Malam ini semuanya berlalu terlalu biasa. Bahkan sapaanku melewatimu tanpa terasa. Aneh, tapi itulah yang terjadi saat tadi hujan reda. Semuanya biasa. Aku sudah tak lagi bisa membuatmu tertawa. Seperti lupa caranya. Seperti tak lagi bisa. Semuanya seakan tak sama. Bukan aku lupa. Tapi aku tak bisa menghadirkan tawa. Tawamu yang biasa. Tawa yang sering Kau seunggingkan saat aku melempar canda. Semuanya berlalu biasa. Ya, terlalu biasa.
Senyum itu. Senyum yang dulu tergantung di dinding langit kamarku sungguh berarti. Kini seakan tiada artinya. Senyum itu. Senyum itu gemanya telah hilang dalam ruang. Tapi masih aku ingat senyum itu. Senyum yang lebih lebar, lebih lepas di bulan ini tahun lalu. Bulan Desember.
Mungkin sudah waktunya aku bebas. Bebas dari semua ingatan. Bebas dari kenangan. Semua yang membekas tanpa cerita. Semua yang tertinggal tanpa ada perubahan. Mungkin benar apa yang Kau perbuat. Kau harus segera beranjak dari tempatmu saat ini. Berdiri sendiri dalam hening malamku. Terus menerus meninggalkan jejak dari penglihatanku. Mengintip ke arahku dan memenuhi hampir semua pandanganku.
Sudah lama sekali aku ucapkan selamat tinggal pada senyum itu. Tekadku sudah lama aku kumpulkan untuk tak lagi melihat ke arahmu. Tapi apa dayaku. Kau selalu muncul. Bukan salahmu. Karena kemunculanmu tak pernah aku duga. Kau hadir begitu saja dalam kepala tanpa aku mau. Bahkan aku dapat melihat setiap senti senyummu. Senyum yang membelah batas kegialaanku. Senyum yang tak bisa menghentikan kerinduanku. Dan sayangnya itulah alasan aku pergi dan kini Kau harus juga pergi. Atau lebih tepatnya, Kau harus menghilang jauh dariku. Ah tidak adil. Harusnya aku yang memindahkan semua tentangmu.
Jika Kau tau, Kau adalah satu”nya alasanku malam itu untuk tersenyum. Seperti aku katakan Kau sungguh dekat malam itu. Bahkan aku bisa menyentuhmu jika aku mau. Tapi aku hanya membiarkan pendengaranku mendengarkan bisikmu. Bisik dengan senyum yang membungkusnya. Apa jadinya jika senyum itu Kau buka dan membiarkanku melihatnya..? Tapi aku. Aku yang selalu membuang dan mengalihkan pandangku. Walaupun beberapa kali aku menyebut namamu dengan sengaja. Sengaja agar aku mendengar suara lembutmu. Tapi itulah jadinya, Kau menjawab lirih tanpa pandangan tajam yang biasa aku lihat.
Malam ini sama saja dengan malam itu. Hampa seperti lubang yang sekarang bersarang di diriku. Seperti tidak pernah, sedang dan akan terjadi apa" di antara kita. Antara aku dan kamu. Antara hati yang tertutup kesunyian. Kesunyian yang lebih banyak menjadi temanmu. Teman yang selalu bisa membuatku cemburu. Cemburu untuk berada di posisi itu. Posisi yang ingin aku tempati. Bisa mendengarkanmu. Bisa memberikanmu semangat itu. Bisa memberikan semua yang ingin aku balas padamu. Bisa memberikan warna lain seperti Kau mengenalkan lebih dalam tentang kegelapan.
Aku tidak tau pada siapa tulisan ini akan tertambat. Aku tau ini hanya akar rindu yang merambat. Walaupun aku juga tau ini hanya akan menjadi alasan senyummu yang terlambat. Sangat berat. Tapi yakinlah hujan itu adalah sinergi awan dan air yang mengalun lambat. Lalu mengalir ke arah tujuan dengan tepat.
Kamu.. Kamu.. Kamu.. Kamu tidak akan mendengar nama yang selalu terpanggil di ruang hati ini. Begitu juga aku tidak akan mengerti apa yang Kau inginkan dari diri ini. Pergilah atau Mendekatlah..
Selengkapnya...
Berlalu dengan Biasa..
Hari Cinta Tanpa Syarat..
Pagi ini semua rinduku menyatu dalam sebuah gambar yang aku pasang di handphoneku. Sosok tangguh yang meracuni hampir setiap nafasku dengan semangat. Sosok lembut yang merengkuh semua senyumku terarah padanya. Tidak selalu anggun, tapi memiliki semua pesona yang aku butuhkan untuk terus berjalan. Ibu, itu Kamu..
Hari ini aku tidak merayakan dengan cara apapun. Aku hanya menulis berharap rinduku padamu terbayarkan. Aku tak bisa menghubungimu lewat sambungan telepon. Aku belum siap. Aku belum siap mengembalikan cahaya yang pernah Kau titipkan padaku. Memang tak mungkin bisa aku balas. Seumur hidupku. Tapi aku hanya ingin Kau pahami bahwa tak mudah mengucapkan terimakasih padamu. Benar Kau tidak melakukan apapun secara nyata. Benar Kau hanya berdoa tanpa terlibat lansung semua aktifitas hari”ku. Benar Kau jauh di sana. Tapi namamu. Namamu yang ada di setiap helai udara yang aku hirup ini menjadi kekuatan yang tak akan bisa dibelah dengan katana sekalipun.Aku tidak peduli pagi ini di luar sana, di Kedubes RI untuk Inggris dan Irlandia melakukan perayaan menyemarakkan hari ibu. Bagiku itu semua hanya ceremonial. Aku hanya peduli jika ada sendu yang melukaimu. Aku bahkan tidak akan membiarkan debu jalanan mengotori pandanganmu untuk melihatku. Melihat anak”mu. Jika harus memohon, aku ingin sekali berada di sampingmu saat ini dan mendekapmu. Aku tidak peduli jika langkahku harus berdarah mencapai tempatmu berpijak. Aku tidak peduli jika aku harus memikul air zam zam untuk membasuh setiap luka di kakimu.
Sampai hari ini sakitku masih belum sembuh. Tapi aku yakin tidak ada waktu yang Kau lewatkan tanpa menyebutkan namaku dalam doa. Mungkin Tuhan menahan doamu agar aku segera menghubungimu, hari ini. Tapi seperti yang aku katakan, aku butuh kekuatan besar untuk mendengarkan suaramu lagi. Aku tak bisa menahan suaramu untuk tidak memasuki ruang hatiku. Tapi Kau tau Bu, hati dan raga ini sudah penuh dengan kegelapan. Aku hanya tidak ingin mencampur suara suci Ibu dengan hal” busuk ini. Walaupun aku berharap Ibu bisa menghapus semua kebencian yang tersimpan dalam di rongga sialan ini.
Aku butuh tanganmu Bu. Aku butuh sentuhanmu Bu. Aku butuh belaianmu menyibakkan setiap lembar rambutku. Tangan itu sangat hangat. Dalam keadaan sakit seperti inipun, aku bahkan tidak takut lagi terkena air hujan. Sentuhanmu sangat lembut. Aku ingin sekali Kau menggenggam syahdu yang hingga saat ini bersemayam dalam diriku. Jika Kau di sini sekarang, bolehkah aku memelukmu Bu..? dan ingin sekali aku mendengar darimu ‘tentu saja boleh, Nak’.
Pagi sebentar lagi memutih dan memantik matahari untuk menyengat lebih terik. Aku sudah tak sanggup menuliskan kerinduan ini padamu. Aku tidak ingin air mata ini habis sebelum bertemu denganmu. Aku tidak ingin menghabiskan waktu bersembunyi di balik bayangmu. Saat ini aku harus siap mendampingi ayah untuk melindungimu. Aku sudah bukan 23 tahun lalu Bu. Aku ingin menggeser peranmu sebagai malaikat itu. Aku sedang berada di jalanku mendampingi ayah menjadi malaikat bagimu.
Satu hal lagi Bu. Siapapun yang aku cintai saat ini, Kau tak berhak cemburu. Level cinta dan rindu ini tak akan pernah sama dengan lainnya, dengan dia yang masih tersenyum dalam bisu. Karena potongan cinta ini milikmu selalu. Selamat Pagi Bu..
Selengkapnya...
Sakit, Kamu dan Malam Itu..
Terlalu banyak rindu yang berkelabat malam ini. Semuanya melintas tanpa ketukan. Semuanya hadir dengan rima yang tak sejalan. Semuanya mendikte sendu untuk segera menepi. Membelenggu keinginan untuk tetap berdiri. Tapi aku terbaring tanpa perisai. Meringkih letih dan tertatih lunglai.
Hujan sudah membasahi Surabaya sejak sore. Aku sengaja berada di kamar untuk tak lagi melihatnya. Melihat hujan yang akan meluruhkan kesehatanmu. Aku tak mampu beranjak seperti sebelumnya. Aku hanya bisa tersenyum dengan angkuh. Menahan sakit yang tertanam dalam di kepalaku.
Hari ini bahkan aku tak mampu beraktifitas seperti biasa. Aku terkapar sakit di kamar ini. Kamar yang penuh dengan sembilu. Kamar yang tak lagi mampu menahan sandaran keringatku. Aku hanya ingat bagaimana sialnya hari ini. Aku hanya bisa memaki bagaimana sesalnya hari ini. Aku bahkan tak bisa mendiskripsikan perlawananku selama 28jam terakhir melawan sakit ini. Sial..
Malam itu sekali lagi aku melihatmu. Sangat dekat hingga aku bisa menyentuhmu jika aku mau. Ingin sekali aku menggenggam tanganmu dan mengusir dingin yang membungkusnya. Tapi seperti biasa, aku hanya mampu melihatmu dengan hati. Aku tak bisa menggunakan indera lainnya. Bahkan hanya untuk menyapamu aku tak sanggup. Sial, apa hati ini sudah menempatkanmu dalam posisi istimewa hingga begini saja aku butuh keberanian yang sangat banyak..?!
Malam itu aku bisa mendengarkanmu dengan jelas. Meskipun suaramu samar dan berbisik, tapi angin dan pekat malam itu dengan terarah mengantarkannya pada pendengaranku. Bagaimana tidak, kau begitu dekat. Sangat dekat. Aku tak hanya bisa memandangimu, tapi aku juga mampu merasakan getarmu. Tapi entahlah, cerita ini tak lagi sama meski semuanya masih normal seperti dulu.
Malam itu, waktu yang telah kita lalui dengan seksama. Satu”nya yang mempertemukan kita adalah kebodohan. Bukan rindu bukan pula syahdu. Bullshit dengan keduanya. Kebodohan karena aku terlalu lama meracuni diriku sendiri dengan namamu. Kebodohan karena aku menganggap dirimu akan selalu berada di tempat yang Kau pijak kini. Kebodohan karena aku selalu berusaha menahan haru dan rindu ini dalam dekapan. dan kebodohan” lainnya yang mungkin Kau lebih banyak tau.
Malam itu adalah cerita yang tak akan pernah lagi terulang saat kita bertemu di kemudian hari. Aku masih ingin meluluhkan kerasnya dinding hatiku sendiri. Aku harus mampu melihatmu saat berdiri. Aku tidak ingin terus berlari. Aku hanya tidak ingin bersandar dan menepi. Aku lelah jika harus terus bersembunyi. Aku selalu berusaha mengusir sepi. Tapi sekuat apapun aku berusaha, senyummu selalu mengikuti.
Malam itu semuanya hampir terungkap menyibakkan tirai. Semua yang tak terlihat. Semua yang tersembunyi. Semua yang hampir membuatku gila. Semua yang pernah dan sedang membuatku teraniaya sepi. Semua denting yang hanya aku, kamu dan biru malam ini yang tau. Semuanya melebur dan tak lagi memperlihatkan bekas luka yang selalu Kau bicarakan.
Selengkapnya...
Malam, Mendung dan Masih Merindumu
Malam ini mendung tak lagi nampak seperti hari” sebelumnya. Tapi sama seperti bintang, mendung itu selalu ada meskipun tak terlihat. Tidak selalu di langit. Kadang kita mengira saat awan menutupi langit yang kita pandangi, bintang tidak ada. Sesungguhnya jika Kau menyibaknya, bintang” itu masih di sana. Sama. Mendung juga demikian. Namun mendung yang ini bukan karena ribuan rintik hujan akan turun. Bukan pula karena rinai hujan akan mampir membasahi bumi yang aku pijak. Jauh dari itu, ini karena aku tak bisa lagi menghadirkan senyuman itu..
Sudah lama, lama sekali aku tak lagi mendengar suaramu. Bahkan aku tak pernah tau kabarmu dari mulutmu langsung. Dunia ini serasa begitu luas. Aku harus menempuh jarak berkilo” untuk menemukanmu. Aku hanya tau bahwa Kau saat ini tak lagi baik” saja karena kekecewaan yang menghinggapimu. Mungkin akan terdengar sangat menyederhanakan, tapi hadapi sja. Itu sudah jadi konsekuensi. Dikecewain dan mengecewakan saat Kau benar” ingin membuktikan kecintaanmu. Itu hal lumrah saat Kau menyimpan nama himpunan ini di hati.
Kau hebat, tak salah aku menaruh rasa suka padamu. Padahal aku butuh waktu setahun lebih untuk menggeser nama” di hati hanya untuk menempatkan nama, symbol dan semua dedikasiku untuk himpunan ini. Aku bahkan gila saat itu. Sangat menggilai himpunan ini. Sama seperti aku merindumu dengan gila. Padahal sekali lagi aku ingin sekali membunuh ingatan wajahmu di kepalaku. Tapi selalu tak bisa.
