Ibu langsung menceritakan banyak hal padaku setibanya di rumah. Cerita paling menarik bagiku adalah banyak orang membicarakan Zein yang tidak naik kelas. Pihak sekolah menemui Ibu dan memberitau kondisi Zein di sekolah, semua skill yang bisa dilakukannya dan apa yang tidak bisa dilakukannya. Zein dipertimbangkan untuk tidak naik kelas untuk yang terakhir, untuk hal yang tidak bisa dia kuasai; bernalar, menjawab pertanyaan ujian. Saat mendengar cerita ini, aku sedih bukan kepalang. Karena semua orang yang membicarakan Zein juga menyeret nama baik keluarga dan aku, merasa bertanggungjawab atas kesedihan Zein.
Semua orang kaget atas kebijakan sekolah. Semua orang yang berpapasan dengan Ibu bertanya hal yang sama, tentang ketidak percayaan keputusan sekolah. Guru" di sekolah juga berat dan kaget melakukannya, bukan karena Zein yang pintar dalam hal keagamaan dan aktif dalam setiap kegiatan masjid besar di usia yang masih 6 tahun. Bukan. Tapi karena Zein berasal dari rumah yang dinilai orang dipenuhi anak" berprestasi.
Ibu masih bercerita padaku, sambil sesekali melihat Zein dengan mata iba. Aku dan Zainal yang menggenggam tangan Ibu dengan hangat, juga merasa kesedihan itu. Semua orang membandingkan Zein dengan cucu nenek lainnya, terutama ketiga kakak kandungnya yang siang ini berkumpul di rumah. Ibu menceritakan bahwa orang" di luar sana tidak percaya kalau Zein tidak naik kelas, padahal kakak"nya selalu berada di 3 besar rangking kelas di sekolah yang sama. Bahkan Nurul yang lahir tepat sebelum Zein dua tahun berturut" membawa piala Porseni saat kelas 5 dan 6 SD. Singkatnya, aku sedih karena Zein harus menanggung apa yang pernah aku, Zainal dan Nurul lakukan di SD dulu.
Aku tidak berusaha menghentikan Ibu bercerita walau aku melihat kesedihan di matanya. Aku sudah tau ini. Hal ini juga yang menggangguku sejak sebulan ini, sejak pertama kali kabar Zein tidak naik kelas mampir di pendengaranku. Aku lebih banyak mengasingkan diri di Surabaya dan mengajak Zainal membuat semacam grand disain pendidikan non sekolah pada Zein. Aku tidak tau akan berhasil atau tidak. Saat aku sampaikan ini, Ibu bilang bahwa dirinya masih percaya pada Zein. Ibu bilang kalau Zein tidak bisa menggunakan kedua bagian otaknya bersamaan, mungkin satunya lebih dominan dan satunya tidak jalan dengan baik. Ibu hanya memintaku menarik semua kemampuan Zein di non akademik.
Saat Ibu bercerita, Ibu bilang kalau dirinya tidak malu. Karena Zein tidak naik kelas juga adalah keputusannya. Ibu hanya tidak berhenti memikirkan psikis Zein yang akan dibully teman"nya karena harus tinggal kelas. Hmm, soal 'apa kata orang', aku mengerti banyak cara menghindarinya. Karena itu yang sering aku lakukan selama di kota panas sebelah. Tapi aku tidak akan membiarkan siapapun membully Zein, terutama mentalnya.
Sampai usai taraweh, sebenarnya Ibu tak lagi menceritakan soal Zein. Tapi aku memaksa Ibu bercerita lagi. Aku ingin tau, apa yang salah. Aku juga memaksa Zainal dan Nurul juga mendengar Ibu dengan seksama. Hari pertama ini, aku tak mengindahkan ajakan buka puasa bersama, ngopi, nongkrong, diskusi bahkan nginep dan sahur bersama dari teman"ku. Aku harus di samping Zein, Zein lebih membutuhkanku dari siapapun. Tidak, aku butuh kebaradaanku di dekat Zein.
Hari ini Supernova yang datang masih 5, lima cucu nenek lainnya masih berada di kota orang. Paling jauh, Mb' Siti. Keinginannya mudik kemarin sempat membuatku juga berpikir keras. Mudik dengan mobil di H-3 karena telat liat tiket pesawat. Ini bukan situasi buruk pertama yang dia lakukan, jadi semua keluarga santai" saja mendengarnya. Hahahahaa..
2 Juli 2016..
Hari Pertama; Zein..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar