Hari Keempat; Batas Menjelang Malam Lebaran..

Batas itu ada. Batas yang memisahkan aku dan kamu sebelum menjadikan kita. Batas seringkali memicu perseteruan antara Indonesia dan Malaysia di ujung Ambalat. Batas pula yang memadati ruang pengetahuan kita dan menimbulkan banyak salah kaprah pada pemberitaan ledakan di Madinah dini hari tadi. Bahwa ledakan itu terjadi di pintu Masjid Nabawi, bahwa ledakan itu dekat dengan makam Muhammad SAW dan membuat masyarakat Madinah panik. Itulah batas kita, yang digunakan media massa untuk saling membenci.
Batas pula yang menjadikan kita lupa bahwa Allah sudah berjanji melindungi Madinah dan Makkah. Batas itu juga yang membuat suasana rumah tidak terpengaruh sedikitpun tentang ledakan Madinah maupun Solo pagi tadi.

Di rumah, batas itu berupa saling menghormati. Mb Siti akhirnya tiba di rumah dan aku harus angkat kaki dari kamarnya. Semalaman aku tidur di sana, karena kamar tengah penuh dengan Zainal, Nurul dan Zein. Hari ini aku harus bangun pagi, banyak aktifitas menghormati lainnya yang harus dijalani. Tidur setelah Subuh hanya akan menjadikanku anak bangsat yang tidak menghormati tradisi sehari sebelum lebaran. Dan aku sudah terlanjur bangsat dengan tidak memotong rambut saat pulang. Semua orang yang lalu lalang depan rumah akhirnya berkomentar, tentangku, terutama rambutku pada Ibu.

Batas membuatku bangun tidur. Batas istirahat yang cukup. Aku tidak ingin lagi dicerca macam pertanyaan oleh orang karena menolak lamaran seorang teman Ibu atas anaknya. Ibu yang tidak ingin mengekang dan menjauhkanku dari hal asmara, selalu merasa bersalah karena akhirnya ikut campur dalam urusan asmara anaknya. Tapi sebenarnya, batas itu sudah menjadi rasa malu. Aku khawatir bagaimana hubungan Ibu dengan temannya yang sudah datang ke sini mengatasnamakan lamaran. Di luar itu, aku terus menghela nafas, bagaimana bisa Ibu tidak memberi batas pada hal ini.

Seperti aku katakan sebelumnya, hari ini batas menjelma menjadi ‘menghormati’. Kami seisi rumah menghormati tradisi yang sudah jalan bertahun-tahun sebelum aku lahir. Menyambut Iedul Fitri dengan silaturahmi. Karena itu, rumah berbenah. Bersiap dengan banyak kuliner khas Sepulu. Nasi Petis, Campur dan Soto Ibu. Khusus hari ini, SATE. Sebelum sore, aku sudah mengumpulkan kayu dan membakarnya menjadi arang. Sayangnya, aku ketiduran dan melewatkan bagian bakarnya. Sampai adzan Maghrib menjelang, aku tidak menyentuh dapur. Saat aku bangun, Zainal inisiatif menghormati warisan keahlian memasak Ibu. Zainal melihat cara Ibu masak, Zainal minta diajarin masak, Zainal membangun batas itu tetap utuh dan berdiri.

Selasa, 5 Juli 2016..

0 komentar:

Posting Komentar