Kau tau, malam ini wajahmu hampir memenuhi semua layar komputer saat aku melakukan aktifitas daily-ku. Walapun kini Kau telah menghilang jauh dari pandanganku. Sialnya, aku tak bisa membohongi pendengaran dan setiap ragaku bahwa api ini tak pernah padam. Tulisan ini aku tulis tanpa semangat tak seperti biasanya, tapi aku harus menuliskannya. Jika tidak, aku bisa tambah gila menyebut namamu. Aku tak ingin kekuatanku terbenam dan ragaku remuk menahan rindu ini. Sampai jumpa.
Selengkapnya...
Sebuah Pelajaran Tentang Duka
Luka hati akan mati jika jiwa terus menari dan bermimpi..
Hari ini tepat sepekan lalu aku bertemu dengan seorang perempuan, adik perempuan atau tepatnya adik kelas. Sudah dua tahun sejak pertemuan terakhir dengannya. Tak banyak perubahan yang aku lihat dari dirinya. Mungkin siang itu aku hanya melihat perubahan dari wajahnya yang agak pucat dan kehitaman. Akhirnya aku tau darinya kalau dia sedang dalam masa penyembuhan setelah sakit beberapa waktu lalu.
Siang itu seperti biasa, anak ini selalu ceria dalam bicara. Melemparkan senyum pada setiap kalimat yang dilontarkan. Selalu menyelipkan semangat dalam setiap geraknya. Dua tahun lalu aku sudah melihat itu berkali-kali dari dirinya. Tapi siang itu aku merasakan apa yang Ia perbuat begitu beda.
Siang itu, aku menyusuri panasnya Malang bersamanya dengan sepeda motor matic yang aku setir. Cerita” dari masing” kami kisahkan menemani perjalanan lumayan jauh ini. Cerita tentang kuliahnya, asmaranya, asmaraku, kegiatannya serta kegiatanku kami habiskan di setengah perjalanan yang kami lalui. Tapi tiba” darahku berdesir setelah perjalanan kami hampir mencapai tujuan.
Luka hati akan mati jika jiwa terus menari dan bermimpi..
Perempuan ini bercerita tepat di belakang telingaku. Hingga aku mendengar suaranya dengan jelas. Aku bisa dengan tepat mendengar intonasi bicaranya. Aku dapat dengan seksama mendengarkan setiap lembut tarikan nafasnya saat dia mulai bercerita bagaimana duka yang Ia terima selama dua tahun ini. Entah apa yang ada di kepalaku saat aku menghitung total dia kehilangan empat orang yang Ia sayangi dalam kurun waktu tersebut. Dua sahabat yang sudah Ia anggap seperti saudara, satu pria yang ia sebut kekasih serta seorang ayah yang sangat Ia cintai.
Secepat kilat, kepalaku kembali flashback pada apa yang terjadi padaku di Oktober lalu dengan setumpuk masalah yang sudah aku posting sebelum tulisan ini di blog. Terutama kehilangan Abah. Kisah perempuan ini menyadarkanku bahwa duka dan kesedihan bisa datang kapan saja pada kita, tanpa permisi, tanpa toleran, mungkin tanpa bahagia yang datang bersamanya dan duka itu bisa merenggut siapa saja.
Aku sedikit lunglai mendengar kisah”nya. Aku berusaha fokus pada caraku menyetir sepeda motor ini. Aku bahkan berusaha mendekatkan telingaku agar aku lebih dalam merasakan kesedihannya. Dari spion yang mengarah padanya, aku melihat matanya. Mata itu. Mata yang memancarkan kesedihan, namun terbesit ketegaran. Dari setiap suara yang dia keluarkan, aku merasa hatinya sangat sekali ingin menunjukkan ketabahan. Namun sepertinya tak bisa karena sedih ini terlanjur dalam dan menyayat setiap inci hatinya.
Luka hati akan mati jika jiwa terus menari dan bermimpi..
Banyak hal di dunia ini penyebab duka dan gugurnya kebahagiaan. Namun Tuhan sudah berjanji bahwa saat kesulitan datang, kemudahan hadir bersamaan dengannya. Walaupun tidak semua manusia dapat dengan sadar secara penuh bahwa ada suka yang terselip dalam dukanya.
Aku kembali tersentak saat sesampainya di Surabaya, aku menyempatkan melihat beberapa photo dirinya di akun facebook miliknya. Tak hanya sedih, tapi dia juga menyimpan sendu yang sangat gelap. Dia juga tak henti memendam serta menanggung rindu yang sangat dalam pada orang” tersebut. Namun begitu, gurat kesedihannya tak tampak saat pagi dan siang menghujaninya dengan banyak cahaya yang membuat matanya silau. Mungkin Ia percaya bahwa percuma sedih atau menangis. Air mata itu pasti akan segera kering di hadapan cahaya matahari.
Dan sialnya, hingga hari ini, sudah seminggu aku tak dapat melupakan ketajaman tekadnya itu di balik pilu yang Ia alami. Benar aku belum mengerti apa” tentang duka jika dibandingkan dia. Tapi aku cukup percaya bahwa luka hati akan mati jika jiwa terus menari dan bermimpi..
Selengkapnya...
Eine Hoffnung, Bye Oktober
Saat tulisan ini sampai di paragraph kedua, aku menarik nafas panjang sedalam”nya. Banyak sekali sedih yang aku alami di bulan ini. Banyak sekali kesialan yang aku dapatkan. Banyak kesalahan yang aku lakukan setiap harinya. Bahkan tak terhitung kekeliruan yang menghampiriku dalam sepekan terakhir. Sial, bodoh sekali.
Semua rencana yang sudah aku tuliskan selalu berakhir dengan kecewa. Padahal, sudah aku tempatkan whiteboard di balik pintu kamarku. Berharap saat aku bangun atau berencana keluar kamar, aku mengingat semua rencana di setiap harinya. Tapi, mungkin mataku terhalang untuk melihatnya atau aku terlalu bodoh untuk membuat eksekusi rencana. Pada akhirnya, kekuatan niat yang berbicara. Mungkin niatku terlalu lemah untuk mengantarkanku pada setiap gerak.
Kerjaanku hampir berantakan. Beberapa kali aku sering telat. Bahkan tak hanya satu atau dua menit, tapi pernah satu dan dua jam. Itu terjadi dua kali di awal bulan ini. Terdengar gila dan sangat ceroboh. Tapi itu terjadi. Walaupun sebenarnya aku memiliki alasan, saat itu aku tidak enak badan. Tapi tetap itu tidak termasuk alasan untuk telat dan diucapkan pada atasan di kantor.
Aku sering melakukan kesalahan di kantor. Tapi di bulan ini, kesalahan itu tambah membesar dan hampir mendekati fatal. Aku tak ingin menuliskannya. Itu hanya akan membuat merasa sangat bangsat-nya aku. Bahkan kemarin, aku menghadiri rapat evaluasi divisi yang dihadiri semua anggota, tapi hanya membahas kesalahan dan evaluasiku. Ya hanya buatku. Jadi, rapat itu dibuat hanya untuk aku. Benar” gila. Apa yang sudah aku lakukan sejauh ini. Di sela” break rapat, aku sempatkan menelpon Ibuku. Bukan manja. Mungkin kedengaran terlambat, tapi aku menghubungi beliau untuk meminta maaf. Maaf untuk sesuatu yang belum aku sadari dan menyakiti beliau. Beliau sangat bijak dengan mengutip satu ayat al-Qur’an. ‘Ibu sudah maafkan. Minta tolonglah pada Tuhan. Jadikanlah shalat dan sabar sebagai penolongmu. Dan jangan lupa bahwa di kamarmu ada al-Qur’an yang harus Kau baca’. Istimewa sekali. Hmmmm.. Kondisi ini sangat menyulitkanku. Sangat. Tapi entahlah, yang penting saat ini dari rapat evaluasi itu aku sudah menyadari di mana letak kesalahan” yang aku perbuat.
Oktober 2013 ini juga memberikanku duka yang mendalam. Dalam satu tulisan sebelumnya di blog ini, aku menyebutkan duka ini sangat mengejutkan dan mendalam. Aku tak bisa membahas lagi duka dan luka ini. Semua keluarga merasa kehilangan. Apalagi nenek, ibu, paman dan bibiku. Mereka adalah orang terdekat abahku. Belum lagi istri dan anak” Abah yang sekarang menjadi janda. Aku tak dapat dengan mudah mengingatnya. Aku malah tak ingin mengingatnya. Terlalu menyakitkan.
Kesialan yang tak kalah hebatnya adalah aku tak dapat dengan benar dan serius menjalani aktifitas mahasiswa-ku. Skripsiku tak selembar pun aku sentuh dan satu hurufpun aku tulis lanjutannya. Sejak empat hari lalu, aku membiarkan kamarku berantakan dengan banyak tulisan dan reminder untuk meneruskan skripsi. Berantakan sekali. Ditambah dengan cucian yang belum aku setrika, Koran dan kabel di mana”. Kerusakan ini akan tambah parah jika debu yang bertebaran juga dihitung. Entahlah, sementara aku lebih nyaman dengan kamar yang seperti ini.
Aku juga melakukan banyak kesalahan pada organisasi”ku. Sebenarnya bisa saja tak usah dipedulikan. Tapi aku sangat layak mendapat julukan jahannam jika tak aku pedulikan. Aku sudah dipercaya dan sudah mendapati amanat ini. Dua di Malang dan satu di rumah. Gila kan. Ketiga”nya posisiku sebagai orang nomor satu dalam struktur. Mungkin benar apa yang pernah dikatakan Kak Reza padaku, ‘Kau bukan adikku yang aku kenal dulu. Semangat, selalu memiliki keinginan, selalu membuatku iri karena prestasimu dan saat ini Kau hanya menjadi pecundang dengan tidak menghiraukan kepercayaan banyak orang’. Apa yang dikatakannya sangat dalam dan membuatku berpikir panjang. Walaupun dia akhiri dengan ‘Walaupun begitu, aku dan yang lainnya masih terus di sampingmu’.
Terakhir, aku mengacaukan komunikasiku dengan beberapa teman, lalu juga Kau. Jika membaca tulisan ini, tolong maafkan aku Kawan. Aku tak bermaksud menaburkan duri” tajam dalam komunikasi persahabatan ini. Aku hanya belum bisa berbenah diri. Bahkan, semalam aku kesulitan mencari orang untuk aku hubungi. Hanya untuk sekedar bercerita. Beruntung aku memiliki Mb’ Iseh yang setia di hape, pulsa karena nomornya sama dan selalu mendengarkan apa yang ingin aku keluhkan dari busuknya kondisi ini. Kak Aziz dan Kak Hakim tak mungkin aku ganggu dengan urusan ini. Mereka berdua fokus bekerja dan menghidupi keluarga kecilnya. Mungkin kabar gembira Oktober ini adalah telah lahir seorang anak, seorang ponakan, seorang cucu, seorang cicit bernama Alif di Surabaya. Anak Kak Hakim. Pekan lalu aku dan keluarga menjenguknya sebelum mengantarkan pamanku ke Bandara Juanda.
Dan untukmu, ya Kau. Aku juga minta maaf padamu untuk beberapa alasan aku bersembunyi darimu. Padahal aku sangat ingin bertemu denganmu, menyapamu lalu memegang erat tanganmu dan menanyakan kabarmu. Tapi aku terlalu lemah untuk melakukan itu dan hanya bisa memberikan tiga hal yang akan membalut dan menjaga ragamu, pergelangan tanganmu dan hatimu.
Siang ini aku tau beberapa hal, aku butuh dua hal untuk kesialan dan kesalahan” yang aku lakukan. Jam tangan dan jam alarm.
Selengkapnya...
Merindukan Malammu
Malam ini terlalu membosankan. Semua sentuhan rindumu kembali menyapa kamarku yang mulai berantakan ini. Tak hanya mengalun di telinga, tapi juga membuat dadaku berdesir. Entah bagaimana Kau melakukan ini. padahal kemarin pagi, aku hanya melihatmu dari atas. Melihatmu duduk di sepeda motor dengan kaos putih bergaris hitam dan jilbab hitam menutupi kepalamu. Aku tak sanggup menyapamu hingga Kau berlalu dari pandanganku dengan deru bising sepeda motor itu.
Aku merasa malam ini begitu tegas menyayat resahku perlahan. Begitu nyata dan merobohkan caraku bertahan. Aku seperti kehilangan. Sebuah pesan datang menghampiri dinding kamar dan memintaku untuk sandaran. Aku ingin sekali menghiraukan. Karena malam ini sudah menghadirkan pekat dan menghalangi pandangan. Bahkan aku tak dapat menghentikan tangan mendera dua lembar kertas dengan goresan.
Sudah lama sekali aku tak melewati malam dengan rindu yang begitu hebat padamu. Padahal kesibukan ini sudah lama membelenggu kisahmu. Ingatan tentangmu hanya berakhir dalam lelap. Tak pernah kembali dalam rasa ingin bertemu. Sekedar kekakuan melihat senyummu dari beberapa gambar. Tapi malam panjang dengan suhu 35 derajat celcius di kota ini, wajah dengan rona anggunmu datang. Menghinggapi semua ketulusan dan mendekap kehadiranku untuk segera berlabuh. Tapi sayang sekali, aku ingin menghindarimu dan bayangmu, berlari ke arah pohon cempaka kemudian berteduh.
Tidak sekali ini juga rindu datang menyakiti, tapi baru malam ini mataku menjadi saksi. Aku begitu tergugah. Aku terpesona. Aku ingin sekali bicara padamu. Sungguh aku ingin ucapkan satu kali saja kegelisahan ribuan kata. Sudah lama sekali aku terdiam dalam hening yang tak tau kapan berakhir. Sekali lagi mataku menjadi saksi kelunya bibir ini. Saksi kakunya raga ini. Saksi tak berdayanya hati ini dalam rindu.
Hingga malam ini akan berakhir, hanya kesunyian datang menemani. Benar katamu, kesepian adalah teman yang setia. Menempa celah dalam jiwa untuk kuat. Memberikan sedikit bayang senyummu dalam semangat. Terus begitu hingga aku tak lagi mampu mengingat. Setiap detil wajahmu. Setiap centi senyummu. Setiap huruf dalam bisikmu. Setiap desah dalam suaramu. Setiap gores jejakmu. Setiap lembar nafasmu. Semua tentangmu abstrak dalam setiap tetes tanyaku.
Selengkapnya...
Duka yang Mendalam Hari Ini
Entahlah.. Hingga aku menulis ini, tak ada air mata kesedihan yang aku kucurkan untuk kepergian Abahku yang meninggal dini hari tadi karena kecelakaan sehari sebelumnya (16 Oktober) di Lamongan. Tapi bagiku, tulisan ini begitu emosional. Bukan karena kecelakaan itu juga mengambil nyawa dua menantunya yang berkendara dengannya di mobil Avanza itu, tapi karena Abah adalah manusia yang memberikan aku banyak kesempatan. Kesempatan hidup dalam kubangan sendu. Kesempatan mengenyam pendidikan hingga sejauh ini. Kesempatan belajar untuk ikhlas. Kesempatan mengambil setiap hikmah dari luka. Kesempatan untuk berdamai dengan kerasnya jalan menuju impian. Kesempatan untuk terinspirasi agar selalu menunduk dan down to earth yang hingga hari ini tak bisa aku lakukan secara penuh. Benar Tuhan yang memberikannya, tapi itu semua lewat Kamu Abah. Lewat Kamu.
Kejadian kemarin tiba" juga merenggut nyawamu. Abah, kepergianmu tak hanya menyisakan luka bagi kami. Tapi juga merenggut hampir semua ceria yang ada hari ini. Bahkan, jika dari sana Kau melihat aku tertawa, itu karena aku sedang menghibur adikku yang ditinggal ayah dan ibu untuk menjemputmu di rumah sakit. Ada luka dan sedih yang menganga dari dalam tubuh ini. Aku lunglai Abah. Aku pilu. Aku remuk saat mendengar Kau tak lagi bisa menyambung nyawa menyusul dua menantumu yang meninggal di tempat dan setengah jam setelah dilarikan ke rumah sakit.
Kesedihan ini jelas menyisakan isak tangis yang tak sebentar Abah. Kau semacam salah satu cahaya yang dikirim Tuhan pada keluarga besar ini. Kau memang bukan satu”nya, tapi Kau yang memulainya. Kau sudah menjadi tangan yang selalu terbuka untuk Kami raih. Kau adalah raga yang selalu siap untuk Kami peluk saat Kami risau. Kau adalah langkah yang kami tiru gerakannya. Kau adalah api yang membara dan sangat panas untuk menginspirasi agar Kami selalu berbagi.
Kami tidak pernah tidak mencintaimu. Kami selalu menggapmu lebih dari sekedar kakak sepupu dari orang tua kami. Kami selalu menggapmu sebagai ayah, sodara dan teman untuk bicara. Aku tidak pernah tau seberapa besar porsi sayangmu pada masing” dari Kami. Aku, Kak Aziz, Mb’ Iseh, Kak Hakim atau Kak Reza. Aku tidak pernah tau. Tapi aku selalu tau bahwa Kami sangat mencintaimu. Menyayangimu. Merindukan setiap detik pertemuan dan bercanda bersama. Aku juga tidak tau siapa yang paling Abah sayang diantara Kami, tapi Kami tak peduli hal itu. Setiap kali Abah menemui Kami, yang Kami pedulikan hanya sebuah cara agar bisa duduk denganmu tanpa sungkan.
Abah, kebaikanmu mengajarkan banyak hal hari ini pada Kami. Kebaikanmu mengajarkan Kami cara bersedih yang tepat. Kebaikanmu selama ini mengajarkan Kami agar selalu siap untuk suatu saat berduka. Kebaikanmu mengajarkan Kami untuk selalu kuat dan bersatu padu jika suatu saat ditinggalkan lagi. Semua orang pasti akan menemui ajalnya. Semuanya. Tapi hal itulah yang membuat aku, Kak Aziz, Mb’ Iseh, Kak Hakim dan Kak Reza selalu tau dan sadar bahwa ada tangan dan senyum di keluarga ini saat Kami menemui masalah yang tak bisa dipecahkan sendiri.
Kami berlima sudah cukup tua untuk Kau lepas. Kami ikhlas. Kami, kecuali Kak Aziz, hanya sedih tak bisa bertemu denganmu saat terakhir kali Kau datang ke rumah. Itu adalah penyesalan yang sangat menyedihkan. Kini Kami hanya bisa melihatmu, mengenangmu, merindukanmu lewat gambar dan photo yang tersebar di mana”.
Saat tau Kau sudah tiada, aku ingin sekali meluapkan kesedihan. Tapi saat itu, terlalu banyak orang di rumah. Tetangga dan kerabat jauh berdatangan di rumah. Aku hanya tak ingin terlihat lemah. Sejak dulu, aku tak bisa menangis di depan orang lain. Apalagi jika manusia di depanku itu adalah perempuan. Itu Kau dan ayah yang mengajariku.
Saat menulis ini, aku sedang di kamar Kos, sedang siap” untuk kembali bekerja. Tapi Kau tau Abah, saat menulis satu paragraph di atas, air mataku tak henti mengalir dan membuatku sesenggukan. Berlembar” tisu di samping laptopku penuh basah dengan air yang aku uspa dari mataku.
Abah, entah bagaimana cara menyampaikannya. Kami minta maaf atas setiap detik yang pernah Kau lewatkan dengan amarah pada Kami. Kami hanya kumpulan ponakan yang kadang menyebalkan. Kami minta maaf jika itu pernah terjadi. Apalagi, saat aku kecil dulu, aku sering sekali meyentuh kulit yang mengganti jempolmu yang hilang karena kecelakaan juga. Aku selalu memainkannya karena lucu. Itu saja. Tak ada maksud lain. Karena saat kecil dulu, aku hanya mencari hiburan dari semua orang.
Banyak orang di rumah yang mengatakan Kau meninggal saat sudah menuntaskan semuanya. Semua tanggungan. Semuanya. Walaupun Kau tidak sempat tau bahwa Ce’ Nana dan Ce’ Masadeh saat ini menjadi janda. Tapi percayalah Abah, itu hampir benar bagi Kami. Kami berlima pun juga sudah bersiap bertempur di kehidupan yang nyata. Walaupun aku dan Kak Reza masih terjebak di kehidupan dunia mahasiswa yang belagu, tapi Kami berdua sudah hidup berdampingan dengan realitas yang kejam ini.
Kami berlima akan menjaga rumah yang dihuni keluarga besar di sini. Kami akan menjaga para orangtua yang berada di dalamnya. Kami juga akan mendedikasikan semuanya pada lima plus dua generasi kedua selanjutnya setelah kami di sini. Kami berjanji.
Selengkapnya...
Jauh Dari Jarak Pandangmu
Tak banyak yang bisa aku lakukan malam ini. Aku hanya bersembunyi dari panas yang tak tau malu menyerang hawa malam. Aku hanya berusaha menghindari kebusukan siang hari di balik pintu kamar. Aku hanya menulis, dan berupaya seolah tak ada apa”. Aku hanya ingin membunuh bosan yang sudah lama menggelayuti raga.
Sekali lagi kembali sebuah bayangan menjelma dalam sebuah teks. Mengantarkanku untuk berlaku kejam dan tak sopan padanya. Perlakuan biadab yang sebelumnya pernah aku terima. Tapi aku tak ingin mengenangnya. Kenangan hanya akan menjadi hantu di sudut pikiran. Harusnya juga Kau tanamkan itu. Karena apapun yang Kau alami saat itu, itu hanya memperlambat tanganmu untuk menyambut cahaya lain yang lebih terang.
Aku ingin meredupkan sebuah keinginan. Keinginan yang tak bisa aku penuhi hanya dengan sebuah tekad. Aku tak bisa bergerak dalam sunyi dan berteriak dalam senyap. Aku memutuskan untuk lelap dalam lelah. Sekalipun sendu terus bertahan dan nyaman berada dalam tubuh mungil ini, aku terus mengingat pedihnya yang tak sebentar.
Pintu kamarku masih terkunci dari dalam. Segelas kopi dan beberapa batang biskuit tepat berada di sebelah kanan notebook dan buku catatan kerjaku. Di atasnya sebuah bolpen berada jauh dari tutupnya. Sebuah suara langkah kaki diam” mendekat dan berhenti di depan pintu. Seorang teman membuka dan menyapa dari baliknya. Dengan senyum yang dibuat”. Sama seperti kebekuan ini. Kita hanya membuatnya seolah besar dan tak bisa diperbaiki. Padahal sebuah senyum dan segelas teh sebenarnya cukup mencairkannya. Mengantarkan kita pada satu arah yang tak akan berbeda. Hanya saja sebuah nada pernah aku dengar dengan lembut dan tak bersuara menghampiri dan mendekam semua semu. Kemudian terluka.
Aku seringkali membuatnya terasa mudah. Atau setidaknya seakan-akan mudah seperti yang tampak. Tapi aku salah. Banyak yang tidak mengerti. Kau pun juga demikian. Menyimpulkannya sendiri. Terluka dan saling menyalahkan kemudian. Karenanya aku takut membicarakan tentang hati. Padamu dan pada siapapun. Maka aku tuliskan saja pada secarik kertas. Lalu aku akan aku simpan pada sebuah tempat. Sebuah tempat jauh dari penglihatanmu dan hanya aku yang dapat mengubahnya. Mungkin suatu hari aku akan mengirimkannya ke.. entah ke mana.
Tapi sialkulah, Kau selalu bisa menemukannya. Aku kira awan hitam yang aku kirim bisa menghambat langkahmu. Tapi aku salah. Kau dengan mudah berteman dengannya. Kau tiba” menangkapnya dan menuliskan sebaliknya. Maka aku putuskan untuk pergi saja. Jauh dari pandanganmu. Jauh dari jarak pandangmu. Jauh dari jalan yang bisa dengan mudah Kau rasakan. Biarlah tersimpan. Mungkin akan lebih aman.
Selengkapnya...
Katakan Saja..
Rasanya hawa pagi di kamar ini memunculkan keinginan untuk tetap menulis setiap hari. Entah motivasi apa yang ada di baliknya, yang pasti aku menikmatinya. Sama seperti saat ini aku sangat menikmati hembusan udara penuh wewangian di kamar ini. Kamar yang sangat nyaman untuk beristirahat sebenarnya setelah melakoni aktifitas sangat melelahkan. Namun, keinginan ini menunda sejenak tubuhku berbaring. Apalagi, seorang teman penghuni kamar sebelah, dengan kencang menyetel lagu” milik Sheila On 7. Hampir tak ada alasan untuk tidak terjaga.
Katakanlah..
Udara pagi ini juga yang mengantarkanku untuk kembali menelusuri jalan pikiranmu. Jalan pikiran yang tak pernah aku tau dan aku tebak. Aku seperti terjerembab dalam gerombolan ombak. Mengalir kencang dan memaksaku untuk terus bergerak. Mendikte iringan langkah di tepi air laut yang riak. Saat ini aku sungguh ingin mendekati ragamu dan berteriak. Sungguh, ini bukan karena aku baru saja minum dan tersedak. Tapi akibat degupan jantung yang tak beraturan terus berdetak. Bisakah Kau tak mengatakan tidak. Karena aku terus menghampirimu agar Kau jujur pada dirimu sendiri hingga Kau terdesak.
Katakanlah..
Dunia ini bukan lagi arena bertaruh dalam kesenjangan. Aku masih belum peduli pada topik” di luar sana yang selalu mengantarkanku istirahat lebih sedikit dari orang lain. Kasus Djoko Susilo, desas desus pencalonan Djokowi untuk jadi presiden, Ahmad Dhani yang sampai saat ini masih mengkhawatirkan kesehatan Dul, adanya mobil murah, langkanya kedelai hingga rivalitas Ronaldo-Bale dan Messi-Neymar yang mulai berlangsung. Aku masih hanya peduli pada alasanmu untuk tidak kembali membuka mulut kecilmu berkata. Berkata padaku apa yang Kau rasakan tanpa menutupi.
Katakanlah..
Bukan saatnya lagi Kau berada pada kebimbangan. Kau sudah melewati masa” itu dengan baik. Masa” dua tahun lalu yang selalu Kau takutkan. Masa” penuh rasa sakit yang sangat menguras emosi. Masa” sendu hingga Kau mengeluarkan air mata tak sedikit. Masa” keraguan untuk tetap menjalani hidup atau terus mengurung diri di kamar. Bukankah Kau sudah katakan padaku bahwa semua itu kebodohan. Kau juga mengatakan bahwa semua itu sudah berlalu dan tak ingin lagi mengingatnya. Bahkan Kau juga mengatakan bahwa setiap orang yang ada di sini, di Bumi ini, memiliki masa lalu yang ingin dihapus. Itu Kau yang mengatakannya. Mengatakan padaku. Mengatakan tepat di telingaku.
