untuk tidak memenuhi keinginanmu. Keinginan yang juga Kau tak tau kenapa meminta itu. Mungkin ini hanya sebentar terjadi. Tapi jika Kau nyaman dengan kondisi ini, keheningan kita ini akan sangat lama. Sampai aku mendatangimu. Menghampiri setiap jengkal dirimu. Mendekatimu dengan langkah” rindu yang tak mungkin aku atau Kau bendung.
Siang ini aku menyadari sesuatu bahwa prosa Dewi Lestari berjudul ‘spasi’ sangat menyiksa saat kita jalani. Walaupun spasi sangat dibutuhkan untuk kembali kuat.
Selengkapnya...
Bertemu Denganmu..
Sudah satu bulan ini aku melihat wajahmu. Menatap bola mata yang menampakkan keingintahuan begitu besar. Bola mata yang tidak terlalu bagus untuk perempuan dengan standart cantik kebanyakan, tapi bola mata itu berhasil memenjara penilaian itu. Kacamata minus yang Kau gunakan mungkin akan memberikan kesan cerdas bagi setiap orang yang melihatnya, tapi bagiku Kau tak lebih dari sekedar terbelenggu dengan image itu. Karena aku tau Kau memiliki pesona lebih dari yang tampak.
Sudah satu bulan ini aku mendengar suara paraumu. Mendengar suaramu terasa sedikit menakutkan. Suara yang benar” menunjukkan desire pada setiap informasi pengetahuan. Walaupun diam” suara itu menularkan semangat yang sangat luar biasa padaku. Aku menikmati suara paraumu. Suara yang walaupun memekakkan telinga tapi mengalir lembut di ujung nadi. Rasanya aku ingin mendengarnya lebih dekat. Lebih dekat dari yang Kau bayangkan. Lebih dekat. Lebih dekat dari jarak kita seperti sekarang ini.
Sudah satu bulan ini aku bertemu denganmu, tapi baru hari ini aku menemukanmu. Terus terang, aku selalu bertanya pada diri sendiri apakah Kau dapat melihatku. Melihatku dengan cara aku melihatmu. Melihatku tanpa melihat kekakuan malam yang membekukan jarak tempat duduk kita. Melihatku dengan santai. Melihatku dengan biasa. Melihatku dengan sungguh. Melihatku dengan sangat nyaman.
“Hai, boleh aku duduk di sini..?”, suaramu mengantarkan langkah kakimu semakin dekat dengan kursi yang aku tempati.
“Boleh, kenapa gak..?”, jawabku sekenanya.
“Sepertinya aku sudah satu bulan ini melihatmu berada di kelas Bu Indah. Tapi aku tidak mengenalmu sebelumnya”, pertanyaan ini mengagetkanku. Apa dia juga memperhatikanku.
“Aku baru pindah kelas. Kelas Pak Rozak garing. Kau tau lah. Dia sudah terlalu tua menjelaskan mata kuliah ini”, jawabanku tanpa melihat ke arahnya.
“Oh”, tanggapnya.
“Gitu doang. Gak seru amat”, ujarku dengan tawa.
“Hahahahaa. Kamu asik juga ya. Kirain kamu psikopat. Soalnya Kamu diam mulu sih sepanjang kelas berlangsung”, tawanya yang lepas membuatku tak sengaja melihat matanya sekilas. Sesaat kemudian kau bangun dari tempat dudukmu dan beranjak pergi setelah kau bilang “Senang berkenalan denganmu”, uacapmu dengan senyum.
Aku tidak pernah mengenalmu sebelum satu bulan ini berlangsung. Tapi obrolan tadi tidak hanya membalas curi pandangku selama satu bulan ini, tapi juga berhasil mengantarkanku menemukanmu.
Selengkapnya...
Menemukanmu..
Aku tak pernah berhasil menemukanmu dalam tidurku. Apa karena bantal dan guling ini terlalu sesak dengan beban skripsi yang merendahkan bahuku beberapa senti belakangan ini..? Aku tak paham itu. Tapi yang aku tau, Kau tak pernah hadir dalam mimpiku. Atau Kau enggan untuk sekedar mampir menyapa..? Entahlah. Biarkan ini menjadi keresahan yang akan aku cari tau penyebabnya. Saat ini pandanganku semakin bersih. Bukan karena kacamata yang baru saja Kau hadiahkan untukku. Bukan juga karena tumpukan buku di samping notebook-ku yang memanjakan penglihatan ini. Tapi bisa dipastikan karena kejelian hidupmu dalam memahami dirimu sendiri yang tak berubah. Aku jadi tau siapa yang aku hadapi. Aku jadi tau untuk mencampuri sedikit racun di gelas yang sudah kita tuangkan seliter madu ini. Kau selalu hadir saat kesedihan menghampiri walaupun kadang acuh karena amarahmu yang meledak-ledak. Kau selalu hadir saat tawa panjangku bersama pria” ini memecah kemacetan jalanan Sengkaling. Percaya atau tidak, Kau selalu hadir. Walaupun lebih sering tanpa menampakkan fisik, tapi Kau nyata hadir. Aku tidak ingin buru” menyimpulkan apapun istilahnya. Aku hanya ingin menjadikanmu selalu nyata dengan sedikit serbuk keabadian dalam penglihatanku. Cukup selalu Kau tanamkan keanggunan itu, maka Kau akan selalu ada, nyata dan hadir dalam jiwa yang akhir” ini nakal. Tapi percayalah, Kau harus berubah. Berubah untuk lebih. Aku yakin Kau akan mengalami fase itu. Karena yang aku yakini bahwa satu”nya yang tidak berubah di dunia ini adalah perubahan itu sendiri. Selamat malam wahai Kau pemilik senyum itu.. Selengkapnya...
Bukan Kiasan..
Berada di kampung halaman saat disibukkan dengan deadline untuk menyelesaikan tugas akhir ternyata bukan ide yang buruk. Sedikit merugi memang. Saat kesempatan datang bertubi-tubi untuk bertemu dosen atau sedikit menambah referensi dengan mendatangi perpustakaan kampus terbuang. Tapi setidaknya, motivasi semakin bertambah ketika sejenak lebih lama berada di rumah sendiri setelah liburan Ramadhan kali ini.
Semua itu didapat saat dapat melihat rona wajah bahagia semua anggota keluarga karena kedatangan sosok dirimu. Saat dapat mencium tangan semua anggota keluargamu yang lebih tua dan Kau hormati. Saat melihat rumah serta kamarmu yang dipenuhi kenangan yang akan mengantarkanmu pada masa depan yang pernah Kau rencanakan dari sana. Saat dapat bersenda gurau, berbagi cerita dan melakukan hal-hal gila dengan sodara-sodarimu. Saat dapat berdedikasi dan berbagi pengalaman dengan adik-adikmu. Saat dapat melihat dengan dekat perkembangan semua sodara-sodarimu. Saat dapat mendengar sapaan teman-temanmu, bertutur dan berbagi kenangan. Saat dapat menghabiskan malam dan segelas kopi dengan teman-teman SDmu dulu. Saat dapat merasakan kembali permainan di pantai yang membesarkanmu. Hingga dapat memijakkan kakimu lebih lama di kampung halaman yang mengajari banyak hal.
Dini hari ini aku bergadang untuk tiga hal; membaca buku referensi tugas akhirku, menyusun struktur kepengurusan organisasi pemuda di desaku dan menonton bola. Jam dinding atas TV di ruang tamu menunjukkan angka 02.05 saat aku mendengar pintu rumah dibuka seseorang. Tanpa mengacuhkannya, aku tak mengubah arah pandanganku pada televisi yang menyiarkan pertandingan Real Madrid Vs Granada menit ’56 dengan keunggulan sementara diraih Real Madrid 1-0.
Tak sengaja aku tolehkan kepalaku ke luar rumah melalui sudut-sudut jendela saat suara tapak kaki seseorang memburu kusaran pasir di jalan. Aku mengenal sosok itu. Sangat mengenalnya. Seorang pria. Sosok itu memperlihatkan wajah yang letih dan masih mengantuk yang ia paksakan dengan menenteng ember besar di tangan kanannya serta lampu senter di tangan kirinya. Dari arah jalannya, aku tau pria berkaos oblong ini menuju pantai 20 meter dari tempat Ia berdiri saat ini.
Dengan segala persoalan hidup yang membelitnya, pria ini masih memiliki keyakinan dan kegigihan bahwa ada sesuatu berharga di masa depannya yang harus Ia lindungi. Melindungi kepastian kebahagiaan yang Ia harapkan di masa tuanya nanti. Melindungi setiap detik kegembiraan yang akan Ia dapatkan nanti saat usia senjanya datang. Melindungi kesempatannya untuk terus melihat pertumbuhan dan perkembangan semua anggota keluarganya di rumah itu; istri, mertua, semua keponakannya, calon anak dari keponakannya dan tentu saja anak-anaknya kelak.
Sebenarnya dia tau bahwa bangun malam seperti ini dan pergi ke pantai kemudian melaut, tak cukup bahkan sangat disadarinya sangat tak mampu melindunggi semua keinginan yang menjadi asanya. Tapi keyakinan akan nilai dirinya bagi keluarganya yang tak besar dan harapan dari masing-masing jiwa di rumah yang dhuni keluarga besar itu membuatnya selalu menahan dinginnya dini hari suasana desa ini.
