Hari Keempat; Malam Lebaran..

Tidak ada muslim Sepulu yang ingin melewatkan malam Iedul Fitri. Tidak ada. Sebagian besar dari kami adalah perantauan. Jika ada moment paling tepat untuk mudik, itu adalah malam ini, malam lebaran Iedul Fitri. Malam lebaran terbuat dari menang, rindu dan rumah. Tidak ada yang tidak tergiur dengan komposisi ketiganya. Aku pernah melewatkannya sekali karena kerja, selanjutnya aku berjuang untuk itu.

Malam ini Supernova kecuali Kak Reza, Lilid dan Iin semuanya ada di rumah. Setelah silaturahmi ke masing keluarga lainnya dan bayar zakat fitrah, kami segera duduk di depan teras rumah. Karena ngerokok, Bapak juga akhirnya keluar dan duduk depan teras. Ibu juga keluar membuat beberapa minuman dan menyediakan kue-kue kering menemani kami ngobrol. Waktu sudah hampir masuk tengah malam.
Sudah tidak ada lagi tamu dan teman yang datang bersilaturahmi dan bermaafan. Tapi takbir dari Masjid Besar masih berkumandang, merayakan esok yang megah.

Obrolan kami santai dan sangat hangat. Seolah ada ruang jeda yang sudah lama dibiarkan terbuka lebar. Kak Aziz bertanya tentang kuliahku yang belum beres dan masing kabar dari kami. Kak Hakim yang kebetulan turun dari kapal juga sedikit geram tentang kuliahku yang gak beres dan memilih kerja sebagai konsentrasi sementara. Mb Siti dan Zainal hanya geleng kepala. Nurul dan Zein masih sibuk ngunyah dan minum. Tawa dan sesekali bully mampir ke setiap orang yang malam ini menahan hembus dinginnya cuaca. Seketika obrolan kisruh gara Ibu bertanya sesuatu yang terlampau expired padaku. Tentang kisah asmaraku dengan Rara.

Malam ini tiba jadi sangat canggung dan dipenuhi humor. Saat mendengar nama Rara, aku dan Mb Siti langsung mempertemukan mata, melirik kebingungan sambil tertawa. Memang aku tidak bercerita tentang perempuan saat di rumah. Tidak hanya aku, Supernova lainnya juga bungkam soal asmara saat di rumah. Tapi nama kami selalu dikaitkan dengan si ini dan si itu. Ibu juga tidak pernah bertanya tentang kisah asmara kami, kecuali ada rumor yang beredar di luar sana. Nama Rara mungkin satunya nama yang didengar Ibu, yang pernah dikaitkan denganku. Aku pun menjelaskan secara kronologis siapa Rara dan bagaimana hubungan kami saat ini, malam ini.

Aku masih belum percaya tentang pertanyaan Ibu tentang Rara. Apa aku benar tidak pernah cerita ya tentang kehidupan asmaraku..?! Sesaat setelah aku menghela nafas, malam ini segera berubah jadi malam Lebaran yang istimewa. Bapak dan Ibu bertukar cerita bagaimana keduanya menjalani kehidupan asmara sampai asmara mereka berakhir dengan kelahiranku dan ketiga adikku. Sambil bercerita, Kak Aziz dan Mb Siti menambal cerita mereka yang terlewat. Maklum, mereka berdua adalah Supernova yang sudah lahir saat Bapak dan Ibu menikah.

Kisah asmara Bapak dan Ibu terbilang singkat. Keduanya adalah bintang desa di masanya. Saat aku memicingkan mata tanda tak percaya, Kak Aziz langsung mengkonfirmasi bahwa itu benar. Bahwa salah seorang mantan Bapak adalah bunga desa sebelah dan sampai saat ini masih mengirim salam. Bahwa Ibu adalah gadis belia yang saat itu dikejar banyak pemuda, baik yang masih tinggal di Sepulu maupun yang sudah merantau. Bapak sempat putus asa karena ditolak berkali oleh Ibu dan memilih menjauh dari kehidupan Ibu. Tapi satu surat Ibu benar mengubah segalanya. Ibu yang saat itu lelah dijodohkan sana sini, letih dikejar pemuda gak jelas yang hanya memamerkan kekayaan untuk membujuk Ibu menikah, akhirnya mengirim surat pada Bapak. Ibu hanya bilang jika Kamu bersungguh, lamar aku segera di kertas itu.

Malam ini, Bapak yang berusaha menjauhkan asap rokoknya dari hidung kami menyahut, mengkonfirmasi apa yang diceritakan Ibu. Bapak yang saat itu tengah putus asa dan kembali jadi anak jalanan, langsung kaget saat membaca surat itu. Saat itu, Bapak terkenal sebagai ulat jalan, pemuda aktifis yang menguasai jalanan. Pemuda penggerak yang tak hanya pintar mencuri perhatian semua orang, tapi juga jadi kesayangan para ulama karena aktif di masjid. Bapak diam menemui Ibu, memastikan apakah surat itu benar darinya. Dalam pertemuan itu, Ibu bertanya pelet apa yang Bapak gunakan padanya. Bapak tersenyum dan menjawab sekenanya, jalan pintas hanya akan menggugurkan nilai perasaanku padamu, menodai usahaku bertemu denganmu dan mengkhianati kisah yang ditulis Tuhan untuk kita berdua. Lagipula, Bapak meneruskan ceritanya, dirinya hanya anak Nelayan biasa yang tidak tau apa tentang jalan pintas.