Katakanlah..
Aku tidak ingin memaksa kehadiranku untukmu. Aku hanya ingin melihatmu tak lagi berada dalam kubangan penyesalan dan kesedihan. Kau harus tersenyum. Senyummu, walaupun tak merepresentasikan kejernihan jiwamu, sangat tulus bagi orang yang melihatnya. Tak ada orang yang tak menyukai senyummu. Senyum yang selalu berhasil menghipnotis kepedihan orang” di sekitarmu. Senyum yang kadang berhasil dengan mudahnya membuat orang lain langsung terpana. Senyum yang sangat indah. Senyum yang suatu saat akan Kau tunjukkan padaku tanpa penghalang.
Katakanlah..
Katakanlah apapun yang ingin Kau katakan. Katakanlah sesuatu agar Kau tau apa yang sebenarnya menjadi keinginanmu. Katakanlah apa yang menjadi permintaan hatimu sebenarnya. Katakanlah. Katakanlah jangan ragukan jeritan hatimu. Katakanlah dengan lantang. Telinga dan ragaku siap mendengarkan semua kata yang akan Kau katakan. Katakanlah. Kau sudah lama menganiaya semua kata. Kau sudah terlalu lama menyandera semua kalimat. Kau tak bisa lagi memenjara semua huruf” itu.
Katakanlah..
#haikamu, ingatlah satu hal. Saat Kau berpikir bisa menghidarkan semua bahasa itu dariku, jangan pernah berpikir bisa menyembunyikannya dari Tuhan..
Selengkapnya...
Rindu Dalam Doa
Hari ini pagi, siang dan soreku menyatu dalam kebisingan. Aku tak bisa menyembunyikan kekesalan yang begitu saja muncul saat aku menemui soreku. Oh, tidak, tapi sore yang menemuiku. Membangunkan tidurku hingga aku merasa pagi dan siang meninggalkan semua keluh kesah yang ingin aku sampaikan.
Aku tidak tau pasti apa yang terjadi pada rindu yang sempat menghantuiku. Seakan musnah tanpa kelakar yang selalu tersembunyi dalam teks keheningan. Seakan hilang tanpa sendu yang selalu membuncah saat pikiranku tak bisa membendung bayangmu hanya dengan berpikir. Seakan senyap tanpa suara yang selalu berbisik lembut di setiap organ dalam tubuhku sampai aku gila. Entah apa yang terjadi. Aku tak bisa menemukan alasan dan jawabannya. Aku hanya bisa merasakan Kau lebih dekat. Sangat dekat. Hingga seakan wajahmu tepat berada di depanku dengan amarah yang membuat cantikmu memuncak.
Kebisingan sore ini semakin menjadi-jadi saat masjid di kompleks tempatku tinggal mengumandangkan adzan pada pukul 16.21. Katanya ada kegiatan pelepasan calon jemaah haji yang dilakukan sedari tadi. Mungkin adzan tersebut untuk menguatkan tekad dan niat mereka sebelum berangkat ke Sukolilo untuk menunggu kloter. Atau jangan” mereka memang baru shalat Ashar. Entahlah, apapun itu semoga kalian diberkahi dan dirahmati Allah. Semoga juga aktifitas hajimu mabrur sepulangnya nanti.
Samar” aku mendengar suara rindumu di sela” kebisingan tadi. Semakin jelas di telingaku saat aku kembali mengingat sebuah kabar dari seorang saudara-yang-aku-pilih semalam. Semacam kabar dan respon baik darimu. Semoga saja begitu. Karena aku tau Kau juga tak bisa menepikan rindu itu. Rindu yang juga mengalir deras dari pandanganmu. Tapi bagaimana mungkin aku bisa mendengar suaramu di tengah kebisingan yang tak sebentar itu. Aku hanya bisa tersenyum dalam kagetku. Apakah itu yang dinamakan rindu suci. Rindu yang tak pernah diungkapkan satu sama lain. Rindu yang memuncak saat keduanya tak saling bertemu, mengirim pesan teks tapi diam” saling mendoakan. Yaahh, akhir” ini aku sering mendengar kalimat itu dari Sudjiwo Tedjo.
Apa Kau melakukan hal yang sama..? Menyelipkan namaku di setiap doamu seperti yang aku lakukan..? Seberkas senyummu selalu hadir saat namamu aku sebut dalam doaku. Menggantikan bayangan senyum wajah lainnya yang aku sebut namanya bergantian.
Sore ini cepat berlalu dan lenyap dalam gelap malam. Aku masih duduk di depan notebook ini menceritakan semua keluh yang tak mungkin aku sampaikan pada lainnya. Tidak juga padamu. Karena sudah lama aku tak mendengar suaramu. Sudah lama sekali Kau sembunyikan dariku. Sudah lama sekali Kau hindarkan suara manjamu itu di telingaku. Sekali lagi, apapun yang terjadi, aku hanya berharap Kau baik” saja menjalani rutinitasmu di sana.
Selengkapnya...
#mancing
Malam ini hanya beberapa bintang yang bisa aku hitung di langit Surabaya. Semua sinarnya tampak memudar dalam barisan cahaya bulan. Angin diam” mengalun lembut diantara dua mataku yang tak bisa terpejam purna. Letihku masih bisa aku tahan di balik gelap kamar tanpa penerangan. Bahkan ragaku masih memaksa untuk kembali membuka beberapa kertas tanpa bahasa. Bahasa kesendirian yang tak mungkin aku ejawantahkan. Bahasa keramaian tanpa objek yang pernah aku tuliskan. Bahasa yang pernah terjerembab dalam kebisuan sedu sedan. Bahasa rindu yang memaksaku untuk menulis teks ini untuk sebuah derita.
Malam ini akan terasa sangat panjang. Bukan karena lelapku tak bisa aku arahkan. Bukan juga karena hawa panas Surabaya yang tak tau malu. Atau bukan karena besok aku akan menjalani psikotest di jalanan. Tapi karena aku bingung mendeskripsikan rindu yang sudah berlangsung lama, rindu yang tak bisa aku sampaikan padamu. Walaupun aku tau Kau juga merasakan hal sama jauh dalam hatimu.
Belakangan ini aku selalu berupaya mengajakmu berkomunikasi. Aku sudah tak tahan untuk menyapamu. Sudah seringkali aku menyakitimu dengan tak merespon semua senyummu saat bertemu denganku. Bahkan mungkin Kau membenci sikapku yang tak membalas pesan” teks yang Kau tujukan padaku. Yang terakhir, aku bahkan sengaja memalingkan wajah saat tawa renyah dan senyum manismu penuh dengan keterkejutan itu Kau arahkan padaku. Tentu aku melakukannya bukan tanpa alasan.
Beberapa waktu belakangan ini Kau begitu sulit dilihat. Aku bahkan tak bisa membaca yang terjadi melalui matamu. Dua pesan teks yang aku kirim berakhir tanpa respon. Sampai saat ini aku masih belum tau alasan Kau melakukannya. Mungkin Kau kembali jengah dengan desas desus di rumah KITA itu. Atau Kau kembali muak ada gosip yang membuatmu malu untuk memijakkan kaki di rumah itu. Tapi yang jelas dan terjadi padaku, keenggananmu membuat malam”ku penuh derita. Entahlah, aku hanya berharap Kau baik” saja menjalani rutinitasmu. Jauh dari demam yang beberapa hari lalu membelenggumu.
Kau tau, kebekuan ini membuatku hampir gila selama sehari lalu. Malam hariku selalu dipenuhi dengan imajinasi tak logis seperti kebanyakan urusan asmara lainnya. Sometimes, aku ingin menjadi sesuatu yang bisa selalu Kau sentuh. Kadang juga aku ingin menjadi udara yang selalu Kau hirup dan Kau butuhkan. Aku tak tau harus menjadi apa diriku agar Kau selalu melihatku. Melihat bagaimana rindu ini menyesakkan dada. Melihat bagaimana keramaian ini begitu sendu tanpa hingar bingar suaramu. Melihat bagaimana aku diam tanpa langkah untuk melihatmu dari kejauhan.
Aku tau Kau juga memiliki semua keresahan yang memuakkan ini. Tapi Kau harus lebih kuat karena aktifitasmu tak mengijinkanmu berada dalam titik jenuh ini. Diamlah di situ, di tempat Kau duduk dan memimpin kumpulan manusia itu. Diamlah dan jangan Kau hiraukan kabut rindu yang sedang melandamu. Lebih banyak yang membutuhkanmu di tempat Kau berdiri saat ini. Bahkan Kau menjadi idola dan harapan baru bagi himpunan itu dengan posisi yang saat ini Kau rengkuh. Diamlah. Jangan mencariku, berjalan ke arahku atau bahkan mengejarku. Suatu saat aku yang akan menemukanmu.
Kau boleh benci pada jarak ini. Pada semua hal yang memisahkan kiloan meter tempat kita berada. Kau juga boleh benci padaku jika suatu saat nanti ada pria lain yang berusaha lebih gigih daripada aku untuk mendapatkanmu. Hmmm.. Kau mesti sadari, bahwa Kau sangat mudah dikagumi seperti kataku. Kau juga mesti akui bahwa Kau sangat mudah untuk dicintai. Alasan lama yang pernah aku katakan, bahwa aku tak ingin memasung keinginan orang lain untuk mendapatkan senyummu. Walaupun aku tau hatimu hanya untuk aku taklukkan.
Kau harus tau bahwa setiap gerak kecilmu mampu meledakkan degup jantung pria di sekitarmu. Kau harus sadari bahwa senyum kecilmu mampu me #mancing semua pasang mata untuk terpana. Setiap detik anggunmu bisa saja membius semua langkah terhenti. Setiap perilaku smart-mu dapat dengan mudah dipahami sebagai pesona bagi yang lain. Tapi Kau harus tau, bahwa jika nantinya bukan tanganku yang Kau genggam, aku tetap tersenyum untuk kebahagiaanmu.
Selengkapnya...
Gute Nacht, Itu Saja
Bagaimana malammu..?
Sampai saat ini aku masih percaya bahwa keluarga adalah segalanya di luar urusan vertical dengan Tuhan. Keluarga tak hanya penting, tapi menjadi alasan untuk semua aktifitasku di semua malam 23 tahun ini. Walaupun, tak semuanya aku lakukan dengan benar. Kadang lalai, kadang terlaksana sesuai harapan.
Bagaimana malammu..?
Malam ini aku masih terbelit rindu pada semua orang yang menjadi keluargaku. Tak hanya kelu, tapi menderu hingga membelenggu. Aku bukan seorang anak, cucu, ponakan, sepupu, adik atau kakak yang cengeng dan selalu home sick. Tapi aku hanya seorang anggota keluarga yang terus menyematkan nama” keluarga di hati. Ya, di hati. Di hati dan tak akan terhapus sampai nanti. Selalu ada nama mereka di setiap doa yang aku panjatkan.
Bagaimana malammu..?
Aku masih heran, kenapa sebagian orang masih menganggap keluarga adalah ayah dan ibu serta sodara kandung saja. Atau lebih luas dikit dengan istri/suami, nenek, paman dan lainnya yang pernah hidup dengannya di rumah. Menurutku, teman juga adalah keluarga. Teman yang membingkai hidup kita saat kita tak di rumah. Teman adalah pegangan saat kita menggenggam rasa senang dan tercederai rasa sedih. Teman adalah pertanyaan saat lingkunganmu menjadi gelap. Teman adalah jawaban saat matahari terlalu terang untuk kita lewati sendiri. Teman adalah tongkat yang menopang semua inspirasi. Lebih dari itu, teman adalah keluarga yang kita pilih.
Bagaimana malammu..?
Kita lahir dari seorang perempuan dengan laki” di sampingnya. Kemudian kita menyebutnya orangtua. Itu adalah takdir Tuhan. Semua sodara ayah dan ibu adalah paman, bibi, pakdhe, budhe dan semacamnya kita menyebutnya. Itu adalah konsekuensi. Anak” dari sodara/i orangtua kita sebut sepupu. Ayah dan ibu dari mereka, kita sebut nenek dan kakek. Sodara kandung yang lebih dulu dan setelah kita lahir, kita sebut sebagai kakak dan adik. Itu semuanya konsekuensi takdir Tuhan. Jika mereka adalah keluarga, kita tak bisa memilih siapa keluarga kita. Ada yang kita suka dan ada yang kita tidak suka. Tapi kita tak bisa membuangnya, karena konsekuensi tadi.
Bagaimana malammu..?
Nah, di sinilah teman hadir untuk pilihan. Seperti yang saya sebutkan di atas, kita memilih teman untuk ikut meramaikan kehidupan kita. Fungsinya hampir mirip dengan keluarga utama kita. Menjadi teman sharing, curhat, berkeluh kesah, berbagi dan lainnya. Saat senang dan sedih, tentu keluarga utama adalah sasaran untuk berbagi. Saat jauh, bisa kita lakukan lewat ponsel dan layanan komunikasi lainnya. Tapi saat kita butuh sosok secara fisik, teman hadir memberikan harapan itu walaupun kadarnya tak sekuat keluarga utama. Karena itu, teman adalah keluarga yang kita pilih. Dan aku selalu rindu barada di tengah kehangatan my family and my chosen family.
Bagaimana malammu..?
Mungkin Kau masih sibuk dengan dunia barumu. Dunia organisasi dengan jabatan sangat urgent di dalamnya. Mungkin juga Kau masih meragu dengan dunia lalumu, dunia dua tahun lalu. Atau mungkin Kau masih mencari alasan untuk tak menyambut pesan” itu. Apapun yang sedang Kau lakukan, semoga harimu menyenangkan. Itu saja.
Selengkapnya...
Canggung
Kamarku masih dalam kegelapan. Cahaya hanya masuk melewati jendela kecil di sudut ruangan tempatku tidur ini. Gorden yang menutupinya masih rapi menahan serbuan cahaya dari luar. Samar” aku mendengar suara adzan berkumandang di langit Surabaya. Sepertinya sudah saatnya Ashar. Padahal baru saja aku selesai meeting dan ingin sekali istirahat, karena tengah malam nanti aku harus kembali duduk di kantor melakoni rutinitas kerja yang belum bisa aku abaikan.
Rutinitas ini juga ternyata yang membuatku harus menahan langkah kakiku untuk pergi ke acara pernikahan seorang teman, sahabat dan sodara kemaren di Malang. Entahlah, aku sangat kecewa tidak bisa menghadiri acara besar itu. Padahal tak hanya menjabat tangannya dengan hangat, tapi kekecewaanku juga pada tak bisa berkumpul dengan sodara” lainnya yang ikut hadir meramaikan. Bayu, maaf.
Sore ini aku masih bergelut dengan huruf” untuk menggambarkan rinduku padamu. Seorang perempuan. Seseorang yang tampak mempesona dan hampir menyita semua kebekuan tengah malamku hampir setahun ini. Sempat aku mendengar suaramu dari kejauhan kemaren. Suara yang tak bisa menuntaskan kerinduan sebenarnya. Tapi bersyukurlah beberapa teks pesan masuk menyesaki inbox hapeku darimu.
Melihatmu benar” tak pernah mudah. Apalagi jika harus menatap wajah dan mata tajam penuh keangkuhan itu. Mata yang penuh amarah dan membuat anggunmu memuncak. Mungkin saat itu semua orang akan terpana melihat betapa sosokmu sangat mudah dikagumi. Kau hanya tak menyadarinya. Walaupun aku yakin merelakan, tapi tak sedikit kecemburuan ini menggugah raga untuk terus menyapamu dengan salam.
Lihat saja nanti, Kau harus melihatnya sendiri. Lihatlah betapa dirimu terlalu takut untuk menyadari bahwa Kau butuh cerita cinta. Lihatlah juga bahwa tangan ini selalu bergetar untuk dapat mengusir dingin yang membungkus tanganmu.
Jangan Kau tanyakan kenapa sapa dan tanganku tak pernah menyentuh aroma indah sosokmu. Taukah betapa canggungnya tingkahku..? Karena saat aku sengaja atau tidak menatapmu, Kau beri aku lagi senyuman mautmu. Aku hanya melihatmu, melihat punggung dan kerudung merahmu dari atas. Kau masih sama cantik seperti dulu ternyata. Masih tetap manis, anggun dan smart. Sekalipun tak pernah Kau sadari bahkan menyangkal setiap tuduhan itu.
Kau hanya cukup terima semua tudingan itu tersemat padamu. Aku juga tak akan memaksa semua rindu ini terbentang hanya untuk mengarahkan semua senyummu padaku. Aku tak peduli pada perasaanmu, karena itu tak akan mengubah canggungku padamu. Maka, aku akhiri saja tulisan ini.
Selengkapnya...
Kabut Rindu Malam Hari..
Sampai saat inipun aku tak tau bagaimana rindu tetap menggila padamu. Bahkan aku sudah tau jawaban dari semua pernyataan yang smepat aku lontarkan padamu. Aku juga tau makna dari setiap pertemuan senyum kita yang beradu saat matamu memaksa mataku menahan cahaya itu. Aku tau ada tembok yang tak bisa Kau lewati untuk tersenyum langsung padaku. Aku tau ada dinding yang begitu tebal yang tak mungkin Kau langkahi. Aku tau ada ruang kosong yang tak ingin Kau tempati sementara ini. Dan tentu aku menghormati itu, karena aku menyukaimu untuk tidak memiliki.
Bagaimana jika semuanya terhenti.
Aku tidak ingin menempatkan tanda tanya di belakang kalimat di atas. Karena aku tidak ingin bertanya dan karena aku tidak ingin ada jawaban darimu. Entah itu menyenangkan ataupun melelahkan, tapi itu hanya akan memperlebar luas rinduku padamu. Kau mungkin tak pernah merasakan rindu segila ini. Rindu bukan pada kekasih hati. Rindu hanya karena senyum yang manis, sikap yang anggun dan tutur yang smart. Itu Kau. Yeah, itu Kau. Bahkan aku tak ingin menjelaskannya padamu.
Kadang aku harus mengusir kabut. Menghantam semua sesal karena kalut. Menenangkan resah yang sudah semakin ribut. Aku hanya bisa sedikit fokus pada dinding yang dipenuhi semut. Saat menemukan setitik gula, mereka berebut. Berpikir hanya bisa diam dan takut. Tak pernah terpikir untuk dihibur sekalipun oleh badut. Itu semua tentang Kamu yang menatapku dengan lembut.
Kau pikir aku benar” sendu. Menahan letih panjang karena syahdu. Itu saat aku menyebut dan mengingat tak sengaja namamu. Nama yang tak pernah henti menghantam biru. Menghitamkan semua gelisah tanpa tersipu. Mungkin dalam hatimu menyimpan haru. Tapi wajah dan senyum itu berhasil menipu. Tapi tidak bagiku. Kau adalah perempuan yang tak mudah berbicara tapi tak lugu. Walau kadang Kau berusaha lucu. Aku memang tak tau semua tentangmu. Tapi aku berusaha memahami setiap senyummu yang palsu. Kamu dan semua tentangmu yang selalu aku rindu.
Bisakah aku mengimbangimu. Bisakah aku menaklukan hidupmu. Sudahilah tinggimu dan sisakan hidupmu denganku.
Selengkapnya...
Sedikit Tentang Maudy dan Selamat Ulang Tahun Buatmu..
Sudah lama sekali aku tak menikmati karya sastra dari seorang teman. Terakhir kali saat masih SMA. Saat itu aku dikelilingi banyak sekali teman yang hobi menulis sastra bahkan berkompetisi. Namun di bangku kuliah, hal itu tak aku dapatkan. Seorang teman yang juga penikmat sastra malah enggan untuk menuliskannya. Seorang teman lagi hanya ingin tulisannya tak dinikmati orang lain karena hanya sebuah prosa pendek yang malu untuk dipublikasikan.
Entah kenapa aku begitu antusias untuk membaca karya sastra seorang teman. Mungkin saja karena usia yang sebaya akhirnya perbincangan tema yang akan aku nikmati lebih mengena. Jadinya, karya sastra yang aku baca tiap minggu adalah milik A.S. Laksana, Ki Slamet, Sudjiwo Tedjo, Mulia serta Goenawan Muhammad tiap bulan. Kadang sesekali baca sastra milik Pram dan Dewi Lestari atau Pak Guru Sumardianta. Walaupun sebenarnya lebih berbobot, tapi sharing bersama mereka jauh lebih minim. Akhirnya kehausan untuk membaca karya sastra milik seorang teman meninggi.
Beberapa kali aku pernah memaksakan menulis pada pacarku dulu yang sekarang sudah jadi mantan. Dia juga penikmat sastra dan hobi menuliskannya. Tapi setelah menjalani hubungan denganku aku tak pernah melihatnya menulis. Kamudian, dua tahun lalu pernah aku bertemu seorang adik kelas perempuan yang juga adik semasa SMA dulu mantanku. Dia penikmat sastra dan juga hobi menuliskannya. Tapi aku hanya membaca tiga tulisannya saja karena akhirnya dia sibuk dengan kegiatan ekstra kampus yang begitu banyak bahkan membuat dia tak jarang keluar kota dan luar negeri.
Kemudian dua bulan lalu ada seorang adik kelas perempuan yang mengungkapkan kekagumannya pada tulisan”ku di blog dan tiba” minta diajarin menulis. Bahkan dia meminta tulisan”ku yang lain yang tak aku sertakan di blog. Akhirnya aku memberikan sebuah syarat jika ingin membaca tulisan”ku lainnya, dia harus mengirimkan tulisan orisinilnya padaku. Walaupun tidak hobi menulis apalagi karya sastra, tetapi dia sanggup membuat dua tulisan dalam dua hari hanya untuk membuatku percaya. Gila. Keinginan dan antusiasnya sangat tinggi. Selain manis, anggun dan smart, tulisan sastranya sangat lumayan bagi seorang pemula. Sehingga aku menyukainya hingga sekarang. Tapi sayang sekarang dia selalu berkutat dengan tugas” kuliahnya yang mendekati UAS sehingga tak ada lagi tulisan yang bisa aku baca darinya. Dan aku harus memakluminya.
Di saat seperti itu, beberapa hari yang lalu aku menemukan teman yang hobi menulis. Dia adik kelas. Seorang perempuan yang sudah menginjak semester akhir kuliah. Dia tidak bisa dibilang penikmat sastra, tapi dia mulai menyukai karya sastra. Sehingga tulisan”nya saat ini terpengaruhi oleh urat sastra. Dan jadilah aku rajin memeriksa blognya setiap saat. Makin hari tulisannya begitu menggugah. Kadang dengan ending yang mengagetkan kadangpula dengan ending yang menggantung membuat rasa penasaranku semakin membuncah untuk segera menikmati tulisan selanjutnya.
Tulisan ini sebenarnya adalah tanggapan dari permintaannya untuk dinilai. Aku tak memiliki kredibilitas untuk menilai tulisannya. Tapi karena memaksa, akhirnya aku menulis ini untuk dia baca. Sebenarnya aku ingin bertemu langsung atau setidaknya mengirimi pesan padanya. Tapi dengan waktu dan ruang yang tak begitu banyak, aku memilih menuliskannya di sini aja. Oke, mulai.
Pertama, mengolah. Aku tak tau di mana Kau mendapatkan inspirasi. Tapi hampir semua penulis menemukan sebuah inspirasi dari pengalaman. Pengalaman yang dimaksud tak hanya penglaman pribadi, tapi juga bisa dari orang lain. Sepertinya Kau memiliki inspirasi tersebut dari keduanya. Namun, Kau butuh cara mengolah yang kreatif agar tulisanmu tak sama persis dengan pengalaman tadi. Kisah based on true story sekalipun tetap memiliki perbedaan dari kisah aslinya dengan proses mengolah yang kreatif tadi. Dan Kau, suka Dancow. Oh, maaf salah. Dan Kau, sudah melakukan yang benar. Pengalaman yang Kau rasakan atau yang Kau dengar dari teman, Kau tulis dengan cara mengolah yang asik untuk dituliskan.
Kedua, karakter. Setiap penulis awalnya meniru gaya idolanya menulis. Kadang walaupun bukan idolanya, tapi karena kekaguman pada sebuah tulisan seseorang akhirnya ide itu muncul untuk dilakukan atau ditiru. Aku dulu juga demikian. Hingga menurut Pak Guru J. Sumardianta dan Hernowo dalam balasan emailnya serta beberapa teman yang membaca tulisan”ku di blog dan artikel, akhirnya tulisanku sudah memiliki karakter. Hal ini yang belum aku lihat pada tulisanmu. Memang membutuhkan moment atau kadang waktu yang tidak sebentar untuk memperoleh karakter itu. Sehingga nantinya gaya dan style tulisanmu sudah terlihat pembaca hanya dari judul. Aku menebak, tulisan ‘JARAK’ adalah adaptasi atau terinspirasi dari ‘SPASI’ yang Kau baca saat aku tunjukkan buku Dee. Itu tak jadi masalah. Karena kadang dari imitasi, kita akan memiliki karakter tulisan itu.
Ketiga, SELAMAT ULANG TAHUN.
Selengkapnya...
Siang Ini..
Pagi ini tak lagi menghangatkan Milo yang aku seduh. Mendekam atap kamarku yang hanya berisi lemari dan kasur. Atau hanya sekedar menyapa hujan di luar jendela. Pagi ini terasa hambar akibat gemuruh emosi semalam. Emosi yang harusnya tak aku terima saat aku lebih tegang menyaksikan Indonesia sama agresifnya menyerang pertahanan Belanda. Emosi yang menhentikan gelak tawaku sesaat dan kembali menghanyutkan diri di depan layar sialan yang membuat mataku kurang tajam dan iritasi.
Komposisi lagu Dark Paradise dari Lana Del Rey masih mengalun lembut mengitari setiap denyut sel di otakku saat tulisan ini diketik. Pagiku tak selalu dihantam dengan kabar baik. Menyergap kesunyian dan hanya menyisakan kepasrahan untuk tetap menjalankan atifitas seadanya. Namun kadang menelan semua senyum dan mengecilkan kicauan burung yang menyeka hening di sela-sela jendela kamarku.
Hawa panas Surabaya sedikit aku rasakan saat jarum kecil jam dinding di kamarku menunjukkan angka 11. Aku tak ingin lekas bergegas mendera kebusukan udara yang aku hirup di luar sana. Aku masih ingin merasakan nikmatnya alunan New Perspective-nya Panic! at The Disco yang meramaikan komposisi setelahnya dari Mika; Relax, Take It Easy. Menyendiri karena malam yang menghimpit kesadaran dan mengunci setiap neuron di satu titik bukan gayaku. Tapi himpitan itu berlanjut dan dengan buas menyempitkan spasi siang serta membuang beberapa helai kerlingan mata yang biasa aku terima.