Sebenarnya Ia juga tau bahwa badai tak datang hanya sekali. Karena Tuhan selalu membuat ujian hidup sesuai dengan perkembangan nasib manusia yang dinamis. Tapi aku yakin, pria ini mampu menghadapinya walaupun tak dengan cepat. Karena suatu ketika pria ini pernah memberi nasihat padaku bahwa ‘badai yang tak langsung membuatmu mati akan semakin membuatmu semakin kuat’. Dia yang mengatakannya. Dia yang berpesan itu padaku. Dia yang selalu aku sebut dengan panggilan ayah.
Selengkapnya...
Malam Senyap Tak Sunyi
Malam ini aku tak mendengar suaramu. Suara yang biasanya menggema di telingaku. Suara yang walaupun tak lagi lembut tapi selalu aku rindukan. Suara yang aku ingkari keberadaannya karena khianat yang dulu sempat aku terima. Suara yang dulu selalu mengalun lembut tanpa perintah dan paksaan. Suara yang saat ini semakin ingin aku hindari untuk bertatap karena keengganan aktifitas para anjing liar mengerumuni pertemuan kasih sayang.
Aku hanya mendendam keharibaan bunyi”an yang perlahan masuk melalui celah jendela kamarku. Bunyi tiupan malu angin malam. Bunyi kicauan burung wallet di belakang rumah. Bunyi musik yang dimainkan adikku dari hapenya. Bunyi desiran ombak yang tambah kencang saat jam di laptop ini menunjukkan angka 23.56. Aku tak ingin bergegas menutup pintu kamar yang mempersilakan sebagian angin malam tadi masuk dan meneyelimuti gelas di sampingku kemudian menghilangkan panas yang bersemayam pada kopi di dalamnya.
Membuka kurasan buku yang tergeletak di samping tempatku duduk adalah aktifitas tak menyenangkan untuk saat ini. Tapi keengganan untuk menyapamu kedua kalinya melalui pesan singkat membuatku terpaksa melakukannya. Buku ini baru aku baca empat lembar saja. Empat lembar yang penuh coretan pensil dan stabillo di setiap lini penting menurutku.
Sejenak suara sruput kopi yang aku buat menyadarkan kembali kerinduanku akan suaramu. Suara yang kali ini terngiang di sekitar rerumputan samping rumahku. Aku tak berani keluar. Atau lebih tepatnya malas lebih jelas mendengarkannya. Karena hal itu akan membuat Kau menerima signal yang aku berikan dan membangunkanmu dari tidur. Terpikir olehku bahwa hidup ini terlalu tak senonoh untuk dihias. Akupun tak ingin Kau juga ikut andil dalam melukis luka pada deretan nada Tuhan. Cukup aku merindumu dengan suara lainnya.
Selengkapnya...
Permohonan Pada Anda..
Aku tak tau apa yang sebenarnya terjadi padaku hingga malam ini..? Terasa sangat terisolir dengan suasana kelam. Sempat berhasil menepikan dalam kubangan semangat yang mendidih. Hingga muncul beberapa teman yang peduli akan berlangsungnya ilham ini. Memberikan saran dengan senyum dan tawa lepas yang tak henti ditunjukkan. Menabur ribuan kata untuk melepas belenggu sendu yang melekat pada tangan dan kaki. Tapi semua itu bertahan selama 24 jam dan menguap bagai pahala puasa koruptor di bulan ini.
Aku kembali berusaha mengingat apa yang sebenarnya terjadi padaku hingga malam ini. Tapi aku masih belum menemukan kesadaran itu. Ingatan itu seperti palung di lautan yang sangat dalam. Tak dapat aku rengkuh hanya dengan mengandalkan kemahiran berenang. Aku butuh orang lain untuk mendorongku ke sana. Aku perlu adanya hentakan yang meledakkan setiap gerak kecilku. Aku butuh itu. Aku butuh itu hingga mataku terbuka dengan kesadaran yang utuh. Tidak semu dan tidak mengikat.
Kau yang menerima dan membaca pesan ini, aku mohon. Aku mohon. Aku mohon. Dan aku berharap Kau dapat membantuku untuk selalu berteriak di telingaku hingga menjalar dalam jiwaku yang sudah terlanjur beku. Teriaklah yang kencang hingga dadaku terasa penuh sesak dengan sengatan ingatan itu. Teriaklah agar aku bisa bangun dari kenyamanan yang terlanjur memberikan aku tempat leluasa hingga tak dapat dan menyentuh ide-ide dan setiap gagasan dalam tema tugas akhirku di penghujung jalan kita. AKU MOHON..!!
Selengkapnya...
Time VI; Pencarian..
Malam ini aku tergerak untuk menulis sesuatu. Tak tau kegelisahan apa yang sedang bersarang di pikiranku. Semua macam perasaan berlomba memunculkan berbagai options untuk aku geluti. Hanya saja yang pasti aku sedang merindukan sesuatu. Entah apa, tapi itu sesuatu yang benar” aku butuhkan.
Benar sabda Muhammad SAW, hati tak akan akan dinamakan hati bila hati tak berbolak balik. Seperti iman, semangat pun juga mengalami fluktuasi. Sometimes berkurang, kadang suatu saat tak menentu bertambah. Aku masih belum habis pikir, kenapa begitu mudahnya motivasi menyelesaikan tugas akhir redup. Sampai saat ini. Sampai detik ini bahkan.
Ratusan motivasi terlontar dari ratusan orang terdekatku. Tak hanya keluarga, teman dan juga beberapa pengampu mata kuliahku juga mendorongku untuk menyudahi malas ini. Tapi daya itu tak kunjung muncul.
Dua kali motivasi itu muncul. Muncul sangat kuat. Sampai” aku tak kuasa untuk menahan gelora asmara eh, gelora semangat ini. Tapi sayangnya, itu tak berlangsung lama. Belajar dari kedatangan motivasi yang pertama, aku belajar untuk mengorbitkan pertahanan agar saat motivasi kedua muncul, aku sudah mempersiapkan kerangkeng untuk mengurungnya dan menahannnya lebih lama. Bahkan aku belajar untuk mengendapkannya agar tak menguap lagi begitu saja. Sekali lagi sayang, itu tak berhasil.
Kini aku menunggu motivasi itu muncul untuk yang ketiga kalinya. Tapi saban hari aku pernah berpikir, ‘kenapa gue harus menunggu..?’ Motivasi itu mesti aku munculkan sendiri. Harus aku hadirkan sendiri. Jika perlu, aku wajib ciptakan sendiri. Tapi beberapa kali usaha itu gagal. Usaha yang pernah membuat aku seharian tak lapar dan tak makan. Padahal saat itu, rejeki datang bertubi”. Aku berpikir lagi, usaha apa lagi yang mesti aku lakukan.
Aku selalu berusaha mendekatkan diri pada Tuhanku. Bertanya pada-Nya. Meminta petunjuk-Nya. Bahkan aku pernah minta soto pada-Nya. Eh, minta ampun maksudku. Aku serius. Seringkali aku juga improvisasi pendekatan untuk menghadirkan motivasi itu dengan cara selalu membuka foto” pacar (ini risau asmara apa nyari semangat). Bukan, maksudku aku buka foto” keluarga. Keluarga yang masih berharap untuk aku banggakan untuk urusan skripshit ini.
Entahlah, malam ini aku hanya butuh sebuah cara menyembuhkan kerinduan yang tak tau ditujukan pada apa atau siapa. Aku berpikir keras lebih dari batu di samping gang rumah kosku. Malam yang sangat risau tanpa hadirnya senyum. Hampir hambar banget malam ini. Mungkin jika ada pohon cabe di halaman rumah kos, aku udah gantung diri. Tapi untung cuma ada bonsai. So, anyone can help me..??
Selengkapnya...
Time V; Teman..
Malam ini begitu senyap dan sepi karena aku hanya bisa menghadirkan tawamu dalam memori kepalaku. Sejenak lelah mengernyap begitu saja tanpa peduli bahwa aktifitasku masih banyak dan aku harus menggunakan kembali tubuh ini. Sedikit canda dan beberapa adegan konyol di kamar masih menyembulkan keyakinan bahwa aku masih memakai tubuh ini untuk keluar sebentar dengan teman yang sedang menungguku untuk beberapa inspirasi sembari menyuruput segelas kopi.
Sampai di lokasi pun tak aku percaya masih bisa melakukan obrolan dengan bolpoin dan binder yang berisi konsep tugas akhir temanku. Sesekali meneriakkan dalam hati bahwa beberapa orang menungguku di BLK. Atau mungkin sedang mencariku. Atau jangan” mereka mengutukku karena tak kunjung datang. Di tempat lain, seorang teman sedang mencoba memahami karakter diriku dengan beberapa sindiran serta merendahkan dirinya dan membandingkan dirinya denganku. Padahal di depanku sedang duduk untuk menyadarkanku bahwa aku sedang tak menjadi aku. Meyakinkanku untuk segera mengakhiri kisah malasku yang terlalu lama tinggal di sekujur raga kecil ini.
Seorang teman datang dan langsung duduk di sampingku. Dengan eksplisit menjustifikasi apa yang dilontarkan teman sebelumnya. Beberapa perkataan kasar yang dimaksudkan untuk kembali membangkitkan semangatku tak segan dia ucapkan. Emosiku campur aduk sebenarnya, tapi senang sekali perhatian semacam ini masih ditunjukkan padaku. Padahal dalam hal ini aku sudah hampir menyerah. Hahahahaa.. Aku tertawa kecil dalam hati melihat ini semua. Tak kusangka.