Kami Supernova terperangah mendengar kisah ini. Bagaimana bisa ada kisah seperti ini di kampung yang saat itu hanya ada TV hitam putih dengan satu channel. Berita ini langsung membuat kedua keluarga besar geger. Keluarga Ibu tak percaya Ibu memilih Bapak, padahal di luar sana banyak sekali yang mendekati Ibu dan seringkali main ke rumah. Tapi tak ada yang komentar langsung ke Ibu. Abah Ud, salah seorang sepupu Ibu hanya mengingatkan siapa Bapak, seorang pemuda yang setiap harinya hidup di jalan dan berteman dengan banyak orang tak dikenal. Sementara Mbah Long, saudara tertua Nenek mengingatkan, jika pemuda pilihanmu itu tidak seperti yang Ibu bayangkan dan menyakiti Ibu, maka dirinya tidak segan mengeluarkan celurit. Maklum, Ibu adalah anak bontot Nenek dan saudari paling disayang oleh kakaknya.

Sedangkan keluarga Bapak lebih tenang mendengar kabar ini. Nenek hanya mengingatkan bahwa dirinya adalah orangtua biasa, tanpa banyak nama. Sementara Kakek tidak banyak komentar. Meskipun Bapak adalah anak ketiga atau kedua sebelum terakhir, tapi Bapak jadi anak kesayangan Kakek Nenek karena Bapak anak yang patuh. Cerita singkat keduanya berakhir di pelaminan. Sangat meriah. Karena dasarnya, keduanya adalah bintang di masa dan angkatannya.

Bapak berulang kali menasehatiku di tengah cerita yang Ia kisahkan. Bahwa perjuangan bukan satunya jalan mendapatkan cinta. Jauh sebelum itu, Kamu harus memantaskan dirimu untuk mendapatkan cinta itu. Malam Lebaran macam apa ini. Malam penuh nostalgia yang diselimuti kisah sebelum aku lahir, sebelum aku direncanakan dan yang mengawali keduanya bahagia. Ini pertama kalinya aku mendengar cerita ini. Berkumpul hampir lengkap seperti ini saja adalah kebahagiaan, mendapat cerita ini dari mereka berdua adalah bonus. Akhirnya malam ini bukan lagi sesi yang didominasi Supernova, dan seterusnya semoga seperti itu.

Kamis, 16 Juli 2015


Kesyahduan Malam Iedul Fitri tahun ini dimulai lebih cepat dari biasanya. Jam 10 malam kami Supernova sudah duduk di teras rumah. Dua anggota yang absen adalah Kak Hakim dan Kak Reza, keduanya ada di Surabaya. Sementara Lilid dan Iin sudah di sini sejak setelah Isya tadi. Tamu Nenek dan Ibu masih berdatangan dan memenuhi ruang keluarga, tapi kami masih merajai teras.

Malam ini sesekali melakukan apa yang kita sukai. Kami melewati malam ini dengan bermain poker, tepat di teras. Kak Aziz sendirian. Istri dan anaknya sudah pulang duluan. Pembicaraan kami dimulai dengan pertanyaan kabar masing, apa kegiatan dan apa rencana ke depan. Obrolan kami sesekali diganggu oleh Pak Hairum, bercerita perbedaan kebijakan pemerintah Malaysia dan Indonesia sampai ke struktur distriknya. Pak Hairum yang baru tiba dari Malaysia tadi pagi juga sesekali bertanya lirih siapa dan kapan yang akan menikah selanjutnya dari Supernova. Kami saling berpandangan dan terbahak bersama.

Aku duduk bersama secangkir kopi Turkey Style buatan Zainal. Rasanya pahit, benar pahit. Zainal memberikan komposisi 1:2. Bukan satu pada kopi dan dua pada gula. Tapi sebaliknya, satu pada gua dan dua pada kopi. Karena menurut Zainal aku sangat menyukai kopi, maka Turkey Style dipilihnya untuk membuat kopiku. Bagiku tidak jadi persoalan. Masalah datang saat Bapak dan Kak Aziz mencicipi, rasa pahitnya sangat terasa. Bagusnya, kopiku awet meski tradisi join kopi tidak berlangsung.

Pembicaraan kami akhirnya berujung pada sekolah Zainal dan Nurul. Profesi apa yang mereka berdua pilih nanti. Buat Nurul, pertanyaan bermuara pada citanya yang ingin jadi Kyai, ahli kitab dan alasan keinginan jangka pendeknya jadi Ekonom. Kami hanya mendengarkan alasan Nurul yang kadang terlontar implisit. Zainal lebih jujur menjawab setiap pertanyaan, meskipun semua kejujurannya menyebalkan. Aku tidak tau persis apa yang mereka berdua rencanakan, aku hanya berjanji dalam hati akan menjaga mimpi mereka berdua terwujud. Dan aku harus menjadi pemeran utama di setiap derap langkah yang mereka tuju.

Rumah dan jalan depan rumah semakin sepi, tanda kalau malam sudah sangat larut. Pertanda juga kalau kami harus segera tidur agar Subuh nanti segar dan datang ke Masjid Besar lebih awal melaksanakan shalat Ied, memanjatkan doa setelahnya. Karena Tuhan tidak main saat berjanji dalam Al-Mukmin, ‘berdoalah padaku, maka kuperkenankan permintaanmu.

Selasa, 5 Juli2016

0 komentar:

Posting Komentar