Bahkan adzan Dhuhur pun serasa enggan masuk dan menjejali kamarku. Sungguh sial. Aku tak bisa lagi menuliskan apa yang ada di kepalaku saat ini. Semuanya terasa remuk hanya karena beberapa pesan panjang semalam yang menyesaki inbox hape dan kepalaku. Itu benar” mengganggu. Semacam shock therapy yang sangat kejam. Membuat aku dan tubuhku linglung untuk sesaat. Membuat 2 mesin pendingin yang menempel di dinding kantor serasa tak bekerja. Keringat, perlahan aku rasakan membasahi kulit kepalaku dengan sedikit hembusan angin.
Entahlah. Aku tak lagi ingin mengingatnya. Rasanya gatal dan merobek kejelian yang aku miliki. Keangkuhanku mengecil sehingga tanganku tak lagi bisa bekerja. Sial. Padahal aku percaya Tuhan meletakkan semua daya otakku di anggota tubuh ini. Saat” seperti ini aku ingin wajahmu hadir menhentikan kerisauan.
Selengkapnya...
Akulah Pendosa Rindu Itu..
Aku mengurung diriku layaknya seorang pendosa yang sadar akan kejahatannya. Menyeka setiap kejadian hanya untuk diri sendiri. Menengadahkan tangan untuk para korban yang ada di Oklahoma City USA karena terjangan badai tornado. Kemudian kembali memalingkan wajah dari senyum manismu yang masih menggelayuti mata dan pikiranku. Hanya saja, Tuhan masih sangat baik padaku dengan tidak menyesakkan udara yang aku hirup. Jika itu terjadi, aku akan kehilangan moment untuk bertemu denganmu lagi suatu saat nanti. Dan aku tidak ingin itu terjadi. Sungguh.
Aku sudah terlanjur mengikat rinduku padamu. Pada setiap detik ingatan tentang wajah dan gerakmu. Ini bukan prosa tanpa objek seperti yang lalu”, tapi ini adalah tulisan rindu yang aku sampaikan padamu dan berharap Kau baca. Jika tidak, aku akan simpan rindu ini hingga Kau datang di pelupuk mataku dengan senyum itu. Entahlah. Aku tidak ingat apa” tentangmu selain senyum dan wajah manismu itu. Gayamu yang anggun dan mempesona setiap pandangan tak sengajaku padamu. Kemudian cara berpikirmu yang smart hingga aku tak sanggup mendera keramaian akan suaramu di pikiranku.
Semoga Kau mampu menjadi Khaylilla bagiku. Aku berharap Kau tumbuh besar dan mengajarkan dunia tentang berbagi. Aku berharap suat saat nanti Kau menjadi pemimpin dan memberikan pada setiap manusia lainnya hak bebas dari rasa takut serta rasa tertindas. Seperti Khaylilla juga, Kau juga nanti akan mengajarkan anak kita berbagi dan memberi lebih dari apa yang kita lakukan saat ini. Maka saat itu Kau akan mendengarkan Khaylilla Song dariku.
Hujan tak lagi mampir di Surabaya pagi ini. Semilir angin dan dingin yang aku rasakan tak lagi dari cuaca di balik jendela yang aku buka. Hembusan udara kencang ini dari kipas angin yang aku nyalakan untuk mengusir setiap keresahan karena jauh darimu. Kau mungkin tak sadari bahwa kerinduan ini hanya milikmu. Aku tak tau pada siapa rindumu Kau arahkan. Tapi jika nanti Kau ingin melepaskan rindumu, aku berharap kedua rindu ini bertemu di persimpangan jalan tak lagi terpisah.
Sudah lama sekali aku tak mendengar kabarmu. Bahkan mencuri pandang senyummu saja aku tak sempat. Kita terpisah jauh. Aku tak ingin merasakan rindu ini sendiri. Rindu ini terasa indah apalagi jika Kau hadir di sini. Sayangnya, rindu ini membelenggu langkahku untuk menemukanmu dan menghalangi pendengaranku untuk tau kabarmu. Rindu ini semakin kacau dengan abstraksi direksi rindumu.
Aku hanya seorang pendosa yang tak sanggup melampiaskan rindu ini padamu. Menemuimu. Atau setidaknya mengatakannya padamu. Apalagi mengungkapkan sesuatu di balik rindu ini. Tak pernah aku menyangka sejauh ini langkahku. Aku juga tak pernah mengira akan sedalam ini aku menderita karena rindu ini. Rindu ini terlalu menyakitkan. Rindu ini bahkan menjelma menjadi kegilaan. Menjadi ketidakwajaran. Menjadi duri yang dipenuhi harapan kosong. Rinduku padamu layaknya drugs.
Selengkapnya...
Kejahatan Pagi Hari..
Pagi ini hujan membasahi hari pertamaku di Kota Pahlawan. Menyisakan genangan air yang harus aku lewati dengan kaki” kecilku. Aku bahkan harus melompat dengan kuat atau mencari celah di trotoar untuk menyebrangi genangan ini. Sebuah aktifitas yang aku inginkan juga untuk melewati genangan kenangan saat aku bertemu dan melihat setiap senti senyummu. Wajahmu terlalu sulit untuk aku lupakan. Benar” sulit.
Pagi ini Surabaya diguyur hujan dengan lalu lintas yang padat. Bahkan dari Suara Surabaya Radio, aku mendengar ada aktifitas kriminal yang dilakukan oleh tiga preman di daerah sekitar ITS tadi jam 06.22 pada sebuah mobil dengan memecahkan spionnya. Aku ingat bahwa aku juga melakukan kejahatan padamu di setiap pagiku dua bulan terakhir ini. Memikirkanmu adalah tindakan kriminal bagiku.
Wajahmu tak hanya mampu menyihir setiap pagiku dan menyesaki siangku, tapi juga melumpuhkan soreku dan menghangatkan malam” dinginku di Malang. Bahkan saat aku mencoba melukis pagiku, hanya senyummu yang muncul untuk aku deskripsikan. Sungguh keterlaluan. Aku tak sadarkan diri saat memikirkanmu. Memikirkan setiap jengkal pertemuan sekilas yang pernah ada. Padahal aku sudah berusaha untuk tak menemuimu. Tapi Tuhan selalu mempertemukan Kita di saat” yang tak terduga.
Berat rasanya memulai pagi ini. Pagi yang mengharuskanku bergelut dengan dunia baru di dunia jurnalistik. Mengintegrasikan on air journalism dengan new media. Ditambah lagi hujan membungkuk dan tak kunjung menghadirkan sebuah jawaban untuk hangat yang sedari tadi menyapa. Dan Kau. Kau hadir di tengah” mereka. Kau hadir di setiap pandanganku. Kau menyapa setiap cuaca untuk mampir di diriku hingga aku merasakan springtime lebih awal. Aku ingin sekali menepikanmu. Karena terlalu sakit saat aku tak menyapa pagimu atau membaca pesan larut malammu dengan bahasa Lucas Podolski itu.
Kau tau, hati dan raga ini terlalu mengharapkanmu hingga kagum menjadi duri.
Selengkapnya...
Kau dan Lingkaran Jiwamu..
Kau dan Lingkaran Jiwamu..
Aku telah salah meragukan niatku selama ini. Hampir saja aku mengirimkan mawar untukmu dan senyum yang mengembang di bibirmu. Bahkan aku sudah mengikat sebuah taman untuk aku berikan padamu dan setiap gerak kecilmu yang meledakkan hatiku. Entahlah, tapi aku pikir Kau tak berhak menerima satu tangkai kesedihan yang akan menghapus pesonamu dan menghalangiku menikmati keanggunanmu.
Kau dan Lingkaran Jiwamu..
Bukan maksudku untuk melukai setiap detik pertemuan kita. Tapi aku tak sanggup menerima milyaran cahaya yang terpancar dari wajah manismu. Aku ingin menutup mata. Aku ingin sekali tak melihatmu. Bahkan aku ingin memalingkan muka saat Kau hadir di depanku. Aku katakan aku tak sanggup melihat senyum itu. Senyum manismu. Senyum yang akan membuatku luka jika sedetik saja Kau menghilang dari pandanganku. Karenanya, aku memilih melihat bumi yang kita pijak saat pembicaraan berlangsung antara Kau dan aku. Atau mungkin antara kerinduanku dan wujudmu.
Kau dan Lingkaran Jiwamu..
Aku sudah tak lagi meragukan niatku. Aku harus jauh darimu. Aku menyukaimu lebih dari sekedar teman. Dari awal aku sudah sangat mengagumimu. Aku menyukai semua yang ada dalam dirimu. Bahkan aku menyukai setiap detil yang ada padamu. Atau Kau ingin tau bahwa sejujurnya aku tak memiliki alasan untuk menyukaimu. Suddenly come dan merasuk ke dalam hatiku menembus pandangan mataku. Bahkan inderaku bisa melihat senyummu walaupun Kau tutup dengan kerudung coklat itu. Sebuah keindahan petang yang tak tergantikan dengan matahari terbenam.
Kau dan Liangkaran Jiwamu..
Aku harus pergi. Pergi jauh darimu. Aku tak mungkin memintamu pergi. Karena namamu selalu ada di dalam kepalaku. Rona wajahmu selalu mengikuti ke mana aku pergi. Kau mestinya sadari bahwa dunia ini hanya panggung yang akan mempertemukan kita kembali suatu saat nanti. Jadi biarkan aku mengumpulkan semua kerinduan untuk aku simpan dan tambatkan padamu.
Kau dan Lingkaran Jiwamu..
Jika Kau dan lingkaran jiwamu Kau tempatkan untukku, suatu saat nanti aku akan menemuimu dengan tangan yang siap Kau genggam.
Selengkapnya...
Untukmu; Salam Hari Perempuan..
Seperti biasa, malam hari di kota ini selalu memaksa tubuhmu dilindungi jaket. Begitu dingin terasa. Kau mungkin juga merasakannya saat berada di sini. Menghela nafas panjang untuk melawan kebekuan hawa yang menjengkelkan. Memperdaya praksis malam hari seperti yang sering Kau lakukan untuk sebuah perjuangan yang tak Kau dapatkan di kelas. Tentu sampai saat ini Kau belum menyerah untuk tetap berdiri pada titik ini.
Hari ini, Indonesia memperingatinya sebagai Hari Kartini. Apresiasi pada perempuan yang katanya tangguh untuk memperjuangkan emansipasi kala itu. Aku tidak tau pasti bagaimana kisah tepatnya untuk aku ceritakan. Karena saat aku menulis ini, samar” aku mendengar dari televisi di bawah bahwa banyak kontroversi yang membelenggu perayaan untuk mengenang perempuan dengan sanggul di lukisannya ini. Atau mungkin Kau juga mendengar sebagian dari kisah” itu. Aku tak mempedulikan itu. Terlepas dari kontroversi distorsi sejarah ini, sementara aku menyebut hari ini sebagai Hari Perempuan saja. Kemudian tulisan ini hadir hanya untuk Kau baca sebagai ucapan salamku.
Mungkin Kau pernah tau atau ingat tentang sebuah kasus penganiayaan TKW di Arab Saudi sana. Itu terjadi 2011 lalu. Kasus itu semakin jelas menunjukkan adanya reduksi peran dan fungsi perempuan bagi tatanan hidup. Kekerasan terhadap perempuan masih terjadi di mana”. Kekerasan yang akan menimbulkan rona merah kusam dan hilangnya esensi air mata bahagia dalam fitrah hidup seorang perempuan. Karena kekerasan itu pula, dapat mengiris kelembutan hati dan menggerus keadaan psikologi perempuan yang nantinya akan berlanjut pada praksis hidup lingkungannya; buah hati, pasangan dan keluarga.
Peristiwa itu harusnya menjadi moment untuk kembali memaknai peran dan fungsi perempuan dalam sendi-sendi kehidupan. Jika kembali kita melihat sejarah”, hampir semua kisah” kejayaan diperankan oleh kaum Adam. Berperang, merebut wilayah kekuasaan, memimpin kerajaan hingga memperjuangkan sebuah hak asasi manusia diperankan oleh lelaki. Saat itu, para perempuan diberi fokus menjaga dan mengatur segala urusan keluarga.
Akan tetapi, walaupun tak terlihat berperan aktif layaknya para lelaki yang menjadi pemimpin hampir di segala bidang yang Kita dengar dari cerita”, peran perempuan yang bisa dibilang hanya di balik layar tidak bisa dipandang sebelah mata. Bisa dicontohkan dalam sebuah ketatanegaraan. Negara tidak akan maju dan makmur jika terlalu banyak keluarga sebagai lingkungan terkecil, tidak terorganisir secara rapi dan sesuai aturan. Maka di sinilah peran seorang perempuan berada sebagai pemimpin rumah tangga.
Peran perempuan sebagai istri mungkin bukan satu-satunya faktor keberhasilan yang dicapai suami, tetapi merupakan faktor terkuat. Jika dalam diri lelaki terdapat kekuatan auman singa, maka perempuan memiliki kemampuan nyanyian burung parkit yang akan mengatur ritme dari auman tersebut. Ada kejernihan hati yang tak terbesit dalam perempuan di setiap kerasnya langkah para lelaki. Ada kelembutan sikap perempuan di balik kerja keras, senyum manis di samping semangat serta doa tulus di atas pencapaian sukses para lelaki. Dan semua analogi ini juga yang akan turut mewarnai tiap lembar nafas kehidupan keluarga.
Tak hanya itu, kodrat perempuan sebagai pemilik janin pun memiliki tanggungjawab yang amat sangat krusial bagi generasi berikutnya. Kondisi jiwa dan emosi yang stabil merupakan sebagian item yang akan menentukan karakter penerus bangsa yang akan lahir darinya. Oleh karenanya, attitude dan semua yang ada dalam perempuan merupakan cerminan suatu pesan kehidupan masa depan yang lebih baik.