Sebelum beranjak dari tempat ini untuk meneruskan semangatku yang kembali menyala, aku sempatkan untuk terus menjaga motivasi ini. Entah sampai kapan, hanya saja ada keyakinan kuat sedang menimpaku. Yang aku sadari, teman boleh saja masuk dan memberikan beberapa kalimat semangat, tetapi tetap diri kita sendiri lah yang menjadi motivator bagi diri kita sendiri.
Selengkapnya...
Perjalanan Liburan Alay..
Jumat, 27 April 2012
Pagi ini begitu dingin saat aku menyentuh air untuk mandi. Dalam sebulan terkahir, baru kali ini aku mengguyurkan air di bak kamar mandi Komisariat di pagi hari. Tak seperti biasanya bangun untuk shalat subuh kemudian tidur lagi hingga matahari kadang benar” terik menyerbu celah” jendela kamar. Untuk hari ini tak apa, karena janji yang mesti ditepati dengan dua perempuan alay yang aku hormati.
Jam enam pagi tepat, aku bangun tidur lagi dan buru” mandi. Tapi ternyata tak demikian. Aku harus menunggu sekitar 14 menit sebelum masuk kamar mandi untuk mandi karena dua kader yang juga membutuhkan mandi. Antre. Selesai mandi jam 06.49 aku langsung memburu pakaian dan tas yang akan aku bawa. Seketika itu juga aku langsung membuka HP untuk memencet beberapa tombol dan menghubungi Aniez (salah seorang perempuan alay yang aku maksud tadi). Empat pesan dan sebelas kali telpon tak ada respon darinya. Baru aku tau ternyata janji yang semalam dibuat olehnya tak berlaku. Dia masih belum bangun. Hmmmm...
Sembari menunggu Aniez tersadar dari mimpi indahnya (pasti mimpi bareng si anu) aku mencoba menghubungi Mb’ Happy (perempuan alay satunya). Berbeda dengan Aniez, dia udah siap lahir bathin bahkan sudah melakukan aktifitas rutinnya. Aku hanya membaca buku saat telponku diangkat dengan sukses oleh Aniez, dia menjawab. Dengan santai dan suara parau, suaranya terdengar di telingaku.
Sekitar jam 08.56 kami berdua berangkat ke Batu, tempat Mb’ Happy berada. Sesampainya di kediamannnya, ternyata kami menerima pesan untuk menemui dia di Alun” Batu. Kami pun bergegas dan langsung mendarat di pinggir barat Alun” Batu. Tapi Mb’ Happy tak kunjung nongol. Pacarnya pun (orang keempat yang akan melakukan perjalanan ini) tak keliatan sehelai rambutnya. Di bawah panasnya matahari, kami seperti dua teroris yang akan mengebom Alun” Batu dengan celingak celinguk menolehkan wajah ke setiap sudut alun”. Namun, dua belas menit kemudian muncul Mas Inu (nama pacarnya Mb’ Senang, eh Mb’ Happy maksudnya) yang menyapa kami berdua dengan senyum (Aniez tersepona kayaknya). Selang empat menit kemudian Mb’ Happy muncul. Singkatnya, jam 09.42 kami berangkat setelah mampir ke Bank BRI Batu.
Kami pergi memulai perjalanan ini. Perjalanan yang akan membenturkan banyak kepentingan yang aku tinggalkan sejenak untuk bersantai dan menghibur diri. Terdengar egois memang, tapi aku sedang membutuhkan hal itu. Maaf Pak Ketum dan Ifa (MOT Ndoet yang aku tinggalkan buat mengelola latihan). Oia, lupa bilang. Perjalanan ini menuju ke Lamongan, tepatnya Wisata Bahari Lamongan.
Perjalanan ini sudah kami rencanakan sudah tiga minggu lalu. Jauh sebelum Mb’ Happy ujian skripsi ataupun sebelum Aniez seminar proposal skripsi. Malah perjalanan ini hampir gagal akhir April menimbang Aniez akan berangkat ke Garut untuk LK II. Hanya saja, tu perempuan emang alay. Dia tiba” menggagalkan dan lebih memilih berada di Malang. Mb’ Happy juga mengambil momen untuk sekalian berkencan dengan Mas Inu di luar kota. Ini yang tak aku suka. Benar” ujian.
Dalam perjalanan ini total hampir 350 jalan berkelok kami lewati. Dimulai dari daerah Payung yang sangat ekstreme dengan jurang di sisi kanannya. Sekitar 15 menit kemudian kami sampai pada wilayah Pujon, tempat KKN alay yang mengharuskan aku sama Aniez satu bulan bertemu dengan sapi-sapi serta susunya yang m’bosankan. Kami sempet b’henti di sini karena perut kami sudah tak lagi kompromi dan meminta jatah sarapan pagi. Tapi sayang, bahan utama yang mau kami makan gak ada; nasi (kok bisa itu lho warung nasi gak ada nasinya).
Kami melanjutkan perjalanan. Sepuluh menit kemudian, entah daerah apa namanya, kami hanya melihat warung yang menarik dan langsung berhenti. Warung ini intinya menyediakan Nasi Rawon sebagai makanan utama dan satu”nya menu (selaen aer putih dan es teh lah). Dan satu perempuan alay yang senior berulah. Dia menraktir kami. Ah, bikin gak seru perjalanan. Tapi gak apa lah. Ada dua hal yang mungkin mendasari Mb’ Happy melakukan itu. Pertama, dia khilaf. Kedua, dia sedang senang nraktir supaya ultahnya gak nraktir lagi (Maaf Mb’ prasangka alay dari adikmu).
Sehabis sarapan kami langsung meluncur mengikuti jalan menuju Kediri sebelum bertolak ke Jombang. Sesampainya di pertigaan Kota Kediri sepasang kekasih yang sedang dilanda kerinduan di depan berulah. Mereka berdua mengarah lurus, padahal tujuan kami ke Jombang, arah kiri dari pertigaan Kediri. Kami pun mengejar dan meluruskan niat mereka m’ikuti jalan yang benar dan tak sesat. Benar” tak fokus mereka..
Jalan ke arah Jombang benar” membakar kalori. Bagaimana tidak, dengan aspal yang tidak merata serta teriknya matahari yang begitu menyengat membuat kami lunglai tak berdaya. Ditambah lagi kami benar” tak tau medan ini. baru pertama kalinya kami menginjakkan kaki (harusnya ban motor karena kami gak lagi jalan kaki) di sini. Tapi apa boleh baut, eh buat maksudnya, kami berdua percaya pada perempuan cenayang (kata Aniez lho Mb’) di depan tersebut.
Angka sudah menunjukkan angka 11.28 saat kami melihat jam beberapa belas meter dari arah pertigaan tadi. Artinya, kami harus berhenti untuk melakukan shalat Jumaat dan Dzhuhur bagi dua perempuan ini. Kami terus melaju untuk mencari masjid sekaligus menunggu adzan berkumandang. Setelah beberapa menit, motor yang dihuni sepasang kekasih di depan belok kiri menyebarangi jembatan dan berhenti di sebuah masjid samping sungai. Kami pun tak melewatkan momen ini. Momen yang sangat berharga untuk menggerakkan badan dan kepala yang harus menanggung helm selama dua jam lebih. Aku dan Mas Inu segera menuju masjid begitu khotib membaca khutbahnya siang itu, sedangkan di tepi sungai dua perempuan alay tadi sok manis dan mendramatisir keadaan untuk rehat sebelum berpindah tempat di sebuah rumah yang berada di samping masjid.
Aku dan Mas Inu berjalan menuju masjid dengan sempoyongan, berharap dapat segar kembali setelah mencuci muka dan berwudlu’. Tak terlalu khusyu’ aku rasa shalatku di tengah leher yang lelah menahan helm dan bahu yang menahan tas di depan. Tapi shalat berjema’ah selalu menimbulkan fokus yang berbeda bagiku ketimbang shalat dewean. Usai shalat Jumat, gantian Tim Preman (Aniez dan Mb’ Happy) menuju masjid melakukan shalat Dzuhur dan Tim Supir (Aku dan Mas Inu) menjaga tas serta barang” bawaan di rumah tadi.
Setelah bertanya pada penduduk setempat, kami langsung lajukan kembali motor kami ke tujuan. Tak terhitung kiloan debu kembali menempel di mukaku. Demen amat mereka nempel” gitu. Tapi tak apalah. Kami yakin hasilnya akan sangat memuaskan. Liburan, bermain dan sejenak melepas penat mendengar Rumput LiaRKu menemukan Bingkisan Tuhan lainnya. Apalagi momen ini jarang” aku lakukan, touring dengan aku yang nyetir. Biasanya aku dibonceng. Hahahahaa..
Kami girang banget setelah membaca gapura dengan tulisan ‘Selamat Datang di Kabupaten Lamongan’. Kami senang banget karena perjalanan melewati Jombang tak mudah. Kami harus melewati jalan raya yang lagi diaspal sepanjang satu kilometer dan panas banget saat kami lewati. Benar” panas. Beneran lho. Eh, serius. Beneran panas. Sumpah panas banget. Elu pade kagak percaya..?!?! Beneran lho. Kalian percaya gak sih..?!?!! Jawab bego’. (Maaf, lagi kumat)..
Aniez yang berada di belakangku teriak” gak ketulungan. Girang abis. Aku juga heran, ini anak tereak karena girang apa abiz ngeliat pocong Lamongan. Kami tetap melanjutkan perjalanan, pikir kami, kurang dari setengah jam kami akan sampai di WBL. Eh eh eh.. yang ada malah kesasar. Iya, kami sempet kesasar gara” sepasang kekasih di depan tak pandai membaca plang nama jalan petunjuk arah. Harusnya kami jalan lurus, ini malah belok kiri menuju Madiun setelah menunggu kereta lewat. “Gak apa apa wez. Namanya juga touring”, ujar Aniez santai. Yauda wez, toh kami bisa bertanya pada orang di jalan nanti. Tapi sial, di jalan ini banyak sekali larangan berhenti. Akhirnya, kami nekat bertanya dengan gaya alay. Kami mengejar sebuah motor yang dikendarai dua perempuan untuk bertanya jalan. Hahahaha.. Itu cara yang gak terlupakan.
Dengan arahan dari dua perempuan tadi kami sampai pada shirothol mustaqim. Kami berhasil berjalan menuju Babat. Kami melihat semua plang atau penunjuk arah mengandung (b’arti ntar lagi ngelahirin tuh) nama Babat. Tapi kesenangan itu harus disertai dengan sabar banget ternyata. Babat jauuuuh gilaaa. Kami terus melaju mengikuti setiap petunjuk jalan yang mengarahkan kami ke Babat. Sampe kami gak tau berapa truk yang kami salip.
Sampai akhirnya kami harus berhenti di SPBU terdekat untuk mengisi bensin motor yang dikendarai Mb’ Happy dan Mas Inu. Sedangkan aku dan Aniez menunggu di warung tak jauh dari SPBU tersebut. Sejenak aku minum beberapa teguk air mineral yang kami bawa, sedangkan Aniez menenggak bensin yang ada di motornya. Oh salah, Pocari Sweat maksudku. Setelah itu kami melihat sepasang kekasih tersebut muncul untuk meneruskan perjalanan. Tapi Aniez mengajakku ke SPBU. Entah kenapa. Padahal bensinnya masih banyak bahkan baru saja diisi. Aniez memberhentikan motor yang aku setir tepat di depan Musholla SPBU. Oo.. Mau dzikir mungkin. Tapi tidak. Rupanya dia ngeloyor ke kamar mandi. Hmmmm.. Aniez udah kebelet BAB ternyata. Kiraen mau sujud shalat minta ujan.
Babat masih belum kami lalui. Babat terlalu luas untuk kami lalui dengan mudah. Bahkan kami sudah sangat suntuk mengelu-elukan nama Babat. Tapi tak apalah. Kiranya ini bikin kami tau bahwa daerah penghasil wingko ini memiliki wilayah yang tak kalah luas dengan Batu untuk ukuran sebuah kecamatan.
Sekitar tiga puluh menit kebut”an dengan Mas Inu, aku melihat plang ‘Tuban’ di sebuah papan arah. Wow.. Senang banget rasanya. Walaupun kami tidak tau berapa kilometer lagi WBL, namun setidaknya kami sudah keluar dari Babat. Kami pun melaju sekencang”nya di wilayah ini. Jalan raya yang sangat sepi membuat kami leluasa untuk kebut”an. Tapi kami harus mengerem sejenak bakat terpendam itu saat menyadai bahwa bensin motor yang aku dan Aniez kendarai hampir habis. Kami pun berhenti di sebuah SPBU sambil mencuri kesempatan bertanya pada petugas SPBU arah WBL. Dan jawabannya kurang bagus. Kira” sejam lagi kami tiba di WBL menurutnya. Waddduu..
Kami terus melaju kencang kayak di pilem”. Pokoknya uda mirip genk motor dah. Untung aja gak ada polisi yang nangkep kami. Sekitar lima kilometer kemudian kami menemukan plang petunjuk arah di sebuah pertigaan dengan nama WBL ke arah kiri. Tiba” perempuan alay di belakangku merentangkan tangannya dan tereak” kayak kemalingan. Mengguncang” motor sambil joged”. Untung saja Aniez gak turun dari motor dan nyari pohon buat nari ala India. Aku pun sangat puas melihat plang tersebut. Motor pun aku kendarai dengan sangar tanpa peduli Aniez yang sedari tadi kesetanan girang. Jalan yang kami lewati sangat tak bagus. Kami sangat berhati” melewatinya. Pelan”. Khawatir kejadian berpindah tempat beberapa centimeter trulang kembali.
Jalan tersebut menyediakan ruas di sebelah kiri untuk dilewati kendaraan roda dua dengan kondisi sangat baik. Kami menggunakan ruas jalan tersebut dengan nyaman. Walaupun tak tenang karena selama 10 menit perjalanan kami tak kunjung menemui WBL. Akhirnya kami menghentikan laju motor dan bertanya pada pemuda yang sedang duduk” di motornya dengan teman”nya. Kau tau, jawabannya ngeselin. Dia bilang kami masih harus menempuh setengah jam lagi perjalanan untuk sampai di WBL. Jawaban yang sangat mengejutkan. Kami terpengarah mendengarnya. Oia, saat ini kami tak tau keberadaan Mb’ Happy dan Mas Inu. Kami terpisah. Tapi firasat kami dua orang tersebut jauh berada di depan.
Ucapan pemuda tadi benar, 25 menit kemudian kami sampai di pertigaan Paciran yang artinya kami harus berjalan lagi 5 menit ke arah kiri untuk sampai di WBL. Sadar akan hal itu kami mengendarai motor dengan pelan. Mb’ Happy dan Mas Inu juga pelan” dan menikmati aroma lelah dengan santai karena sebentar lagi sampai. Pantai di sebelah kanan jalan kami menandakan bahwa kami sudah sangat dekat dengan WBL. Walaupun senang, kami menahan senyum berkembang. Karena menurut informasi, WBL hanya buka sampai sore. Padahal saat ini jam di hape Aniez sudah menunjukkan angka 15.21. Wuuiihh.. Kami masih mencium aroma pantai saat kami melihat WBL 20 meter di depan. Sudah tak sabar.
Kami memasuki pintu masuk WBL dengan terlebih dahulu menunjukkan STNK serta mengambil karcis buat parkir. Kami cukup shock dan kaget saat petugas bilang bahwa untuk sebagian wahana sudah ditutup dan akan ditutup semua pada jam 16.30. Sedangkan WBL-nya akan ditutup setengah jam setelah itu. Gubrraaakkkk.. Setelah parkir, tempat pertama dan paling penting saat ini adalah kamar mandi. Kucel dan awut”an penampilan kita. Mencuci muka dilakukan oleh semua anggota tim. Daaaannn.. Here we go.. Inilah saatnya senang”. Setelah kami membeli karcis, kami melihat ada 43 wahana ternyata yang ada di sini. Tapi sayang, tak mungkin kami masuki semua. Apeess..
Kami sedikit bernafas lega saat kami masih melihat beberapa orang di dalam. Sekitar empat orang dan sepasang kekasih. Total, ada sepuluh orang di dalam saat ini. What..?!?! Ya sudah lah. Tak apa. Wahana pertama kami adalah Istana Boneka. Dari namanya saja, kalian bisa tebak bahwa yang ngusulin pasti salah seorang dari perempuan alay. Hmmm.. Kami Tim Supir hanya ngikut aja. Tadinya ke Rumah Sakit Hantu, tapi dua perempuan alay itu gak mau. Ya akhirnya kami harus melongo melihat boneka” geje yang bernuansa Aladin dan Arabian Night.
Usai sekitar 10 menit menghabiskan waktu melihat semua atribut boneka psikopat di ruangan muter”, kami mencari wahana yang masih belum tutup. Dan kami menemukan Drop Zone. Awalnya lamaran kami ditolak, karena jumlah kami hanya bertiga. Aniez gak mau ngikut. Gak tau kenapa. Alesannya banyak. Mau jagaen barang” lah, pengen liat aja lah, sakit perut lah, mules lah, mau salto kayang” lah, mau ngesot atau semacamnya lah. Tapi kami tau sebenarnya tu anak takut. Hahahahaha.. Akhirnya dengan bujukan maut Mb’ Happy, Aniez mau ngikut dan menyerahkan barang” ke petugas Drop Zone. Mb’ Happy dan Mas Inu di sisi barat sedangkan aku harus bersama perempuan alay yang sempet parno itu di sisi utara. Awalnya aku melihat wajah parnonya Aniez saat naik pertama. Tapi untuk kedua, ketiga dan seterusnya, tu anak malah ngakak gak karuan. Mungkin dia lagi ngigau liat stand up comedy di Drop Zone. Entahlah, yang penting dia masih sehat aku lihat.
Setelah tereak” di Drop Zone selama 7 menit-an, kami mencari satu lagi wahana yang masih ada petugasnya. Ada, Crazy Car. Semacam Roller Coaster dengan satu mobil dua penumpang saja dan arenanya tak terlalu curam. Sekali lagi, aku bersama Aniez berdua di belakang mobil pasangan kekasih itu. Dan sekali lagi, keanehan terjadi. Mb’ Happy, Mas Inu dan aku tereak” menikmati setiap taruhan adrenalin, eh si Aniez malah ketawa ngakak. Sepertinya setan Lamongan uda merasuk beneran ke anak ini pas di perjalanan tadi.