Sampai di sini, sudah dapat disampaikan bahwa telah terlalu lama dan naïf untuk meneriakkan kesetaraan gender yang memang tak akan memberikan titik temu. Karena perbedaan fungsi pula, tidak mungkin perempuan dan lelaki berada dalam pos yang sama. Lagi pula, perbedaan fungsi ini bukanlah untuk dipersoalkan. Namun, untuk dipahami bahwa perbedaan fungsi itu adalah untuk saling melengkapi karena hal itu merupakan bagian dari kuasa Tuhan yang mutlak.
Hai Kamu, Salam Hari Perempuan..
Selengkapnya...
Menepikan Sore..
Ingin sekali rasanya membunuh sore hari ini..
Aku pernah mengenal sosok lembut itu. Tak begitu dekat. Hanya beberapa pertemuan. Tanpa banyak kata. Tanpa kalimat menguntai banyak dari mulutku. Bahkan setiap tatapan mata aku alihkan saat kita bicara. Tak hanya padanya memang, tapi aku tak menyangka aku menemuinya dengan cara ini. Cara elok yang aku benci.
Ingin sekali rasanya membunuh sore hari ini..
Entah kenapa matahari tak bersinar dengan purna. Padahal saat itu matahari sangat mempesona menampakkan wajahnya di depan mataku. Senyumnya perlahan namun dengan jelas mengungkap begitu artistik cipataan-Mu. Bahkan senyum manis itu berulang-ulang muncul tanpa mau hilang. Untuk mengusirnya aku harus memenjara kesadaranku dalam tidur.
Ingin sekali rasanya membunuh sore hari ini..
Aku tak tau pasti kapan pertama kali kita bertemu. Yang aku ingat Kau langsung tersenyum padaku. Kau langsung menyapa sebelum aku menyodorkan tangan untuk menyalamimu. Bahkan Kau menyunggingkan senyum sebelum aku memperkenalkan namaku. Aku tau perempuan anggun sepertimu sangat mudah untuk ramah. Aku pernah mengenal beberapa diantaranya. Aku juga pernah kenal sangat dekat dengan tujuh diantaranya. Kamu mungkin tau kapan kita bertemu untuk pertama kalinya.
Ingin sekali rasanya membunuh sore hari ini..
Bagaimana jika Kau memberiku satu lembar kertas yang berisi tulisan tanganmu. Kau mungkin sangat tidak ingin itu terjadi setelah mendengar tentangku yang tak begitu ramah dan terkesan perfeksionis pada setiap diksi. Tapi saat ini harusnya Kau tak usah takut saat namamu muncul dengan menenteng apresiasi dari orang lain. Aku juga sempat bertaruh untuk memilikinya. Tapi Kau datang merenggut dengan begitu cerdas. Aku terpesona.
Ingin sekali rasanya membunuh sore hari ini..
Ini yang aku benci. Aku begitu terkesima dengan cerita itu. Aku benar-benar sedang merasakan musim semi yang tak mau berlalu. Kau yang menghadirkan itu. Sudah lama sejak Fahri Asiza melakukan itu padaku dulu. Kau tau, aku membencimu. Aku ingin sekali membunuhmu bersama sore hari ini..
Selengkapnya...
Just Me, My Self and Holmes III
Dini hari ini begitu nyaman melihat sosok sahabat dari Indonesia Timur yang sedang leluasa bercerita mengenai kisah asmaranya padaku. Sesaat aku tak begitu mempedulikannya karena saat Ia menggambarkan nuansa romantisnya yang penuh kelembutan, aku sedang berkutat dengan dunia blending sarat akan gambling yang aku sebut dengan skripsi. Sambil menatap layar notebook dan mencabik-cabik keyboardnya dengan tujuh jariku, aku membiarkan pendengaranku dimanjakan oleh perjuangan kisah kasihnya. Walaupun hanya sekitar 21 menit karena Ia terkantuk dan tidur, aku kira itu sangat menghibur.
Perlahan aku kembali mengingat kisah-kisah yang pernah terjadi padaku selama empat tahun belakangan ini. Sesekali aku tersenyum kecil saat nuansa–nuansa itu hampir aku rindukan. Tapi aku tak kunjung merangkul kisah itu kembali karena ada aktifitas yang jauh lebih penting saat ini bagiku. Kehadiran kisah itu sama halnya kebekuan malam tadi yang mengajakku bercengkrama dengan kekalahan Arsenal.
Jauh di sudut raga ini, ada ruang yang haus akan keinginan untuk mengisi kisah-kisah lainnya. Hanya saja, kekhawatiran untuk kembali lalai dalam ‘kewajiban’ muncul. Holmes pernah berkata ‘cinta itu adalah emosi, dan aku menghormati emosi itu lebih dari siapapun.. Tapi aku tidak akan mencampuradukkannya dengan akal sehat’. Dari semua nasihat yang pernah aku dengar tentang cinta, pernyataan ini adalah yang paling bijak bagiku. Karena keputusan untuk ‘memisahkan’ adalah yang terbaik.
Saat manusia disengat oleh getar asmara, ada baiknya kembali menganalisa dengan rasio berpikir yang didampingi kesadaran. Karena suatu waktu, sengatan itu akan membutakan akan realita yang sedang manusia hadapi. Kemudian, langkah memisahkan dan tidak mencampuradukkannya adalah jalan terbaik. Analoginya, Kau harus melihat ke kanan disaat Kau harus melihat ke kiri. Sebuah pertentangan aktifitas yang mustahil untuk dilakukan. Aku rasa itulah yang terjadi padaku selama ini.
Sahabat dari tanah Papua ini adalah satu dari beberapa sahabat lainnya yang sedang dilanda asmara dan digelayuti rindu di sekitarku. Aku tau manusia memiliki jalan dan cara berbeda untuk menghadapi aktifitas paradoksal ini. Hanya saja, secara sadar terkadang manusia terlalu berani mengambil resiko yang berlebihan untuk berbuat lebih jauh dari kemampuannya demi mengalirnya kesenangan psikologis dan membuka belenggu ketidakinginan. Bersiaplah..!!
Selengkapnya...
Permohonan Kedua..
Seharusnya malam selarut ini aku sudah tidur. Mengistirahatkan raga yang sudah lelah menopang banyak beban hidup. Tapi ironinya, ragaku kembali harus menahan letih yang diwarisi pikiran kacauku dibalut keresahan nyata. Bagiku ini adalah ujian terberat selama menyandang status mahasiswa.
Alunan lagu ‘Ambilkan Bulan Bu’ yang dinyanyikan Sheila On 7 terdengar sangat mellow menemani malam sunyi ini. Aku baru saja kembali dari warung kopi tak jauh dari tempatku tinggalku saat ini. tempat tinggal seorang teman yang sudah sebulan aku huni. Tepatnya, aku menumpang hidup di sana. Sebagian teman”ku secara bergantian memberikan kesempatan lebih lama untuk merasakan kenyang.
Jam di hapeku menunjukkan angka 01.44. Tadinya aku sangat mengantuk. Aku lelah. Benar” lelah. Kondisi yang sangat tepat untuk tidur. Tapi setelah telpon berdering dan mendengarkan suara dari perempuan paruh baya di sebrang sana, kantukku hilang. Setelah telpon terputus, hanya lelah dan pikiran meracau yang tersisa. Bahkan, seorang perempuan dan lelaki yang aku hubungi secara bergantian setelahnya mengisyaratkan bahwa ujian Tuhan kali ini memang berat.
Seorang teman datang mengajakku ngobrol untuk meringankan lelah yang aku terima. Secangkir kopi susu dan beberapa batang rokok menemani obrolan panjang kita. Sembari tertawa tanpa pesona, aku beberapa kali bertukar pesan dengan seseorang perempuan mengharapkan kehangatan dan mengusir lelah ini. Aku tau bahwa itu tak akan berhasil mengusir dengan sempurna. Hanya saja aku yakin, bercerita padanya memudahkanku untuk kembali berpikir apa yang selanjutnya aku lakukan.
Malam semakin larut saat beberapa orang datang silih berganti mengisi jalan” mondar mandir untuk menonton pertandingan 16 besar Liga Champions Eropa antara Juventus dan Fc Porto. Akhirnya, kami memutuskan untuk pulang. Temanku tau aku tidak mungkin bisa segera menghilangkan penat yang sedang hinggap ini. Tapi setidaknya kembali ke kamar dapat menepikan beberapa pikiran kacau yang sedang menggelayuti badan kurus pendek ini. Nyatanya itu benar.
Sesampainya di kamar, aku benar’ tak bisa tidur. Kamar bagiku seakan menjadi gua yang begitu gelap dan tempat keterasingan. Aku bagaikan Soekarno muda yang hari”nya dilewati di penjara. Begitu sunyi. Begitu terasing. Mengharapkan banyak cahaya masuk menyusuri jendela dan memberikan penglihatan. Laptop yang terbuka seakan pasrah untuk aku hakimi di samping tumpukan buku referensi tugas akhirku serta tiga novel Sir Arthur Conan Doyle.
Di tengah keheningan ini, aku masih percaya bahwa Tuhan selalu memiliki rencana bagi hambaNya. Dia pun selalu menempatkan ujian pada orang yang tepat di kondisi yang tepat. Tak mungkin Dia memberikan ujian yang melewati batas kemampuan hambaNya. Tapi rasanya, ujian kali ini terasa hebat bagiku. Walaupun aku tau ini adalah persepsi salah dan harus segera diluruskan. Tolonglah. Aku meyakini bahwa Tuhan selalu menciptakan ujian serta jawabannya secara bersamaan. Tapi kali ini aku sudah melakukan semuanya. Setidaknya aku pikir begitu. Jadi, tolonglah. Aku sangat mengharapkannya.
Selengkapnya...
Sore yang Terasing..
Kegelapan sore ini masih tertimbun oleh semua tirani yang menghalangiku bertemu denganmu. Membuatku semakin buta dibalik kacamata minus yang kukenakan. Bagaimana Kau bisa hadir tanpa mengucapkan sapa yang selalu diharapkan telinga ini. Karena aku yakin suaramu mendendam sunyi yang akan mengacaukan kebisingan siang.
Namamu sudah tak lagi terukir di hatiku. Hanya saja, semua tentangmu sudah menyatu membingkis keelokan Tuhan. Mungkin Kau tak dapat melihatnya, karena itu tersembunyi jauh di dalam. Kau tak mungkin mendengarnya, karena tersimpan jauh di dasar. Kau pernah memaksaku untuk mengatakannya, tapi aku tak sanggup mengeluarkannya walau hanya untuk memperlihatkannya padamu. Lalu aku pernah membisikkannya padamu, namun pendengaranmu mencengkram bingkisan tuhan lainnya.
Ingin sekali aku katakan padamu untuk tak lagi mengejarku. Jangan. Cukupkan langkahmu sampai di ubin merah itu. Jangan lagi mengejarku. Jangan lagi mencariku. Suatu saat nanti aku yang akan menemukanmu. Masih banyak hal yang akan aku persiapkan untuk mendatangimu. Kemudian akan aku pungut Kau ke dasar hatiku tempat yang telah kita persiapkan. Berlarilah. Temui takdirmu yang lain. Berjalanlah. Dapatkan takdirmu yang lain. Namun, sisakan takdir yang terakhir untukku. Aku akan datang menemuimu.
Malam akan segera tiba. Semoga semua keindahan akan dirimu selalu hadir dalam mimpi.
Selengkapnya...
Dibalik Kebisingan Siang..
Siang ini terlalu bising untuk sekedar mendengar suaramu..
Aku tak peduli dengan usaha”ku yang gagal menembus aktifitas memeperoleh honor. Pikiranku meracau menemani dirimu yang entah sedang apa. Karena aku tak lagi dapat menerka langkah kecilmu. Kau sudah semakin jauh mendayuh. Pandanganku terhalang oleh banyak hal. Terutama nafsu yang selalu berkelabat sepanjang hari.
Siang ini terlalu terik untuk sekedar menemukan bayanganmu..
Bagaimana bisa satu kesuksesan selalu datang hanya saat Kau sudah melewati 99 rintangan. Tak banyak yang menanyakannya. Tapi semuanya mengeluhkan hal itu dengan tepat. Aku bahkan mencoba mendikte panorama kota ini dengan matamu. Kau ingat, Kau pernah meminjamkannya padaku. Mata yang sudah lama tak mengerling di hadapanku dengan nakal. Mata itu selalu berhasil menembus pandanganku dalam”. Mata ini juga yang seharusnya menemaniku terpejam saat matahari terlalu kuat bersinar. Kecupan” kecil di mataku pernah meredam ambisiku. Walaupun seringkali mengantarkan pada birahi.
Siang ini terlalu sepi untuk sekedar menanyakan di mana tempatmu berada..
Tuhan menciptakan keberhasilan hanya untuk menemani niat dan usaha yang sungguh kuat. Bukan diam dan mematung atau berbaring tanpa menggerakkan kakinya untuk pagi hari. Mungkin Kau tau saat aku terdiam dan tak bicara padamu, aku sedang mencari di mana dirimu. Dalam hati aku menanyakan itu. Kepala yang berpeluh adalah bukti bahwa Kau sedang dicari olehku. Rambut”ku memeperlihatkan cahayanya karena basah oleh keringat. Benang” hitam kemerahan yang Tuhan tempatkan di kepalau seringkali kering karena sudah tak ada lagi yang mampu menyibaknya dengan halus dan tulus. Kau ingat, Kau sering melakukannya untukku dulu. Dulu sekali. Aku yakin Kau ingat. Karena memoriku masih menyimpan adegan” itu. Kau juga pastinya, kan..?!