Dan Kau tau apa..?! Semua wahana ditutup pas setelah kami keluar dari Crazy Car. Kami sempet mau masuk ke Bom Bom Car karena aku dan Aniez punya rencana jahat mau nabrak dan m’celakakan sepasang kekasih yang b’jalan di depan kami ini. Hahahahahahahahahahaaa.. (tiba” tanduk iblis kami keluar). Maap maap, gak kok. Kami gak sejahat itu kok. Lagian Tuhan tak mengijinkan. Akhirnya, kami pergi ke mercusuar di dekat tanjung kodok. Karena ini yang pertama kalinya, kami mengabadikan momen” ini dengan background tanjung kodok. Selang sepuluh menit dengan photo” alay, kami pergi ke pantainya. Mb’ Happy awalnya ingin sekali mewujudkan niatnya berenang. Kebetulan pantainya deket ama Kolam Renang. Hanya saja, WBL yang sudah sepi sekaligus yang lain lagi gak minta, akhirnya dia memilih kencan di ayunan pantai. Akupun dan Aniez juga demikian. Kami maen ayunan gak jelas. Sebel juga gak jelas kayak gini. Tapi di kejauhan aku melihat ada bola lengkap dengan lapangannya, mataku langsung berbinar dan cabut meninggalkan Aniez yang mulai autis dengan BB-nya.
Sekitar setengah jam kami meng-geje di pantai, tiba” petugas m’hampiri kami dengan motornya. Dengan sangat sopan, dia mengingatkan bahwa WBL sudah ditutup setengah jam yang lalu, jadi dia memohon pada kami untuk segera angkat kaki dan pulang ke rumah orang tua kami (becanda). Akhirnya kami jalan menuju pintu keluar. Di perjalanan itu kami mikir untuk lebih mematangkan rencana jika ke sini lagi. Bayangkan saja, dari 43 wahana yang disediakan, kami melewatkan 40 gara” kesorean.
Kami tidak melewatkan b’photo di depan pintu masuk WBL dengan kepiting gede di atasnya. Selang beberapa menit kemudian, adzan Maghrib mengharuskan kami harus menuju musholla saat itu juga. Tapi peristiwa m’khawatirkan t’jadi. Kunci motor yang ditunggangi Mb’ Happy dan Mas Inu gak tau wujudnya. Mas Inu pusing, Mb’ Happy juga puyeng. Aku dan Aniez pun juga ikutan senang, eh, pusing maksunya. Sementara Mas Inu mencari ke dalam WBL, aku dan Aniez shalat minta hujan. Maaf, sahalat Maghrib maksudku. Alhmadulillah, Tuhan mengabulkan doa Satpam. Kunci motornya ketemu di salah satu wahana yang kita naiki tadi. Alhamdulillah. Kami pun meluncur pulang meninggalkan WBL dan isinya menuju Surabaya.
Di perjalanan, kami sempatkan makan malam Soto Lamongan. Hmmm.. Rasanya luaarrrr biasssaaa. Gak enak sumpah. Kebetulan aku pecinta kuliner soto. Dan jika dibandingkan Soto Lamongan yang dijual di Malang, rasanya lebih biasa. Tapi entahlah, Karen lapar mungkin, semangkok soto ini aku habiskan. Tanpa banyak santai, kami lanjutkan perjalanan menuju Surabaya yang begitu sepi dan hanya ramai dengan cerita” yang aku dan Aniez lontarkan secara bergantian tentang kehidupan sebelum berstatus menjadi mahasiswa.
Jalan raya begitu terang dan sangat ramai saat motor kami sampai di Kota Pabrik; Gresik. Di kanan dan kiri kami melihat kepulan asap dari berbagai pabrik yang ada di sepanjang jalan. Kami dapat pastikan pabrik Semen Gresik salah satu dari pabrik tersebut. Tapi karena fokus pada perjalanan ke Surabaya, kami begitu saja melewatkan daerah ini. Bahkan perlahan kami tanpa sadar sudah memasuki wilayah Surabaya. Kota Aniez, perempuan alay yang tak bisa feminin. Kami menuju rumah Aniez.
Entah dalam perjalanan menuju rumah Aniez ini aku merasakan sebuah angin yang tak biasa berhembus. Sebenarnya, banyak kisah dan cerita yang pernah mengukir namaku di kota ini. Sebagian secara sengaja dan sebagian lainnya tak sengaja. Hanya saja, cerita itu tak semuanya menimbulkan kegembiraan. Termasuk penyesalan yang pernah menjadikanku uring”an. Tapi semua itu telah lewat. Bersepeda motor dengan Aniez malah menimbulkan kembali ingatan itu. Sampai akhirnya kami tiba di gang tempat rumah Aniez berada; Kaliasin. Sebuah gang yang terletak di samping Mall Tunjungan Plaza pas.
Kami langsung bersua dengan kedua orang tuanya dan menyalaminya. Dari tiga orang tamunya, hanya aku yang tak ditanya tentang kuliah. Hahahahaa.. Tak apalah. Mungkin orang tua Aniez mengira aku masih SMP atau SMA. Tanpa banyak Tanya, Aniez perempuan alay itu memesan empat ‘tahu tek’. Makanan sejenis batagor atau tahu telor yang hanya ada di Surabaya. Spontan kami kaget dan menolak. Tapi apa daya, empat tahu tek telah tersaji ketika kami tau. Dasar.
Setengah jam berlalu akhirnya kami digiring oleh Aniez ke rumahnya yang lain di ujung gang yang saat ini dijadikan tempat kos perempuan. Gila. Aku harus tidur di rumah yang dipenuhi perempuan. Tapi tak apalah, daripada nge-gembel gue. Aku dan Mas Inu tidur di kamar yang tak dipakai di urutan paling depan. Kami tak langsung tidur, kami sempatkan mandi dan sedikit membaca buku. Sayup” aku masih mendengar cekikikan dari kamar sebelah, tempat Aniez dan Mb’ Happy berada saat jam menunjukkan angka 01.21. Heemmmm.. Apa sih yang mereka gosipin jam segini. Sementara kami terbangun dengan alasan yang berbeda. Aku karena kepanasan sedangkan Mas Inu karena nyamuk. Hahahahaa..
Sabtu, 28 April 2012..
Subuh” kami bangun dan shalat. Mas Inu langsung tidur kembali, aku memilih membuka laptop dan meneruskan draft LPJ PPPA sampai aku tertidur di depan laptop. Bangun” sudah duduk manis seorang perempuan dengan senyumnya yang alay untuk membangunkanku.
Dua jam setelah itu, kita masih mampir di Pasar Gembong, Kios Kaos Cak Cuk, DTC dan balik ke Malang, kota yang menuntun kembali pada kerisauan. Aku sadari bahwa dalam menempuh hidup, tak selalu kita patuhi peraturan jika tak nyaman dengan suasana hati. Aku rasa itu sah’ saja asalkan tak merugikan pengguna peraturan lainnya.
Selengkapnya...
Time IV; Antiklimaks yang Menakjubkan
Malam ini seperti menjadi antiklimaks bagiku. Sangat mengesankan walaupun dengan mudahnya menampar sakit dan mengusir kegembiraanku sebelumnya. Menepikan kesenangan yang sebelumnya aku dapatkan. Bahkan senyum yang selalu mengembang di bibirku tersebut tak hanya berlangsung sehari, tapi tiga hari tiga malam. Namun, jatuh berguguran pasrah seketika saat mala mini sudah menunjukkan jam 00.42.
Sore ini aku harus kembali mengendarai motor Beat biru milik Ketua LPM BEM FISIP dengannya di belakangku. Mendera debu yang sesekali menempel di wajah yang tak aku tutupi sepenuhnya dengan kaca helm. Tapi aku rasa, hal kecil seperti ini tak menjadi soal jika melihat apa yang akan aku dapatkan nantinya. Apalagi ini adalah kali ketiga mengendarai motor dengan orientasi sama bersama perempuan alay ini.
Di perjalanan, tawa karena humor yang kami lontarkan menjadi item yang tak terpisahkan. Mulai menertawai diri sendiri hingga menyinggung kondisi busuk bangsa ini dibalut dengan humor. Sesekali kami hanya terdiam karena melihat muka serius nan sok ganas polisi lalu lintas. Kami hanya perlu melewatinya untuk kemudian tertawa lagi dan lagi.
Perjalanan kami akhirnya terhenti di gedung tua di depan stasiun kereta api Malang. Bangunan yang sudah tiga kali aku kunjungi. Seperti biasa, keanggunan yang terpancar dari gedung ini hanya sekilas. Tetapi selalu memancarkan kehangatan yang mempesona saat berada di dalam dan berbicara dengan penghuninya. Gedung ini adalah Kantor Redaksi Harian Malang Post. Satu diantara dua harian terbesar di Malang.
Tujuan kami ke kantor ini adalah menemui Abdul Halim, redaktur Malang Post yang akan kami pinang menjadi pemateri di acara Upgrading LPM. Setelah ngobrol sekitar setengah jam dengan beliau kami seakan memiliki keyakinan untuk tetap pada jalur ini, journalist way. Banyak kisah yang Halim ceritakan. Banyak kasus yang dia paparkan. Setiap detik obrolan kami memburu huruf untuk kami rangkai menjadi kalimat kehidupan seorang journalist. Bahwa journalist tak harus memiliki bakat tertentu. Kau hanya butuh keuletan dan kesungguhan akan motivasimu yang terlanjur membuncah. That’s it..? Yes maybe..
Beberapa manit kemudian kami berdua hanya tertawa kecil dengan semua yang kita obrolin. Tak ada yang lucu, hanya kami merasa mengembangkan senyum menjadi tawa mendengar apa yang kita obrolin tadi. Obrolan yang kami harap mengantarkan motivasi kami tetap terjaga. Obrolan yang memberikan beberapa suntikan trik untuk menjadi dan menjalani proses ke-journalist-an. Obrolan yang semakin memberikan zat adiktif tanpa banyak pikir lagi. Obrolan yang kami harap dapat terulang walaupun tak dengan orang yang sama.
Dalam perjalanan, obrolan tadi kami singgung sebelum akhirnya menepikan motor di parkiran Rumah Makan Nasi Goreng Gandrung. Ini pertama kalinya makan di sini. Ternyata si Iis juga. Jadilah kita dua orang alay yang gak tau apa-apa tentang rumah makan ini. Kami hanya duduk sekenanya tanpa memperhatikan apa-apa. Aku hanya diam dan sesekali melirik Iis yang sedari tadi ketawa tanpa alasan yang jelas. Sampai kami menghabiskan nasi goreng kami, Iis masih berada dalam keadaan tawa yang tak berhenti-henti. Baru aku tau saat dia menceritakan semua kejadian lucu yang dia lihat di rumah makan ini. Hahahahahaa.. Aku pun ikut tertawa mendengarnya di perjalanan. Perempuan satu itu emang selalu dapat melihat celah untuk dijadikan bahan lelucon. Hmmm..
Jam menunjukkan angka 23.28 saat aku menyelesaikan rapat dengan Tim Dragon Ball, tim pengonsep acara Seminar Nasional yang diadakan BEM FISIP UMM akhir Mei nanti. Aku dan Alfian langsung menuju tempat janjian kami bersua dengan salah seorang senior HMI sekaligus kakak kelas saat SMA dulu. Saat ini dia bekerja di Jakarta dan pulang sebulan sekali ke Malang. Kali ini kami ditakdirkan bersua setelah di 6 kali kesempatan sebelumnya kami selalu aku tak bisa.
Namanya Iip. Bekerja di sebuah perusahaan jasa yang mengutamakan kemampuan menulis dan kewartawanan. Aku dan Alfian langsung dengan erat menjabat tangannya saat kami bertatap wajah. Tak disangka dapat bertemu lagi dengannya setelah sekian lama. Walaupun hanya di emperan samping Bank BRI perempatan Galunggung, tapi kami dapat menikmati setiap detik pertemuan ini dengan menyeruput masing” minuman yang kami pesan. Baru di sinilah aku merasakan sekali anti klimaks.
Awalnya setelah menghubungi tiga journalist sebelumnya, pers yang aku pahami adalah pers idealist. Pers yang menjungjung tinggi nilai” objektifitas. Namun, apa yang dia katakan pada kehidupan nyata tak bisa seperti itu. Apalagi jika orientasimu mengarah pada ke kehidupan. Dia tak sendirian. Dia bersama seorang temannya, yang juga berprofesi sama sepertinya. Teman yang juga memiliki kemampuan serta pengalaman kewartawanan yang baik walaupun pemula.
Jam 1 dini hari tepat aku pulang bersama Alfian. Pertandingan La Liga sarat akan makna dan momentum akan dilangsungkan setengah jam. Pertandingan yang mempertemukan Real Madrid dan Barcelona yang biasa disebut el clasico. Di perjalanan, aku sedikit merenung dengan apa yang baru saja aku terima dari pertemua tadi. Banyak hal yang harus aku benahi kembali. Termasuk menata niat dan tujuanku berada di dunia pers. Pertemuan ini kembali membuka ingatanku bahwa tak semua yang kita hadapi di kancah lokal ataupun regional, tak selalu berbanding lurus dengan kenyataan. Mungkin ini yang disebut realistis. Membangun kesadaran akan kenyataan yang akan kita hadapi.
Selengkapnya...
LK II Kab. Bandung; 5 Anak Muda Alay..
Screening masih berlangsung saat aku memutuskan untuk jalan” dengan empat orang teman lainnya dari Cabang Jember, Surabaya, Lampung dan Bengkulu. Kami juga tak tau mau ke mana, tapi daripada mengganggu calon peserta lain yang masih bergelut dengan screening BTQ, Konstitusi, MKO, NDP, Wawasan Kontemporer dan Makalah ya kami memutuskan keluar dari pusgit buat jalan”.
Menyusuri jalan keluar dari belakang menuju depan kampus sungguh melelahkan, tapi sembari ngobrol dan tertawa gak jelas, lelah itupun hilang. Sambil berguyon, kami akhirnya sepakat menuju alun” Kota Bandung. Entah seperti apa, kami hanya ingin jalan”. Bus kota pun terlihat dari jarak 20 meter kita berdiri. Naik dan langsung tidur di bus karena perjalanan yang ditempuh bisa mencapai 50 menit.
Aku tak benar” tidur. Aku memperhatikan jalan dan bangunan yang kita lewati. Setelah melewati Terminal Cicaheum, bus yang kita tumpangi belok ke kiri. Banyak pusat perbelanjaan yang kita lewati. Karena ini Bandung, tempat shopping sangat banyak dan menggiurkan. Selang 10 menit kemudian, aku melihat Stadion Sepak Bola milik Persib Bandung. Kemegahannya terpampang jelas. Tak jauh dari situ, aku temui Gedung Partai Nasional Demokrat Jawa Barat. Dengan desain kuno, bangunan tersebut terlihat elegan. Melihat orang” lalu lalang keluar masuk gedung, aku jadi tau Nasdem sedang sibuk.
Lima puluh dua menit berlalu saat Kondektur meneriakkan Alun” Kota. Kami berlima pun turun dari bus. Satu hal pertama yang kita lakukan adalah berfoto dengan latar Masjid Besar Kota Bandung (entah apa namanya, Q lupa). Karena duit yang tak banyak (lebih tepatnya gak punya duit), kami pun memutuskan jalan” saja melihat” dagangan orang di sekitar alun” dan masjid sebelum kami menemukan jalan keluar dari alun” dan menemui jalan raya. Di seberangnya, terdapat mall tak besar namun sangat tepat untuk belanja pakaian. Semua pakaian di sini beragam, hanya saja tak bisa dibeli atau lebih tepatnya kami tak punya duit buat beli.
Akhirnya kami memilih kembali duduk di alun” dan menghilangkan haus dengan membeli dua bungkus es degan tak jauh dari tempat kita duduk. Setelah merasa letih dan tak menghasilkan apa”, akhirnya pulang ke Pusgit adalah jalan yang kita pilih. Di perjalanan pulang, kejadian konyol dilakukan Farid (Jember), Atoy (Bengkulu) dan Malik (Surabaya). Saat itu bus dalam keadaan sesak. Sehingga, penumpang di dalamnya berdesakan dan sesekali berebutan untuk tempat duduk.
Setelah sampai di Terminal Cicaheum, mereka bertiga bangkit dari tempat duduk yang susah payah mereka dapatkan sebelumnya.
“Kenapa berdiri Kang”, Tanya kondektur pada tiga cecunguk tersebut yang sudah berdiri di dekat pintu belakang bus.
“Kan udah deket Pak”, jawab Farid dan Malik sekenanya.
“Cibiru kan..?! UIN..?!”, tanya kondektur lagi dengan masam.
“Iya Pak”, terlihat wajah mereka yang heran dan terkejut. Hahahaha.. Aku hanya dapat tertawa dalam hati melihat wajah mereka.
“Ya masih jauh Kang. Sekitar 30 menit lagi”, jawab kondektur disambut wajah kecewa mereka yang culun.
“Hahahahahaa..”, spontan aku dan Wendy (Lampung) tertawa terbahak”.
Namun yang dikatakan Pak Kondektur benar adanya, sekitar 30 menit berselang kita benar” sampai di depan kampus UIN Sunan Gunung Djati. Hahahahaa.. Hingga kita menempuh jalan menuju Pusgit pun, aku melihat wajah kecewa mereka yang terpaksa berdiri karena salah perhitungan dan sok tau. Setidaknya itu menjadi pelajaran agar tak lagi sok tau di kota yang baru disinggahi. Namun tak apalah, setibanya di Pusgit, kita langsung istirahat dan melupakan sejenak tentang kekonyolan siang hari. Setidaknya kita belajar bahwa kebersamaan dalam HMI lebih dari sekedar saudara.
Selengkapnya...
LK II Kab. Bandung; Perjalanan Berangkat..
Pak, ini di mana..?” ujarku dengan nafas terburu-buru sambil menyodorkan tiket kereta yang aku pegang pada petugas kereta di samping gerbong.
“Oh ini Mas, masuk dan cari kursi 7E”, jawabnya mengembalikannya tiketku.
“Terimaksih Pak”.
“Lebih baik langsung naik sekarang Mas, bentar lagi keretanya mau berangkat”.
“Oh iya Pak, Saya beli air mineral dulu”.
“Cepet ya Mas”, intruksinya aku sambut dengan anggukan sekenanya.