Siang ini terlalu biasa untuk sekedar mengingat semua hal tentangmu..
Aku tau bahwa ada kebohongan saat Kau berdoa meminta sesuatu tanpa berusaha mendapatkannya. Itu benar” menggelikan. Einstein, Roger, Rayleight bahkan L pernah kudengar mengucapkannya. Itu tak hanya membohongi dirimu sendiri, tapi Kau juga ikut mendustai kepercayaanmu. Aku percaya bahwa semua hal yang ada di dunia ini memiliki batas. Sama halnya dengan negara. Hanya saja, Indonesia terlalu lemah saat sebagian wilayah perbatasannya banyak diambil negara tetangga. Aku menyukai hingga kini. Aku menyayangimu hingga kini. Sangat. Bahkan kuat sekali. Akan tetapi, aku ingin berhenti mengejar untuk mendengar suaramu, berhenti mengejar untuk menemukan bayanganmu, berhenti untuk menanyakan di mana tempatmu berada dan berhenti untuk mengingat semua hal tentangmu. Karena semuanya terjadi setiap harinya tanpa aku ingin lakukan. Biarkan semua berjalan tanpa aku sengaja mengejarmu. Karena diam”, semua inderaku menujumu. Semoga Kau segera membalas rindu ini..
Selengkapnya...
Just Me, My Self and Holmes II
Kesepian di bulan ini terus berlanjut dan berkelabat dalam setiap detik yang aku lewati. Siang ini juga demikian. Banyak tinta yang aku goreskan dengan semangat menyentuh takdir yang aku harapkan selama hidup. Tintan-tinta ini tak kunjung memberikan kesatuan ide dan isu yang sering aku temukan ketika menemui rindu. Aku tidak menyerah, hanya saja bising yang mendiami kedua istana yang aku tinggali ini membutakan kejelian visual dan memasung bagian penting di kepalaku.
Terik matahari di luar siang ini memaksaku terus berada di dalam ruangan penuh irama sendu. Namun di tengah kesadaran yang menimpaliku saat berbaring, mengajakku bergejelaga di antara obrolan Holmes pada Watson. Dalam kasus ‘Mazarin Stone’, Holmes berucap ‘otak bekerja lebih baik saat perut kosong. Bagian terpenting tubuhku adalah otak, anggota tubuhku yang lain hanya pelengkap.’ Apa yang diucapkan Holmes kembali mengingatkanku pada salah seorang guru yang pernah mampir dalam mengecap pendidikan. Bedanya, ini adalah guru yang lebih agamis dan perfeksionis.
Sesekali dalam setiap harinya, guru ini selalu mengingatkan padaku dan yang lain bahwa shalat adalah tiang agama. Jika diibaratkan manusia, shalat adalah kepala, anggota tubuh paling krusial. Anggota tubuh lainnya bukan tidak penting, tetapi melengkapi aktifitas dan kinerja kepala dan semua isinya. Jadi, saat kepalamu tidak ada bisa dipastikan Kau tak akan hidup. Walaupun sebenarnya seringkali juga teman’ yang lain menyertakan protes bahwa tidak sepenuhnya benar begitu. Karena saat dirimu kehilangan perut, Kau juga akan mati. Terlepas dari itu, ada sebuah sinkronisasi khas yang selalu terbayarkan saat aku mengingat quote klasik ini.
Ketika sebagian hidupku hilang hanya untuk berpikir dan memaksa otakku bekerja lebih giat demi berspekulasi mempraktikkan sebuah konsep yang pernah diajarkan, ada sebuah hal yang aku dapatkan walaupun kebanyakan tersirat. Genangan kreatif yang selalu hadir mencumbu di saat” kritis dapat menenggelamkan keputus asaan yang rutin menggoda. Maka akhirnya, kesadaran akan pentingnya otak ini sangat tepat hadir di awal. Sehingga penggunaan dan pemanfaatannya pun dapat meluaskan sasaran. Seperti yang terjadi sebulan belakangan ini. Karena tak kunjung angkat kaki dari kampus, maka konsekuensinya adalah sesegera mungkin mempekerjakan bagian terpenting ini lebih dari standart jam biasanya. Terutama hal itu sangat dibutuhkan untuk membiayai hidup dan studi.
Selengkapnya...
Just Me, My Self and Holmes
Hari ini aku gila akan semua hal tentang Sherlock Holmes. Detektif fiksi terkenal asal London Inggris. Sir Artur Conan Doyle, penulisnya, telah membukukan ratusan kasus” yang pernah ditangani Holmes dan dr. Watson, temannya. Buku” itupun telah diterjemahkan ke puluhan bahasa di dunia ini. Bahkan, Aoyama Gosho, penulis Detektif Conan, manga terkenal Jepang terinspirasi dari kejeniusan Holmes memecahkan kasus” yang menyulitkan polisi sekalipun ini.
Kemarin malam tepatnya, mengisi kekosongan, aku melakukan aktifitas yang sudah dua bulan terakhir ini tertinggal karena kesibukan lain; menyewa komik Detektif Conan. Komik seri 71 kali ini bercerita tentang dengan sangat beruntungnya Conan, Ran dan Paman Mouri mendapatkan hadiah dari seorang perempuan tua yang belakangan diketahui adalah salah seorang kerabat Kerajaan Inggris. Hadiah ini diperolehnya gara” Conan, Ran dan Paman Mouri tidak sengaja menemukan kucing peliharaan si perempuan bernama Venus.
Singkat cerita, di seri itu aku tau bahwa dalam salah satu kasusnya, Holmes berkata bahwa ‘cinta itu adalah emosi, dan aku menghormati emosi itu lebih dari siapapun. Tapi aku tidak akan mencampuradukkannya dengan akal sehat.’ Kalimat yang dilontarkan pria yang selalu identik dengan pipa rokok dan topinya itu mengingatkanku pada obrolan dengan seorang dosen di kampusku. Saat itu, di tengah keramaian kelas, dia berkata bahwa cinta itu irrasional. Karenanya, sebagai mahasiswa, cinta yang kita miliki pada lawan jenis untuk sementara idealnya harus diposisikan rasional.
Hal ini mungkin dimaksudkan agar tak terjadi disorietasi ideal dari seorang mahasiswa. Benar saja, saat aku jatuh cinta dan terjerembab pada posisi irrasional, ternyata cinta itu malah membelenggu dan hampir menjatuhkan semua tujuan yang sempat menjadi pilar orientasiku kuliah. Apalagi, saat harus merasakan manis pahitnya. Saat manis, Kau akan dimabuk rindu dan terlena dengan kasih sayang. Sehingga Kau menunda” aktifitas yang tak jarang berujung pada ‘terlupakan’. Tugas kuliah misalnya.
Begitupun saat pahit. Bagi sebagian manusia, saat merasakannya, terasa berada pada kubangan kesedihan yang dirinya sendiri tak tau kapan akan beranjak. Tentu saja, hal ini dengan sukses berdampak sistemik pada setiap aktifitas sehari”. Setengah hati, tidak mood bahkan tidak ingin melakukan apapun. Dalam titik inilah harusnya kita memperlakukan cinta dengan bijak dan arif. Maka benar ketika dosenku bilang, bahwa saat ini beradalah pada posisi cinta rasional. Atau Kau tak boleh mencampuradukkannya dengan akal sehat, saran Holmes.
Selengkapnya...
How Are You..?!
Bagaimana kabarmu..?!
Setiap kali aku tak sengaja menyapa pagi, wajahmu selalu leluasa menembus harumnya aroma hijaunya dedaunan pohon depan rumah.
Bagaimana kabarmu..?!
Mungkin ada benarnya pepatah ‘love is suffering’. Aku tak peduli orang” berkata rindu itu menggairahkan. Walalupun sangat menyakitkan, tapi tetap nikmat. Bagiku itu bullshit. Karena saat hanya Kau yang merasakan perasaan ini, Kau akan terkungkung dalam amukan gelora derita yang dipenuhi perasaan ‘ingin’.
Bagaimana kabarmu..?!
Bahkan aku tak berani menyapa pagi yang selalu berdampingan dengan siang. Siang terlalu berani menunjukkan luka yang tak pernah sembuh. Karena siang selalu memiliki cahaya lebih untuk melenyapkan kenangan ‘sebentar’ kita. Sesekali aku melihat siang membunuh perasaan ini hingga tak terbentuk. Siang terlalu terang. Karenanya, aku menutup semua jendela kamar untuk bersembunyi darimu.
Bagaimana kabarmu..?!
Tidak benar aku mencampakkanmu. Tak benar aku tak peduli padamu. Tentu sangat tidak benar aku melupakanmu. Karena saat siang segera mengirimkan awan” untuk menutup cahanya, aku mengumpulkan berkas” ingatan untuk menemuimu. Tapi Kau selalu datang dan pergi. Aku tak tau di mana Kau bisa aku temui di sore hari. Aku hanya terbiasa merasakan senja yang membuat derita di sore hari. Mendengarkan beberapa alunan musik Sheila On 7 dengan nyaman untuk mengalihkan pandangan ilusiku tentangmu.
Bagaimana kabarmu..?!
Malam selalu berhasil menemaniku menemukanmu dalam gelap. Malam selalu berhasil menyingkirkan miliaran cahaya yang menggodaku dalam pagi, siang dan sore. Malam mampu menghadirkan mimpi untuk merasakan kecupanmu. Walaupun terkadang itu membangunkan tidurku untuk berani mengirimkan pesan padamu. Namun tak aku lakukan karena rasa ini hanya aku yang punya dan Kau tidak. Jujurlah, apa yang ada dalam pikiranmu tentangku. Jujurlah pada dirimu bahwa Kau masih ingat pertemuan” kita. Karena aku masih menyimpan rapi semua tatapanmu padaku. Lalu pagi datang merenggut semuanya dariku.
Bagaimana kabarmu..?!
Selengkapnya...
Cerita Untuk Kau Dengar..
Dengarlah, ini hanya ceritaku. Cerita yang belum pernah aku ceritakan pada siapapun sebelumnya. Cerita ini tidak terlalu menarik, karena di dalamnya tak akan ada yang membuatmu tertawa terbahak” saat seperti Kau bertemu denganku di kehidupan nyata. Cerita ini juga tidak terlalu serius, karena di dalamnya hanya berisi curhatan seorang pemuda MALAS yang banyak Kau temui sebelumnya di jalanan. Sebelumnya, terimakasih sudah membacanya. Tentunya aku akan lebih bersyukur jika Kau melakukan sesuatu setelah membaca cerita ini.
Beberapa bulan lalu aku sudah melakukan kesalahan yang tak mungkin dimaafkan oleh diriku sendiri. Kesalahan yang membuat semua manusia di dekatku kecewa; aku tidak menepati janji. Sebuah janji biasa oleh seorang anak pada keluarganya. Tapi bagiku, janji ini jelas sangat penting. Mungkin Kau akan langsung tau bahwa janji yang aku maksud adalah segera lulus dari kampus ini. Tapi aku mengingkarinya. Aku terus menundanya dari setahun lalu. Mulai dari Mei, September, November dan ternyata Februari juga terancam.
Aku tau bercerita seperti ini tidak akan membantu. Karena solusinya hanya satu, just work it. Benar begitu kan?! Tentu saja seperti itu. Aku juga tau kalau hal semacam ini terlalu gampang untuk aku tau jalan keluarnya. Aku juga dengan jelas tau bahwa solusi dan pesan yang muncul dari luar hanya menempati sebagian kecil semangat dalam diri. Karena sebenarnya peran yang menguatkan diri kita muncul dari dalam. Lagipula aku sudah melakukan ini berkali”. Yah, aku sudah berkali” diberi semangat dari orang” lain di sekitarku.
Hahahahhaa.. Benar. Kesimpulannya hanya satu; aku MALAS. Aku tidak tau secara pasti apa yang menyebabkan hal itu. Bukan karena aku terlalu menyibukkan diri dengan aktifitas” lain seperti konsekuensi menjadi penasihat di Komisariat HMI FISIP atau terlalu terlena dengan jabatan sebagai Direktur Lembaga Pers Mahasiswa Islam Cabang Malang. Atau terlalu baik meluangkan banyak waktu untuk teman”ku yang butuh pertolongan tentang kepenulisan dan seputar jurnalistik. Itu tak ada. Tak sama sekali bukan itu problemnya. Tapi berasal dari dalam. Begitu, dan terus begitu.
Aku pun sudah berkali’ bahkan ratusan kali mendapatkan nasihat dari semua orang dengan berbagai macam profesi. Aku bahkan pernah berpikir bahwa mengerjakan tugas akhir ini membutuhkan mood. Walaupun seringkali pikiranku memberontak dan menyodorkan pertanyaan ‘bagaimana jika mood yang Kau tunggu tak kunjung datang..?!’. Dalam cerita ini aku tak ingin menanyakan padamu ‘apa yang harus aku lakukan..?!’. Bagiku saat ini pertanyaan itu adalah pertanyaan paling menyedihkan. Lagipula aku tau yang harus aku lakukan. Tapi aku lemah dalam hal eksekusi. Aku sama sekali tidak tau cara memulainya. Aku tidak tau cara memulai untuk membunuh rasa MALAS ini. Mereka perlahan menggerogotiku bahkan mereka bersemayam dan serasa menyatu pada tubuh kecil ini. Aku menyadari ada seseuatu yang salah dalam diriku.
Jika Kau baca ini, aku ucapkan terimakasih banyak.
Selengkapnya...