Hmm.. Akhirnya aku duduk dan memulai perjalanan ini. Perjalanan yang tak aku sangka benar” aku lakukan. Perjalanan untuk melanjutkan prosesku berorganisasi. Perjalanan sebagai bentuk penghormatan pada Anhar sebagai Ketua Umum pada ambisinya yang menginginkan semua presidium melakukan jenjang pelatihan tahap selanjutnya. Perjalanan yang juga untuk mengejar orang” pendahuluku melakukan pelatihan serupa. Perjalanan yang kali ini harus aku lalui sendirian.
Sebenarnya perjalanan aku jalani ogah”an. Aku sangat tak nyaman dengan kondisi ini karena tiga hal. Pertama, dana yang aku punya melakukan perjalanan ini sangat minim. Kedua, aku punya stigma negatif pada perjalanan ini karena kisah pelatihan serupa yang dilakukan Rumput LiaRKu (entah apa aku masih boleh meng-klaim dia). Dan ketiga, karena aku harus meninggalkan Aniez, seorang teman seperjuangan yang baru saja mengantarkan aku sampai stasiun sore ini, padahal kesempatan ini harusnya miliknya juga. Tapi, aku harus melakukan ini demi Anhar dan Komisariatku.
Tempat duduk 7E berada di samping jendela. Pas banget karena aku sangat ingin menikmati perjalanan ini dengan melihat semua kota yang aku lihat. Malang-Bandung sangat jauh, bisa dipastikan kota yang akan aku lihat sangat banyak. Sambil pamit pada teman” melalui sms, aku mendengar suara pemberitahuan bahwa kereta akan berangkat. Beberapa detik kemudian kereta MALABAR ini pun beranjak menyisakan debu dan hiruk-pikuk Kota Malang. Aku tenggak air mineral yang baru saja aku beli dan berharap perjalanan ini berjalan lancar.
Ingin sekali memejamkan mata dan istirahat, tapi perutku berbunyi tanda lapar. Aku harus makan sesuatu, tapi hanya permen yang aku temui di saku kiri celanaku. Sambil mengunyah permen tersebut, aku mulai menyandarkan diri di kursi dan mematikan hape untuk menghemat baterai.
Aku tidak ingat betul kota apalagi nama stasiun yang aku lewati saat aku sadari aku sudah di Kota Djogja. Kota indah yang seharusnya aku kagumi. Jam di pergelangan tangan penumpang di depanku menunjukkan angka satu dengan suasana gelap gulita. Hmm.. Sudah dini hari ternyata. Aku bergegas istirahat lagi setelah memastikan dua tas yang aku bawa dalam kondisi baik” saja.
Kereta masih bising seperti biasa saat aku terbangun karena cahaya fajar yang masuk di celah” jendela tempatku duduk. Sekilas, beberapa orang di gerbong ini tampak bergerak meregangkan badan dengan mengangkat tangan ke atas tanda abis istirahat. Perjalanan ini mulai menujukkan pemandangan eksotisnya. Hutan dan perbukitan serta sawah” aku lalui untuk dipandangi. Tak luput aliran sungai juga aku lintasi. Aku mulai gusar saat beberapa orang yang sebelumnya aku pastikan turun di Bandung mulai turun satu per satu di stasiun yang kita lewati. Lalu di mana aku turun..?!
Aku mencoba menggerakkan pantat yang sudah 16 jam menempel di kursi tak empuk ini. Aku berpikir 145 Ribu bukan angka yang kecil untuk membayar kereta ini jika aku tersesat dan kesasar. Karena kegusaranku itu, aku memberanikan diri untuk bertanya pada penumpang yang duduk di depanku.
“Kang (sok kenal dengan menyebut Kang, panggilan khas Sunda pada laki”), tujuannya ke mana..?”, tanyaku memulai percakapan.
“Bandung”, jawabnya melempar senyum.
“Ouu.. Nama stasiun yang Akang tuju apa..?”, tanyaku bego’.
“Stasiun Bandung. Mau ke mana..?”, tanyanya balik tetap dengan senyum yang mengembang diantara dua pipinya.
“Cipadung Bang. Cipadung Permai”, aku sebutkan tempat Sekret HMI Cabang Kab. Bandung.
“Hmm.. Gak tau tuh Mas. Coba ntar ditanya ke petugas di stasiun aja Mas”.
“Oo.. OKe Kang. Makasih”, sambutku sambil menempatkan tas di bahu saat aku lihat plang Bandung tanda aku sudah sampai di Stasiun Bandung.
Setelah cuci muka dan sedikit menyegarkan badan, aku beranjak ke tepi jalan raya tempat menunggu bus seperti yang disarankan petugas toilet tadi saat aku cuci muka. Sambil menunggu, aku aktifkan kembali hapeku. Seketika 16 sms masuk dan telpon masuk dari Rumput LiaRKu. Setelah ngobrol beberapa menit, bus menuju Terminal Cicaheum datang. Segera aku menutup telpon dan berburu dengan calon penumpang lain menaiki bus. Sekitar 20 menit kemudian, aku sampai di terminal Cicaheum dan meneruskan perjalanan dengan angkot menuju Cileunyi, tempat kampus UIN Sunan Gunung Djati berada. Setengah jam kemudian, aku sudah berdiri di depan kampus UIN SGD dengan wajah kusut menunggu jemputan dari panitia pelatihan Intermediate. Cukup jauh tempatnya ditempuh dengan motor karena berada di belakang kampus.
Tak berapa lama, aku sudah memiliki 8 orang teman baru dari berbagai daerah. Bagus lah. Istirahat sejenak, sebelum kemudian melengkapi administrasi untuk syarat pelatihan. Sebelum memejamkan mata, masih teringat jelas kebimbanganku untuk mengikuti pelatihan ini dengan pertimbangan 3 hal tadi dia atas. Perihal nomor tiga yang paling aku sesalkan. Tapi dengan bagitu aku tau bahwa Muhammad SAW tentu tak main” saat bersabda bahwa di balik semua kenyataan yang tak nyaman selalu ada hikmah yang dapat kita ambil. Setidaknya, aku tau ada tujuan lain Tuhan mengikutsertakan aku tanpa Aniez.
Selengkapnya...
KKN; Benar" Mengobarkan Api Rindu..
Banyak hal yang aku rindukan. Namun yang aku tau, Kau menempati posisi istimewa dalam kerinduan itu. Tak banyak yang bisa aku lakukan untuk Manahan laju kencangnya rindu ini. Tanganku bergetar begitu saja tanpa memperdulikan kayu yang aku pegang. Aku sungguh terpesona dengan ingatan ini. Ingatan yang member kita sejuta alasan untuk saling merindu. Ingatan yang tak pernah ingin menghindar dari otakku. Ingatan yang tentunya akan mempertemukan kita lagi dalam balutan percaya. Ingatan itu tak ingin dan tak akan terhapuskan hanya karena jarak dan kesibukan ini.
Malam ini aku tak ingin meracau..
Walaupun sedang dihantam risau..
Hanya gelak tawa karena senda gurau..
Menemani dingin yang tak kunjung kemarau..
Tak tau kenapa harus rasakan temaram..
Padahal banyak senyum mengitari kelam..
Semakin ingin menjauh dari syahdu..
Melupakan yang pernah dialami sendu..
Tak sadarkah Kau aku merindu..??
Ingin bersua dan menjumpai wajahmu..
Bisakah Kau luangkan waktumu sejenak..??
Sekedar merespon rindu yang terlanjur sesak..
Selengkapnya...
KKN; Kekhawatiran di Tengah Perang Melawan Cuaca..
Hari keempat masih disibukkan dengan berbagai aktifitas mencari matahari. Duingiiin yang melanda tetap tak bisa kompromi dengan tubuh yang agak lunglai karena kantuk yang akut. Jadi mesti diperkuat dengan suplemen berupa sinar matahari.
Beberapa dari kami mencarinya di luar kamar, di teras depan lantai II rumah yang kami tempati. Sebagian yang lain mencarinya di bawah sambil jalan” mengelilingi kampung. Aku memilih yang pertama dengan Chandra, salah seorang teman KKN dari jurusan yang sama denganku. Kami tak hanya mencari matahari untuk menghangatkan tubuh, tapi kami juga mencari matahari untuk background foto. Maklum, Chandra anak AV dan kami berdua sama” menyukai fotografi sebagai sesama anak Ilmu Komunikasi.
Tak kunjung menemukan spot yang tepat, akhirnya aku berpindah ke dalam kamar. Sedangkan Chandra masih mencari-cari tempat yang pas untuk background foto dengan kawan KKN yang lain.
Sesaat kemudian, ada sebuah pesan masuk begitu saja dan memenuhi inbox Hapeku. Aku lihat, tertera nama Mb’ Happy. Nama salah seorang perempuan yang setahun belakangan ini menjadi teman. Mb’ Happy adalah Ketum KOHATI Cab. Malang saat ini. Aku hanya tersenyum dan mengernyitkan dahi saat pesannya aku baca. Tapi, pesan” selanjutnya membuat aku memicingkan mata dengan kekhawatiran yang tak biasa. Ini soal Rara, Rumput LiaRKu..
Ternyata oknum BPL Djogja yang sering disebutkan oleh Mb’ Happy dan Aniez kini telah berkenalan dengan Rara. Sesaat aku membayangkan bahwa tu anak berjabat tangan dengan Rara. Aseemmm.. Tapi pesan Mb’ Happy selanjutnya dapat menenangkan aku. Aku juga tak begitu risau sampai akhirnya Bang Seno, salah seorang senior Badko Jateng mengirimkan pesan mengingatkan seperti yang dilakukan Mb’ Happy padaku.
Tak butuh waktu lama untuk aku pencet beberapa tombol di ponselku buat memastikan pulsa yang tersisa.
“Assalamu’alaikum Sai. Sedang belajar kah..?? Sudah sarapan..??”, dua pertanyaanku lengsung membrondong panggilan yang Rara terima.
“Wa’alaikumussalam. Udah, baru saja. Sekarang lagi belajar. Kenapa Nyonk..?? Tumben nelpon..?? Biasanya selalu sibuk..?!”, jawabnya ketus.
“Hmmm.. Aku mendapat banyak laporan dari beberapa orang. Hmm.. Ada yang aku khawatirkan aja sich. Lukman (nama oknum brengsek BPL Cab. Djogja) kemaren sms Mb’ Happy kalo dia uda kenalan sama Kamu. Kamu tau kan yang aku khawatirkan..??”, penjelasanku langsung mengejar kelakar ketidak peduliannya.
“Iya. tapi gak kok NyonK. Orangnya biasa aja. Baik kok. Lagian jelek juga”, jawab Rara sekenanya.
“Jangan nilai seseorang hanya dari luarnya. Sudah ada fakta kalo dia bajingan”,
“Iya, aku ngerti. Tapi menurutku tu orang biasa aja. Jelek juga”,
“Emang kalo cakep, kamu tertarik..??”,
“Hahahaha.. Gak gak. Jangan berlebihan gitu donk NyonK. Gak mungkin lah”, jawabannya sedikit memberikan hiburan.
“Hmmmm.. Yauda, belajar. Siapin buat screening ya Sai. Ntar lagi ada kegiatan ini aku. Assalamu’alaikum”,
“He’em. Wa’alaikumussalam”,
Tak benar jika kita terlalu khawatir akan sesuatu yang tak pernah kita tau secara pasti kondisinya. Karena rasa ‘percaya’ adalah senjata penghubung yang akan menguatkan cintamu saat kekasihmu sedang berada dalam kejauhan. Tetapi, untuk menghadapi faktor lain yang menjadi noise eksternal tak cukup hanya mengandalkan rasa ‘percaya’.
Selengkapnya...
KKN; Perjalanan Memulai yang Konyol..
Kuliah Kerja Nyata, satu kegiatan kuliah yang sangat menguras pikiran di awal. Walaupun kadang menghadirkan tawa, tapi sangat melelahkan. Lelah yang tak biasa dialami oleh anggota biasa. Lelah yang harusnya tak terjadi jika kesadaran posisi dirasakan semuanya. Tapi inilah hidup, kerelaan me-lelah-kan diri untuk saling megisi ataupun memahami lainnya.
Pagi masih menampakkan kegetiran yang dirasakan langit. Cuaca semakin gak jelas dengan badai sedikit mirip Katrina. Setelah senang bercampur sedih melihat Rumput LiaRKu sedikit layu karena masalah keluarga dan beasiswaku yang sudah cair, aku harus bahu membahu bersama Aniez (HMI-Wati FE UMM sekaligus soulmate KKN) berjibaku menghadapi angin kenceng di perjalanan.
Usai mempersiapkan semuanya, kami berangkat melumpuhkan Landungsari yang saat itu sedang dicabut listriknya. Rinai hujan datang perlahan menghampiri perjalanan kami yang saat itu dipimpin Anis. Kami juga sempat berhenti di pom bensin untuk mengisi bensin (ya iyalah, masak ngisi aer). Beberapa ratus meter setelahnya, Anis yang sedari berangkat sudah mengenakan jas hujan menyarankan aku memakai jas hujan satu lagi yang ada di jok motornya. Dan sepertinya saran itu tepat, karena hujan kali ini tak turun satu persatu seperti di awal. Jadilah kami seperti guru olahraga dan batman nyasar.
Sesampainya di Batu, kami semakin dibredel oleh badai. Kami cukup kuat menahannya. Hanya saja, kekuatan itu seakan sirna di Songgoriti. Kami sempat berpindah tempat beberapa centimeter alias terbang.
“Aniissss..”, teriakku dengan suara kecil (bingung kan..?!!).
“Kiiidddd. Hahahahaha..”, ketawanya langsung muncul tanpa rasa takut.
“Aniss, mantaabb yang tadi. Hahahaha..”, aku ikutan ketawa karena emang lucu.
“Kid, fokus Kid. Hahahaha..”, ketawanya lagi.
“Mau diganti ta Aniss..??”, tawarku.
“Gak usah Kid. Cuma gitu aja”, jawab Anis sekenanya.
Sumpah, itu adalah kejadian memalukan bagiku. Gila, kami ringan banget cuii. Padahal barang yang kami bawa cukup banyak dan berat. Sementara Anis fokus pada perjalanan kami, aku tertawa dalam hati dan akhirnya aku keluarkan karena gak tahan. Maaf Anis, tapi beneran lucu. Hahahaha..
Perjalanan kami lebih berat saat hujan mulai deras dan angin lebih kencang menurunkan pasukannya hingga hawa dinginnya menembus helm yang kami kenakan. Songgoriti telah kami masuki. Rute jalan ini direkomendasikan Pak Iphul (ini Pak Syaiful atau Dian sebenarnya..??) karena lebih gampang dan dekat dariapada rute payung. Jalan yang menanjak benar” membuat kami khawatir satu sama lain. Tapi dengan gaya macho yang ditunjukkan Anis dalam mengemudi sepeda motor, kami sampai pada ujung jalan di kawasan Pujon (entah apa nama desanya..). Mulai dari sini, aku yang nyetir. Namun kami masih berhenti sejenak untuk bernafas dan memberikan rehat bagi tubuh kami yang sudah melakukan perjalanan tak biasa ini.
Kami sudah terbiasa hidup dalam tekanan sebenarnya. Sering banget kami melakukan aktifitas tak biasa yang sangat melelahkan. Hanya saja, jika harus menghadapi badai dengan kondisi seperti ini, sepertinya baru kami rasakan sekarang. Sehari sebelumnya saja, kami pulang pergi ke Kepanjen dengan tenaga minim karena abis keliling kampus nganterin undangan. Oke, kembali lagi pada cerita perjalanan kami. Anis masih menggerakkan badannya, kepala dan tangannya yang sedari tadi menahan dingin yang amat sangat. Wuihh.. Kami benar” menggunakan waktu sejenak ini dengan baik.
Setelah semenit istirahat, kami lanjutkan perjalanan ini dengan sangat hati”. Benar” hati”. Kami berjalan pelan tanpa suara (mana bisa bego’..??!!).
“Aniss, kita pelan” aja ya. Udah deket gini”, pintaku.
“Iya Kid. Kalau mau terbang lagi sich gapapa cepet”. Hahaha..”, ujar Anis.
Maunya sich sebenarnya cepat agar segera sampai pada tujuan dan terhindar dari cuaca ini. Tapi sepertinya tak mungkin. Cuaca semakin menghantam bertubi-tubi tanpa ampun. Kami sudah memasuki Pujon, beberapa kilometer harusnya sudah sampai. Tapi kami (aku sich sebenarnya) melakukan kekonyolan yang tak harusnya terjadi. Kami kesasar. Maklum, aku sekali saja ke Desa Ngroto. Jadi tak mungkin langsung bisa apal. Hahaha.. Tapi dengan sedikit ingatan yang sempat tertinggal tentang Desa Ngroto, aku berhasil menemui teman” KKN. Uaseemm..
Kedatangan kami pas banget dengan waktu makan. Kebetulan kami belum makan, dan aku sangat luaper cuii..
Teringat pesan beberapa teman bahwa pengalaman tak bisa dibagi, karena hanya kita yang bisa merasakannya. Tak peduli baik atau tidak, pengalaman tetap menjadi barang berharga yang bisa Kau ubah menjadi hikmah atau pelajaran untuk memastikan langkah menapaki jalan selanjutnya. Tetapi, jika pengalamannya kekonyolan seperti terbang dengan sepeda motor karena angin kenceng sepertinya pengen banget bisa dibagi. Bukan begitu Aniez..?!? Hahaha..
Selengkapnya...
Cerita Cinta; Maaf atas Kebencian yang Kau Alami..
Mungkin saat ini Kau ingin mengatakan padaku untuk pergi. Banyak yang Kau tau dariku kini. Dan Kau tak ingin aku datang lagi. Kau tak inginkan aku kembali. Kau telah menyimpan semua opini. Mengubahnya menjadi benci.
Tak pernah aku lakukan semua yang Kau benci dariku dengan hati. Bagimu percuma saja kini untuk mengobati. Sakit hati yang Kau derita sepertinya tak cukup terobati satu, dua atau tiga hari. Tak ingin aku sampaikan caci, apalagi maki.
Aku tak tau jika harus begini. Cintamu terasa telah pergi. Kadang kurasakan senyummu untukku seakan mati. Tak pernah terpikir ini yang akan aku beri. Kecewa yang selalu Kau rasakan kini. Bahkan perih, lelah lahir batin Kau hadapi dariku berkali-kali. Dan Kau hadapi sendiri. Karena seringkali tak aku tepati janji.
Maaf, aku tak ingin sekali Kau pergi. Kau selalu menjadi malaikat di hati. Walaupun sering aku ingkari. Tapi ingatlah selalu ini. Cintaku padamu sampai mati.
Selengkapnya...